Iran adalah bahaya laten bagi kepentingan AS dan sekutunya di timur tengah. Dalam level tertentu, kekuatan Hezbollah di ujung lainnya, merupakan ancaman yang sama kuatnya.
Dari sisi ekonomi, Iran adalah penghasil minyak ke-6 terbesar di dunia. Dengan aliansinya bersama China, Rusia dan Iraq, maka produksi minyak gabungan negara ini akan jauh melebihi kemampuan produksi AS dan Saudi, yang pada akhirnya mengancam eksistensi petrodolar.
Dari sisi militer, Iran berkembang sangat pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Kemampuan reverse-engineering dan pengayaan uranium merupakan ancaman nyata bagi industri militer AS dan sekutunya. Bahkan, Rusia sendiri pun sempat risih dengan pencapaian Iran ini.
Dari sisi politik, Iran merupakan satu-satunya negara yang dengan terang menolak keberadaan Israel. Kebijakan ideologi dan kemampuan diplomasi berhasil menciptakan jejaring politik dan militer yang mulai anti dengan Israel di timur tengah.
Di sinilah pentingnya bagi AS untuk membuat semacam safe-haven atau benteng bagi peredaman pengaruhnya. Selain sisi ekonomis, Syria dipilih karena menjadi titik terdekat untuk memutus rantai Iran, Iraq dan Lebanon.
Proyek Israel 2.0 atau yang lebih dikenal sebagai Kurdistan, merupakan tujuan akhir dari strategi ini, karena mencakup wilayah yang cukup luas dari Iraq hingga Syria, dan memiliki proximity yang memadai untuk menekan perbatasan Iran.
AS, meski berganti presiden, sejatinya masih setia dengan ide ini. Bedanya, Trump mungkin lebih blak-blakan dalam upayanya untuk mencurangi kesepakatan nuklir dan agitasinya kepada Tehran. Sementara Obama, masih punya energi untuk bermain sandiwara.
Daesh di Mosul, menjadi elemen yang sangat berharga dalam proyek ini. Maka dari itu, opsi untuk pelenyapannya, hanyalah lip-service yang akan terus digaungkan AS untuk memperketat ikatannya ke perbatasan Iran.
Permusuhan Kurdi terhadap Iran juga akan menjadi amunisi utama, terutama sejak dibukanya kedutaan Saud di Erbil. Dengan perbatasan yang terus-menerus diganggu, AS berharap Iran akan kehilangan fokus, dan jika beruntung, bisa dipecah, seperti Syria.
‘Revolusi Hijau’ yang sempat pecah di jalanan Tehran pada 2009, terjadi setelah beberapa bulan Obama menjabat sebagai presiden. Meski operasi ini sudah jauh hari direncanakan oleh Bush, namun Obama-lah yang memberi lampu hijau.
Operasi ini gagal, selain dari respon kaum revolusioner di Iran yang tegas, namun juga karena kurangnya keseriusan Washington untuk menggodoknya. Misi utamanya hanyalah mencoba untuk melihat sejauh mana kemampuan Iran untuk bereaksi dan membuat kubu revolusioner mulai paranoid.
Langkah ini berhasil, dengan terpilihnya Rouhani yang cenderung ‘moderat’ dan berhasil memberi impresi akan Iran yang ‘lunak’, setelah Ahmadinejad yang tak kenal basa-basi.
Bagi Pemimpin Tertinggi Iran, Sayyed Ali Khamenei, mempercayai ‘kubu moderat’ merupakan hal yang harus dilakukan dengan penuh kewaspadaan. Hal ini bisa dilihat dari lamanya beliau untuk memberi persetujuan akan kesepakatan nuklir Iran pada Juli 2015 – dan beragam isyarat akan ketidakpuasannya atas hasil kesepakatan itu. Sayyed Khamenei juga berulangkali mengingatkan pengkhianatan AS, yang ia nilai ‘tak terelakkan’.
Sebagai respon atas kecurangan AS dalam kesepakatan nuklir dan pelanjutan pejualan senjata kepada Saudi senilai 60 miliar dolar, Iran di bawah pimpinannya mengadakan kerjasama militer dengan China dan sedang mempertimbangkan pembelian senjata pertahanan senilai 10 miliar dolar dari Rusia.
Dengan kekuatan seperti ini, maka hybrid war akan menjadi opsi satu-satunya bagi Washington. Intensitas pergerakan Taliban di Afghanistan merupakan salah satu indikator pengepungan ini.
Dengan memanfaatkan internal Kurdi di Iran yang berniat untuk memisahkan diri, maka Kurdistan akan menjadi penyedia logistik dan kekacauan yang cukup handal.
Belum lagi dari usaha AS dan India untuk memperkeruh situasi di Balochistan, yang terbentang dari Iran hingga Pakistan. Indikasi awalnya bisa dilihat dari upaya mereka untuk mendanai pergerakan separatis di Pakistan, untuk menggagalkan kerjasama China-Pakistan Economic Corridor (CPEC).
Hal ini sangat berbahaya tak hanya bagi Pakistan dan China, namun juga Iran, karena sebagian wilayah Balochistan masuk dalam wilayah Iran. Perang asimetris di wilayah itu akan menjadi pintu pembuka untuk menyusupkan aktor instabilitas.
Singkatnya, Kurdi di barat, Baloch di timur dan Daesh di selatan dan utara. Situasi ini merupakan ancaman mutakhir yang harus dihadapi Iran, dan menuntutnya untuk melakukan manuver pencegahan di Iraq dan Syria.
Rusia sendiri menyadari ini, dan karena jalur Eurasianya bersama China dan Iran terancam terganggu dengan rencana AS ini, mulai sedikit berpihak pada Tehran. Itu juga mengapa Iran dan Rusia cenderung menutup mata dengan aksi Turki melibas Kurdi di negaranya sendiri dan Syria, dan punya visi yang sama mengenai timur tengah yang bebas Daesh.
Dengan destabilisasi yang sudah berjalan di Syria dan Iraq, apapun hasilnya, Iran merupakan pilar terakhir yang mesti diruntuhkan AS dan sekutunya di timur tengah, demi kelanggengan hegemoni imperialisnya.