Mosul, bukan hanya soal Daesh. Kota terbesar kedua di Iraq tersebut memiliki nilai strategis yang melampaui kumpulan titik-titik penghasil minyak di negeri itu.
Sebagai gudang senjata milik AS sejak invasinya ke Iraq 2011 lalu, Mosul menjadi benteng yang sangat kuat bagi Daesh di timur tengah. Saking kuat dan lengkapnya persenjataan yang mereka miliki, bahkan AU AS saja sangat jarang beroperasi di sana.
Mosul, juga merupakan poros konflik yang siap dibenturkan kapan saja dengan elemen-elemen Iraq yang multi-ragam. Mulai dari Sunni – Syiah, hingga Arab – Kurdi, fanatisme penduduk Mosul akan paham kelompok menyulitkan proses pembebasannya dari waktu ke waktu.
Awal bulan lalu, pasukan koalisi Iraq yang terdiri oleh Hashd al-Shaabi, tentara reguler Iraq, Peshmerga dan AS menyatakan akan berupaya menghabisi Daesh di Mosul.
Koalisi ini begitu absurd dengan banyaknya elemen yang sejatinya bertolak-belakang secara ideologi maupun tujuan. Hasilnya bisa kita lihat saat ini. Prediksi Washington yang menyatakan pembebasan Mosul hanya perlu waktu dua minggu, terbukti omong-kosong.
Baru seminggu berjalan, Peshmerga sudah menyatakan hengkang dari koalisi, meninggalkan Hashd al-Shaabi dan tentara Iraq berjuang sendirian. Janji AS untuk menjadi pengawal operasi ini dari udara tak semanis kenyataannya. Malah, pemboman yang dilakukan AS sangat kontra-produktif.
Puncaknya terjadi hari ini, saat AS membom posisi tentara Iraq yang sedang berperang melawan Daesh, mengakibatkan 90 serdadu syahid, dan ratusan lainnya terluka atau diculik Daesh.
Di sisi lain, Turki yang mendiami perbatasan barat Iraq bersikukuh ingin ikut dalam operasi ini, meski ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Iraq. Jika saja AS mengamini manuver Erdogan ini, maka Mosul, adalah ground-zero bagi konflik di timur tengah saat ini.
Dari sedemikian banyak fakta yang membelalakkan mata dan menyakiti hati, perlu kita pahami bahwa Mosul punya peranan penting dalam operasi AS, NATO, Israel dan geng Saud di timur tengah.
Setelah hilangnya beberapa ladang minyak Daesh sebelum operasi ini, praktis pemasukan Daesh di Mosul hanya tersisa dari penjualan minyak diskon di seputar Raqqa.
Di sini kaitan Palmyra sebagai rute logistik dari Yordania, dan juga lokasi tempat berkumpulnya ladang minyak strategis Syria menjadi penting. Sebelumnya, dari Mosul saja, Daesh bisa memiliki pemasukan hingga 9 miliar rupiah per hari dari menjual minyak melalui Turki.
Dengan Palmyra kembali direbut, maka upaya pengaktifan pipa minyak dari Mosul ke Haifa melalui Yordania bisa dilakukan kembali.
Lalu apakah Palmyra dan Mosul melulu soal minyak?
Tidak juga. Esensinya, AS tak memiliki masalah dengan Daesh di Mosul, Raqqa atau dimanapun. Problem timbul saat Daesh tak bisa lagi dikontrol, dan mulai menjalankan agendanya sendiri.
Kurdi, di sisi lain, sudah membuktikan diri sebagai sekutu AS yang paling bisa diandalkan. Untuk bisa memastikan proyek destabilisasi yang menyambung dari Aleppo, Raqqa, Sinjar hingga Mosul, mau tak mau Daesh harus disingkirkan.
Dalam saat terpojok seperti ini, Daesh sepertinya menyadari bahwa keinginan mereka untuk memiliki tujuan yang berbeda dari tuannya adalah salah besar. Gertakan AS yang seolah akan mendukung penumpasan Daesh di Mosul cukup membuat al-Baghdadi gentar. Di sini serangan terhadap Palmyra memiliki tujuan ganda bagi Daesh.
Yang pertama adalah pemulihan sumber pemasukan setelah sekian lama rute pengangkutan truk tanker selalu diganggu oleh serangan udara, dan kedua dan yang paling penting, adalah pemulihan hubungan dengan Washington.
Skema AS dan sekutunya di Syria dan Iraq merupakan hal yang integral. Ini yang kadang terlepas dari analisis kita dalam membaca berita, dimana seolah problem di Syria dan Iraq merupakan konflik terpisah.
Apa sih sebenarnya yang diinginkan AS dan sekutunya?
Next stop, Iran.