Setelah bertahun-tahun, kabar baik akhirnya datang dari Aleppo. Kota terbesar di Syria tersebut di ambang pembebasan secara total, dengan bagian timur kini hampir sepenuhnya dikuasai Syrian Arab Army (SAA).
Ini merupakan pencapaian besar dalam konflik Syria, yang juga menjadi pukulan telak bagi upaya AS, NATO, Israel dan geng Saudi dalam niatnya untuk menjatuhkan Bashar Assad.
Keruntuhan ‘benteng’ teroris di Aleppo timur terjadi begitu cepat, hingga AS – NATO gelagapan untuk merespon dengan bantuan diplomatik. Hal ini secara umum disebabkan oleh runtuhnya moral ‘pemberontak’ akibat proposal penyelamatan Kerry kepada Rusia yang cenderung plin-plan dan lamban.
Dalam pertemuan dengan Moskow baru-baru ini saja, Lavrov sampai mengutarakan kekesalannya bahwa pertemuan dengan AS ini buang-buang waktu karena jam-jam berharga terbuang percuma. Sebab sebenarnya sepele, karena Kerry membutuhkan 2 – 3 jam setiap kali harus menjawab pertanyaan ya dan tidak, karena menunggu hasil rapat di Gedung Putih. Tak perlu analisis rumit untuk mengetahui bahwa Washington pusing tujuh keliling dengan situasi di Aleppo.
Walhasil, tak ada proposal signifikan yang disodorkan Kerry, karena di titik ini, upaya terang-terangan untuk mencoba menyelamatkan aset teroris di Aleppo timur bisa menjadi blunder diplomatik yang maha dahsyat, terutama setelah Washington sendiri melanggar kesepakatan gencatan senjata di Aleppo beberapa bulan yang lalu.
Tanpa membeberkan detail, Washington kini hanya meminta jeda waktu, agar personil-personil ahli dari AS yang bergabung dengan teroris diberi kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dan (sayangnya) hal ini disetujui oleh Lavrov, atas anggukan Assad.
Sejak Citadel Aleppo direbut, banyak pihak sudah langsung menganalisis, apa langkah yang akan dilakukan SAA pasca-Aleppo. Jawabannya cukup gamblang, Syria akan melaju ke arah timur, mencoba mengambil alih penuh Deir Ezzor, dan mengamankan perbatasannya dengan Iraq barat dari serbuan Daesh yang wira-wiri dari dan ke Mosul.
Namun rencana ini sudah diperhitungkan oleh AS, yang kemudian mengerahkan serangan besar-besaran oleh Daesh ke Palmyra, kota yang baru saja dibebaskan Syria bersama Rusia pada Maret lalu.
Berbicara soal Palmyra, maka kita akan temukan kegentingan yang sama dengan Aleppo. Bahkan tak bisa dipungkiri, laju keberhasilan SAA mengepung Aleppo, adalah buah dari bersihnya Palmyra dari Daesh. Selain ladang minyak yang bertumpuk, Palmyra adalah rute logistik penting bagi ‘ibukota’ Daesh di Raqqa dan Mosul. Dengan bebasnya Palmyra beberapa bulan lalu, Daesh di Raqqa harus menggantungkan kebutuhan perut dan tempurnya lewat Deir Ezzor. Hal yang beresiko sejak Hasakah dikuasai YPG.
Palmyra dan Aleppo adalah umbilical cord bagi Syria. Dengan konsentrasi SAA yang bertumpuk di Aleppo, Daesh sengaja menunggu perintah untuk kembali mengganggu Palmyra, terutama sejak hanya milisi National Defense Forces (NDF) yang berjaga di sana.
Kabar yang berhembus beberapa jam lalu, Daesh sudah hampir menguasai pintu gerbang Palmyra. Penambahan pasukan Syria sudah dilakukan, namun wilayah yang hilang akibat blitzkrieg Daesh beberapa hari yang lalu cukup signifikan.
Kerumitan ini mungkin membuat kita bertanya-tanya, sampai kapan konflik di Syria bagaikan permainan petak-umpet? Tak cukupkah kehancuran Syria membuat AS dan sekutunya berhenti membuat kekacauan?
Untuk memahaminya, kita harus perluas pandangan sejenak ke luar Syria.
On to Mosul..