Ada sebuah benang merah antara perang Korea yang berakhir dengan gencatan senjata pada 1953 sampai sekarang, dengan perang ‘melawan teror’ yang telah berjalan selama 16 tahun di Afghanistan, dan benang merah tersebut tidak banyak diketahui khalayak awam. Mari kita mulai dengan Korea Utara.

I: Korea Utara

Menyikapi eskalasi yang terjadi di Semenanjung Korea akhir-akhir ini, Menlu Federasi Rusia, Sergey Lavrov pernah mengajukan gagasan bernama “double freezing”: Rusia dan China akan mendesak Kim Jong-Un untuk menghentikan segala ujicoba nuklir dan menghentikan agitasi lewat peluncuran rudal balistik tipe apapun di kawasan, sementara Amerika dan Korea Selatan dihimbau juga agar

menghentikan rangkaian latihan militer gabungan antar kedua negara, yang kerap digunakan sebagai gertakan terhadap Pyongyang.

Diatas kertas, gagasan tersebut adalah langkah diplomatik yang bagus. Tetapi pada penerapannya, kemitraan strategis Rusia-China tidak pernah mengajukannya langsung kepada administrasi Donald Trump. Jikapun mereka mengajukannya langsung ke Washington, tentunya gagasan ini akan langsung ditolak. Tidak lain oleh para “ahli militer” di Washington yang menentang segala upaya de-eskalasi dan memaksakan solusi militeristik mereka agar menjadi satu-satunya solusi dalam krisis Semenanjung Korea.

Parahnya lagi, Penasehat Keamanan Nasional Amerika, H.R. McMaster secara konsisten mengupayakan perang yang disebutnya “perang pencegahan”, seolah ini adalah solusi paling masuk akal dalam krisis Semenanjung Korea.

Dipihak Pyongyang sendiri, rencana serangan rudal yang akan membumihanguskan” Guam tetap dipegang oleh Kim Jong-Un. Jangan terkecoh oleh pemberitaan media Barat yang menggambarkan seolah pernyataan Kim tersebut ‘gila’ dan tanpa pemicu. Karena pernyataan “pembumihangusan Guam”
oleh Kim Jong-Un adalah balasan setimpal terhadap pernyataan angkuh dan provokatif yang dimulai oleh Trump, yang sesumbar akan meratakan Korea Utara dengan “api dan amarah” mereka.

Dilain kesempatan, Kim juga menyatakan bahwa jalur diplomasi dapat diupayakan lagi, asalkan “Amerika memulai dengan mengajukan solusi yang masuk akal dan pantas terlebih dahulu”. Solusi masuk akal untuk de-eskalasi yang dimaksud Kim, tidak lain adalah supaya Amerika dan Korea Selatan membatalkan latihan militer masif dengan tajuk “Ulchi-Freedom Guardians”, yang kabarnya melibatkan 30.000 prajurit Amerika, dan lebih dari 50.000 dari pihak Korea Selatan.

Presiden Korea Selatan, Mon Jae-In, tentunya membeo pernyataan Pentagon bahwa latihan militer tersebut yang akan berlangsung sampai 31 Agustus, adalah murni latihan defensif. Tetapi menurut Kim Jong-Un, lewat kantor berita KCNA (Korean Central News Agency) menganggap latihan militer tersebut bertujuan ofensif dan menghendaki pergantian rejim Pyongyang.

Kantor berita KCNA juga berkali-kali menyatakan bahwa ‘penerapan’ latihan ini kelak akan menjadi bencana di Semenanjung Korea. Bahkan Beijing juga berpendapat demikian. Media The Global Times juga secara masuk akal menyatakan, “apabila benar bahwa Korea Selatan tidak mengkehendaki terjadinya perang di Semenanjung Korea, semestinya mereka berhenti melakukan provokasi lewat latihan militer masif.”

Ini adalah permasalahan yang sangat serius bagi China. Pakta pertahanan regional antara Beijing dan Pyongyang resmi dimulai pada tahun 1961 dan masih berjalan sampai sekarang. Dalam pakta defensif tersebut, apabila Pyongyang yang melakukan agresi terhadap negara-negara lain di kawasan, China tidak akan berpihak kepada mereka dan mengambil sikap netral. Tetapi lain halnya apabila Amerika yang memulai agresi “perang pencegahan”, maka China berkewajiban untuk terlibat langsung dalam konflik untuk membela dan melindungi Korea Utara.

Disamping kemungkinan diatas, tentunya China lebih menginginkan agar status quo yang telah berjalan selama beberapa dekade ini, tetap berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, seperti halnya kerjasama militer Amerika dan Rusia di Syria yang bersama-sama mencegah eskalasi perang Syria menjadi perang global, maka dapat diasumsi juga bahwa militer Amerika dan China untuk sekarang, secara proaktif berkoordinasi satu sama lain untuk mencegah terjadinya perang skala besar dan memastikan keberlangsungan status quo di Semenanjung Korea.

Asumsi tersebut diperkuat dengan kabar pertemuan penting minggu lalu antara Panglima Besar AB Amerika, Jenderal Joseph Dunford, dengan Jenderal Fang Feng Hui selaku Panglima Besar PLA China. Dalam pertemuan tersebut, mereka menandatangani kesepakatan baru, yang menurut jubir Pentagon “dapat menurunkan resiko miskalkulasi” di Asia Timur.

Menurut Steve Bannon, seorang think-tank kawakan Gedung Putih, “Tidak akan ada solusi militer. Lupakan saja. Sampai ada yang dapat meyakinkan saya bahwa 10 juta penduduk Seoul tidak akan meninggal dalam 30 menit pertama perang dari serangan-serangan konvensional, maka saya tidak tahu apa yang kalian maksudkan disini. Sekali lagi, tidak ada solusi militer disini. They got us.”

“They got us?” – Tentu pernyataan Bannon tersebut cukup berdasar, karena penerbangan-penerbangan pesawat pengebom B-1B Lancer dari Pangkalan AU Andersen di Guam, ternyata telah dihentikan secara diam-diam. Tentunya fakta yang krusial namun tidak diberitakan oleh media-media Barat ini, berkontradiksi dan bahkan dapat menenggelamkan retorika-retorika agresif dari Menlu AS Rex Tillerson, dan pemimpin Pentagon, James “Mad Dog” Mattis, yang kerap menyatakan mereka akan “mengambil tindakan militeristik yang tegas apabila Korea Utara mengambil kebijakan yang salah.”

II: Afghanistan

Sekarang, mari kita bahas soal Afghanistan. James Mattis pernah menyatakan bahwa seru rasanya menembaki para militan Taliban di Afghanistan. Berbeda dengan Donald Rumsfeld yang menyatakan bahwa mereka mengalihkan fokus dari Afghanistan ke Iraq pada masa itu karena di Afghanistan tidak punya banyak target untuk dibom. Tipikal arogansi Amerika.

Baiklah, sekarang serius tentang Afghanistan. Siapapun yang mendalami, atau setidaknya mencoba mempelajari sejarah kontemporer Afghanistan, terutama kawasan Hindukush dan kawasan gurun di barat daya, mengerti betul tentang alasan-alasan penerapan “tiada solusi militer” disana. Ada begitu banyak alasan, tetapi mari kita memulai dari yang paling utama, yakni divisi dan perseteruan antar-etnis di Afghanistan.

Sekitar 40% warga Afghanistan berasal dari etnis Pashtun yang banyak berdomisili di desa-desa tribal, dan kebanyakan dari mereka direkrut oleh Taliban. Berikutnya, terdapat sekitar 30% etnis Tajik, dimana sebagian besar dari mereka adalah masyarakat perkotaan, terpelajar dan memegang jabatan di pemerintahan. Sisanya adalah 20% etnis Hazara yang bermazhab Syi’ah, dan juga 10% etnis Uzbek.

Dalam 16 tahun pendudukan Amerika, mayoritas ‘bantuan’ Washington kepada Kabul berupa pengeboman dengan kedok ‘memerangi terorisme’, bukanlah bantuan ekonomi. Kesenjangan ekonomi dibiarkan menganga lebar. Korupsi merajalela dalam pemerintahan. Para panglima perang berkuasa.

Taliban kembali berjaya karena mereka menawarkan perlindungan bagi masyarakat pinggiran. Diperparah lagi dengan ketidaksenangan etnis Pashtun terhadap fakta bahwa mayoritas prajurit berasal dari etnis Tajik. Di ranah politik pun mereka terpecah, karena para politisi etnis Tajik cenderung mendekati India, sementara politisi Pashtun lebih memilih kedekatan dengan Pakistan, karena kedekatan secara etnis dan historis.

Menyoal “Perang Global Melawan Terorisme” karya Amerika pun, sebenarnya Al Qaeda tidak akan pernah eksis di dunia ini tanpa gagasan licik dari tokoh zionis Amerika, Zbigniew Brzezinski, yang dalam gagasannya menyerukan pembentukan pasukan jihadis Wahhabi fanatik yang dipersenjatai sepenuhnya oleh Amerika, dan kemudian dikerahkan untuk mengacaukan negara dan merebut kekuasaan dari pemerintahan komunis Kabul yang pro-Soviet pada era 1980an.

Ironisnya, Amerika tiada hentinya dari dulu meyakinkan masyarakat dunia bahwa peran mereka sangat dibutuhkan di Afghanistan, untuk memerangi para teroris (yang dulu mereka bentuk) dan mencegah mereka menyerang Amerika. Dan kini, Al Qaeda bisa dibilang telah hilang dari Afghanistan, sementara Daesh tidak membutuhkan pencaplokan teritori di Afghanistan untuk melanjutkan pemahaman jumud mereka akan “jihad fi sabilillah”.

Jadi sebenarnya teroris apalagi yang hendak diperangi dan dicegah oleh Amerika di Afghanistan? Taliban? Disukai atau tidak, diterima atau tidak, Taliban telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Afghanistan. Al Qaeda? Seperti yang dinyatakan sebelumnya, telah hengkang dari Afghanistan. Daesh? Seperti halnya Al Qaeda, mereka sekarang lebih banyak berada di bumi Syam & Iraq.

Jadi teroris apa, teroris mana, yang hendak diperangi Amerika di Afghanistan? Tidak ada. Keberadaan Amerika di Afghanistan sekarang murni cuma demi satu tujuan: bisnis. Dan seperti yang sudah diketahui banyak orang yang jeli mengamati, tentunya sudah tidak heran siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari produksi, distribusi dan ekspor/impor narkoba seperti opium dan heroin di
Afghanistan.

Pada bulan Juni, Dubes Afghanistan untuk Amerika, Hamdullah Mohib, menyatakan bahwa “Presiden Trump sangat tertarik untuk menggali potensi ekonomi Afghanistan.” Yang dapat kita pahami dari pernyataannya justru seperti ini, “segala sumber daya alam Afghanistan, seperti tembaga, bijih besi, aluminum, emas, perak, timah, merkuri, lithium, uranium, bauksit, gas alam dan beragam mineral langka
lainnya, yang semuanya ditaksir bernilai trilyunan dolar AS, kesemuanya itu diinginkan Amerika sebagai ‘timbal balik’ dari segala jasa dan kontribusi Amerika di Afghanistan selama ini.

Semua ini berdasar pada studi yang dilakukan US Geological Survey beberapa tahun silam di Afghanistan, yang memberikan estimasi bernilai raksasa itu kepada Gedung Putih. Bahkan kandungan lithium yang dimiliki Afghanistan ditaksir sebagai yang terbesar didunia, seperti halnya Arab Saudi dan kandungan minyak bumi
terbesarnya didunia.

III: Buah Dari Persaingan Bisnis Amerika & China?

Sebenarnya Amerika bukanlah pemain tunggal yang memonopoli Afghanistan, karena saingan bisnis utamanya –China- juga mulai menancapkan investasi dan melebarkan pengaruhnya lewat pembangunan infrastruktur jor-joran di Afghanistan. Lewat upaya-upaya tersebut, China bertujuan menarik Afghanistan kedalam orbit proyek ekonominya yang diberi nama Jalan Sutra Baru (New Silk Roads), dan juga kedalam pakta pertahanan SCO (Shanghai Cooperation Organization) yang dibesut bersama oleh Beijing & Moscow.

Berbeda juga dengan arogansi Amerika, yang meyakini bahwa mereka berhak mengatur keberlangsungan hidup suatu negara, justru kemitraan strategis Rusia dan China di Afghanistan menghendaki stabilitas dan solusi permanen yang dicetuskan oleh bangsa Afghanistan sendiri, dan dalam prosesnya kelak akan dikawal oleh SCO, dimana Afghanistan telah bergabung dengan status pengamat, dan diharapkan menjadi anggota sepenuhnya di masa mendatang.

Oleh karena itu, dari sudut pandang neocon di Washington, selain sebagai ladang mineral gratis yang bebas dieksploitasi, tentunya Afghanistan harus dicengkeram dan dimanfaatkan sebagai basis permanen Amerika untuk mengusik atau bahkan menghancurkan proyek New Silk Roads kelak. Bukanlah Amerika namanya apabila bukan oportunistik sejati, bukan?

Lantas, apakah benang merah antara Korea Utara dan Afghanistan yang disebut pada awal artikel, para pembaca setia Resistensia? Tidak lain adalah kepentingan ekonomi lintas benua yang saling berkesinambungan, karena apa yang dikehendaki Rusia dan China dari Afghanistan, bisa dibilang sama dengan apa yang mereka kehendaki juga dari Korea Utara kelak, yaitu integrasi penuh kedua negara tersebut dalam proyek New Silk Roads dan penggabungan jalur ekonomi Trans-Korean Railway kedalam Trans-Siberian Railway nya Rusia.

Itulah konsep investasi yang beradab dan saling menguntungkan. Sebuah konsep sederhana yang anehnya sangat sulit dipahami oleh para elit politik neocon di Washington yang mendefinisikan dua perang tiada akhir (di Semenanjung Korea & Afghanistan) sebagai wujud dari “investasi” mereka.

Pepe Escobar
http://www.atimes.com/article/korea-afghanistan-never-ending-war-trap/