Deir ez Zour berhasil dibebaskan oleh SAA minggu lalu. Daesh menderita kekalahan beruntun dari front Iraq, Syria bahkan Lebanon, dimana mereka dikalahkan Hezbollah dalam hitungan jam di Qalamoun.
Donald Trump menyatakan penghentian program pendanaan dan pelatihan “pemberontak moderat” oleh CIA. SDF Kurdi yang didukung Amerika, semakin menguat dan bernyali mencaplok berbagai wilayah kedaulatan wilayah utara dan timur Syria, yang secara historis dan kronologis bukanlah wilayah mereka sama sekali.
Koalisi takfiri pimpinan Hayat Tahrir al-Sham (Nusra) di Idlib hancur berantakan dengan hengkangnya Muhaysni dan sebagian besar petinggi lainnya dan beberapa faksi mereka yang kini kembali saling bunuh.
Paragraf di atas adalah kumpulan beberapa kejadian yang sedang hangat belakangan ini. Secara garis besar, memang dapat ditarik kesimpulan: Syria semakin berjaya dan mendekati kemenangan.
Tetapi sebenarnya ada satu benang merah lainnya yang dapat diurai dari rangkaian fakta di paragraf sebelumnya: arus masuk persenjataan menuju Syria, dan dimana tujuan akhir dari tiap kargo senjata tersebut.
Tujuan artikel kali ini adalah untuk memberikan gambaran besar akan kompleksitas permainan proliferasi senjata di balik layar, dan dampaknya terhadap nasib bangsa Syria ke depannya.
Peralihan Tujuan Pendanaan
Sebelum menyelam menuju inti artikel tentang proliferasi senjata di Syria, saya hendak membahas tentang pernyataan Donald Trump bulan lalu mengenai penghentian permanen semua program pendanaan dan pelatihan oleh CIA. Hal ini tentunya disambut oleh para penentang perang Syria dengan bahagia.
Tetapi pada dasarnya, penghentian adalah kata halus yang dilemparkan kepada media untuk menutupi fakta bahwa sebenarnya pembentukan, pendanaan dan pelatihan anasir pro-AS didalam Syria tersebut cuma dialihkan dari para pemberontak takfiri Wahhabi yang sudah tidak menjanjikan lagi prospeknya, menuju pion baru yang prospektif yaitu milisi Kurdi, alias Syria Democratic Forces. Saya sendiri pernah mengupas soal latar belakang dan pengkhianatan Kurdi bulan lalu.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan, saya hendak detour sedikit tentang penamaan SDF. Syria Democratic Forces adalah versi terbaru dari Free Syrian Army. Keduanya sama-sama dibentuk oleh AS, dan keduanya sama-sama memiliki nama yang kontradiktif. Tentu ini adalah taktik humas/media agar lebih merdu dikuping dan enak dibaca masyarakat awam.
Sebelumnya, Free Syrian Army, terkesan demokratis dan sangat menjunjung kebebasan, padahal isinya adalah teroris takfiri yang tentunya tidaklah sesuai dengan kata Free. Sementara SDF lebih ironis lagi. Pertama, anggota SDF mayoritas Kurdi yang bahkan bukan etnis mayoritas Syria yakni Arab, dan juga tidak pernah mengusung identitas nasional sebagai warga Syria. Kedua, lagi-lagi seperti kata Free pada FSA, kata Democratic pada SDF tidak lain ditujukan untuk meningkatkan daya jual di media massa, karena apa yang mereka lakukan terhadap penduduk asli Hasakah, Manbij, Raqqa dan lainnya, sangatlah tidak demokratis.
Kembali lagi soal pembentukan dan pendanaan SDF oleh AS, tentunya fakta ini berkesinambungan langsung dengan realita yang dialami oleh para anasir takfiri, baik itu Daesh, HTS, Ahrar, dan lain-lain. Realita dimana mereka secara mendadak dan bersamaan selalu menderita kekalahan, perebutan kekuasaan dan pengkhianatan dimana-mana.
Di saat keran suplai dana dan senjata mulai ditutup CIA, mereka sudah kadung terlibat jauh dalam permainan kotor di Syria, maka opsi-opsi yang tersisa sangatlah tidak menguntungkan bagi mereka. Ada yang saling membunuh dan rebutan logistik satu sama lain. Ada yang meletakkan senjata dan melarikan diri menuju Yordania. Ada juga berita mengenai lebih dari 35 grup pemberontak FSA di Idlib yang bahkan memutuskan menyerah dan bergabung dalam pasukan pemerintah Syria. Terakhir, ada contoh yang lebih spektakuler, yang dapat membuktikan bahwa Daesh, FSA dan SDF tidaklah berbeda sama sekali secara fundamental: Mereka diarahkan AS.
Sebagai contoh, pada gambar diatas adalah seorang komandan SDF bernama Abu Khawla. Sebelum bersama milisinya memutuskan mencukur jenggot dan bergabung dengan SDF Kurdi, Abu Khawla adalah seorang komandan lapangan Daesh.
Abu Khawla ini jugalah yang beberapa hari lalu mewakili SDF dalam menyerukan ultimatum kepada pasukan SAA dan Rusia agar jangan berani mencoba menyeberangi sungai Furat menuju Deir ez-Zour timur.
Darimana Asal Senjata-Senjata Tersebut?
Menurut banyak sumber, terutama dan yang teranyar dari reporter Bulgaria bernama Dilyana Gaytandzhieva, dan juga dari hasil investagasi OCCRP (Organized Crime & Corruption Reporting Project) & BIRN (Balkan Investigative Reporting Network), sebagian besar senjata yang diborong masuk ke dalam Syria adalah alutsista produksi negara-negara eks-Blok Timur, seperti Romania, Bulgaria, Rep. Ceko, Bosnia, Serbia, bahkan menurut lansiran terbaru, juga sampai memborong stok persenjataan milik pabrikan maupun militer di Ukraina, Georgia, Azerbaijan, Kazakhstan dan Afghanistan.
Namun untuk pengiriman dari Eropa Tengah dan Timur, dilakukan lewat jalur laut dan udara. Jalur laut difokuskan pada dua pelabuhan strategis, yaitu Burgas (Bulgaria) dan Constanta (Romania). Dari rute Laut Hitam tersebut melewati Istanbul menuju Mediterania, sebelum bongkar muat di pelabuhan Agalar (Turki) dan Aqaba (Yordan). Selepas bongkar muat di dua pelabuhan tersebut, barulah didistri busikan kedalam Syria melalui jalur darat. Berikut ini lampiran infografis dari pengiriman serupa pada September 2016.
Sementara untuk jalur udara, menurut investigasi BIRN & OCCRP, sebagian besar berasal dari Belgrad (Serbia) dan ditujukan kepada Arab Saudi, dengan frekuensi penerbangan kargo terbanyak menuju Jeddah, disusul destinasi lainnya seperti Lanud Pangeran Sultan, Abu Dhabi, Amman, dan lainnya.
Dan setibanya di setiap tujuan, kargo dibongkar muat dan diantarkan melewati jalur darat menuju Syria. Berikut ini lampiran infografis mengenai jalur udara pasokan senjata dari Balkan dan Eropa Timur menuju Timur Tengah.
Dari infografis diatas, mungkin sebagian dari pembaca bingung dengan peran Serbia dalam memasok senjata pesanan neocon kepada para pemberontak takfiri dan Kurdi didalam Syria, padahal Serbia bukanlah anggota NATO seperti negara-negara tetangganya, dan Serbia juga secara diplomatis dan historis dekat dengan Rusia, negara yang aktif memerangi terorisme di Syria.
Bahkan untuk pemasokan senjata bagi PMC maupun milisi-milisi pro-AS lainnya di berbagai konflik selama ini, Amerika cenderung membeli langsung dari Romania & Bulgaria, tetapi apabila sampai melebarkan peluang bisnis mereka ke Serbia, itu berarti permintaan akan persenjataan di lapangan sangatlah tinggi dan produsen Romania & Bulgaria tidak sanggup mencapai kuota pembelanjaan yang dicanangkan Amerika.
Sebenarnya pada masa-masa awal perang Syria, sebagian besar ekspor senjata Blok Timur dari negara-negara Eropa Timur & Balkan atas pesanan US SOCOM ditujukan kepada pangkalan-pangkalan militer Amerika di Jerman, sebelum dimuat dalam pesawat-pesawat kargo menuju Yordan dan Turki. Namun atas desakan pemerintah Jerman, akhirnya Amerika membuka rute baru untuk distribusi senjata, yaitu langsung dari negara-negara produsen tersebut menuju negara-negara sekutu Amerika di Timur Tengah.
Saking melejitnya bisnis senjata di Balkan & Eropa Timur untuk memenuhi permintaan pasar Timur Tengah, terutama untuk para pemberontak Syria, produksi amunisi di pabrikan Krusik (Serbia) dan VMZ (Bulgaria) ditingkatkan sebanyak beberapa kali lipat dari kemampuan produksi mereka pada umumnya.
Bahkan Perdana Menteri Serbia, Aleksandr Vucic pada pernyataan resmi 1 Juli yang lalu, dengan penuh keyakinan berjanji meningkatkan daya serap tenaga kerja dalam negeri dan pembukaan lebih banyak lagi pabrikan senjata, kalau perlu, sekalian deforestasi massal akan dilakukan pemerintahannya untuk membuka lebih banyak lahan pabrikan senjata.
Jadi, sekali lagi saya sampaikan, ketika Trump menyatakan CIA menghentikan program pelatihan pemberontak di Syria, itu berarti program pelatihan dan persenjataan dialihkan CIA kepada Kurdi. Lagipula apabila benar CIA berhenti menyokong para pemberontak takfiri di Syria, masih banyak aktor geopolitis yang menjalankan program mereka yang serupa sampai detik ini, baik itu Pentagon, Riyadh, Amman, Ankara dan tentunya Tel Aviv.
Respon Dari Negara-Negara Eropa Terkait Proliferasi
Dalam investigasi BIRN & OCCRP, mereka juga memaparkan hasil temuan mereka bahwa segala senjata yang diekspor negara-negara terkait itu berakhir di Syria. Pejabat-pejabat dari Bosnia Herzegovina, Romania, Kroasia, Polandia, Kazakhstan, Azerbaijan, Afghanistan, Ceko dan Serbia menyatakan segala ekspor mereka, baik barang produksi terbaru ataupun stok lawas era Perang Dingin, ditujukan ke Amerika Serikat, atas pesanan SOCOM & kontraktor Picatinny Arsenal, bukanlah Syria.
Menlu Republik Ceko menepis pertanyaan investigator OCCRP & BIRN dengan menyatakan mereka mendukung penuh upaya Amerika Serikat memerangi ISIS dan bersikeras menolak menjawab apakah dia menyadari semua ekspor senjatanya tersebut malah berakhir ditangan para teroris Syria.
Sementara itu, Menhan Georgia menyatakan mereka memang sedang dalam tahap negosiasi dengan kontraktor yang terafiliasi dengan Pentagon tentang pengadaan alutsista, namun masih sebatas negosiasi, karena pihak kontraktor Amerika belum memberikan EUC (End-User Certificate) kepada mereka, dan kontrak pun belum disepakati hingga sekarang.
Pejabat terkait di Polandia dan Kroasia juga menambahkan bahwa segala ekspor senjata mereka dilakukan berdasarkan kepatuhan sepenuhnya terhadap peraturan dagang senjata internasional, dan tidak ada kesalahan ataupun kejanggalan dalam ekspor mereka.
Sekarang, kalau kita hendak bicara dari sudut pandang teknis, buat apa kontraktor Amerika mengimpor persenjataan dan amunisi warisan Soviet kedalam Amerika Serikat sendiri jika Amerika dan NATO memakai kaliber 5.56x45mm sebagai standar amunisi mereka, untuk yang lebih beratnya ada 7.62x51mm. Sementara Rusia dan negara-negara eks-komunis di Balkan dan Eropa Timur, mengadopsi kaliber 7.62x39mm dan 5.45x39mm, serta 7.62x54mmR sebagai standar mereka.
Yang lebih mencurigakan lagi adalah fakta bahwa yang sibuk dengan segala kontrak kerjasama ekspor senjata dari Eropa Tengah dan Timur, adalah SOCOM & Picatinny. Untuk mengupas lebih jauh mengenai peran SOCOM & kontraktor dalam perang Syria, mari kita menuju bagian berikutnya.
Peranan “Makelar” Dalam Proliferasi Senjata
Untuk bagian ini, saya akan membagi menjadi 3 titik pembahasan utama: US SOCOM, kontraktor militer dan LSM / NGO.
US SOCOM
Sebelumnya, saya sengaja menyebutkan adanya pemborongan senjata, tetapi tidak menyebutkan oleh siapa, bukan? Jawabannya adalah US Special Operations Command, atau lazim disebut SOCOM.
Pada awal mulanya, SOCOM menolak mengkonfirmasi peran aktif mereka dalam program pembentukan dan pelatihan grup-grup milisi pemberontak Syria. Namun dalam pernyataan tertulis Pentagon kepada investigator BIRN & OCCRP, Pentagon mengkonfirmasi peran SOCOM dalam pemborongan, pengakumulasian dan pendistribusian senjata dan amunisi untuk para pemberontak “moderat” di Syria.
Kelompok pemberontak yang mana saja yang termasuk dalam daftar penerima pasokan senjata dari jalur distribusi SOCOM, tentunya tidak diungkapkan oleh Pentagon dalam pernyataan tersebut.
Lewat ribuan catatan pembelanjaan yang berhasil diamankan dan dianalisa oleh BIRN & OCCRP, tercatat sejauh ini sampai pada pembelanjaan Mei 2017, SOCOM telah memborong senjata dan amunisi sebanyak 240 juta dolar AS dari Bulgaria, Bosnia Herzegovina, Republik Ceko, Serbia, Kazakhstan, Serbia, Polandia, Romania.
Dan itu baru jumlah dari himpunan catatan yang berhasil diamankan penyidik BIRN & OCCRP, jumlah aslinya mungkin jauh melebihi angka tersebut. Sebelum perang Syria, pembelanjaan persenjataan bekas Blok Timur oleh SOCOM untuk membanjiri konflik lain dengan persenjataan, sebenarnya cukup kecil angkanya.
Tercatat juga dari Desember 2015 hingga September 2016, SOCOM juga menyewa sedikitnya 4 kapal kargo yang ditempatkan di pelabuhan Constanta (Romania) dan Burgas (Bulgaria), yang kesemuanya mampu memuat kargo sebanyak 6300 ton persenjataan dan amunisi dalam tiap pelayaran, dan setibanya semua kargo tersebut di Aqaba (Yordania) dan/ataupun Agalar (Turki), baru dibongkar dan didistribusikan kedalam Syria lewat jalur darat.
Selain itu, SOCOM juga diketahui pernah menyewa penerbangan kargo komersial Silk Way milik Azerbaijan untuk mengantarkan logistik persenjataan dari Asia Tengah menuju pangkalan militer di Turki, Kuwait, Yordan dan lainnya, sebelum kemudian dimuat ulang dalam truk-truk yang seterusnya berkonvoi masuk menuju Syria dan Iraq.
Pentagon juga telah mengajukan permintaan tambahan budget 322,5 juta dolar AS untuk tahun fiskal yang akan ditutup pada Oktober 2017, serta 261,9 juta dolar AS lainnya untuk 12 bulan mendatang.
Dalam keterangannya, sebagian besar (atau mungkin semua) budget tambahan tersebut akan dialokasikan untuk perbelanjaan senjata dan amunisi bagi para pemberontak Syria. Yang akan termasuk dalam daftar perbelanjaan tersebut tentu saja puluh ribuan senapan AK dan variannya, beserta RPG, dan amunisi dalam jumlah ratus jutaan.
Sebelumnya pada bulan Februari 2017, SOCOM telah berbelanja melebihi budget yang dialokasikan kepadanya, yang sebagian besar budget sekitar 90 juta dolar AS dikhususkan untuk keperluan dalam Syria, dimana didalam daftar belanja tersebut meliputi setidaknya 10.000 pucuk varian AK, 6.000 pucuk RPG, 6.000 senapan mesin seperti PKM dan jenis lainnya, 36 juta biji amunisi, dan lain sebagainya.
Berikut ini infografis tentang budget Pentagon:
Kontraktor Militer
Walaupun krusial dan langsung di bawah komando Pentagon, sebenarnya peran makelar senjata bukanlah monopoli tunggal US SOCOM. Karena ada pemain-pemain swasta juga yang bekerja dibawah kontrak dengan Pentagon maupun CIA, baik kontraktor militer maupun LSM.
Untuk memberikan gambarannya, mari kita ambil contoh Picatinny Arsenal. Perusahaan yang berasal dari New Jersey ini juga menjadi bagian penting dari mata rantai pengadaan persenjataan bagi pemberontak Syria. Dari dokumen-dokumen yang berhasil diinvestigasi BIRN & OCCRP, Picatinny telah menghabiskan 480 juta dolar AS untuk memborong persenjataan dari negara-negara di Eropa Timur, Balkan, Asia Tengah juga seperti halnya SOCOM.
Rekam jejak Picatinny Arsenal juga termasuk pengadaan kontrak impor persenjataan dari eks-Blok Timur bagi militer Iraq dan Afghanistan. Namun untuk Syria, mereka cenderung bermain dengan ekstra hati-hati, karena yang mereka persenjatai bukanlah militer pemerintahan Syria, tetapi beragam kelompok teroris yang dilabeli “pemberontak moderat”.
Dan untuk mengaburkan jejak pendistribusian senjata mereka kepada para pengacau di Syria, mereka kerap memalsukan dokumen pengadaan persenjataan. Di atas kertas, segala persenjataan dan munisi non-standar (eufemisme Amerika untuk “persenjataan dan munisi Soviet”) yang diborong Picatinny ditujukan kepada Iraq dan Afghanistan, tetapi pada kenyataan dilapangan sebenarnya ditujukan ke Syria. Atau juga dengan gamblang ditujukan ke Syria, namun diedit lagi untuk mengaburkan jejak.
Penyidik dari BIRN & OCCRP menemukan 7 kontrak bernilai 71 juta dolar AS yang ditandatangani pada September 2016 dan baik secara jelas mencantumkan Syria sebagai tujuan, atau memakai kode dari Dephan AS untuk Syria, yaitu V7. Namun semua referensi yang menuju ke Syria dihapus dari catatan resmi setelah Dephan AS mengetahui akan adanya investigasi menyeluruh oleh BIRN & OCCRP kepada negara-negara penyuplai senjata tersebut pada Maret 2017.
Para penyidik berhasil mendapatkan kopian dari dokumen-dokumen sensitif tersebut sebelum dihapus oleh Dephan AS. Pentagon juga sampai sekarang menolak mengomentari pertanyaan seputar pengubahan dokumen sesensitif ini. Dan selain perbelanjaan senilai 71 juta dolar AS yang telah dikonfirmasi sepenuhnya, sebenarnya terdapat lagi perbelanjaan senilai 408 juta dolar sejak strategi “pengalihan negara tujuan kargo” ini diterapkan serempak oleh AS dan para sekutunya di Timur Tengah dan Eropa.
Jika temuan di atas belum cukup menggegerkan, ketahuilah bahwa Picatinny Arsenal juga telah mengantongi kontrak senilai 950 juta dolar AS untuk pengadaan dan pendistribusian persenjataan dari Eropa Timur sampai pada tahun 2022.
Sebelum penghentian program “Operation Timber Sycamore” CIA oleh Donald Trump pada Juli 2017, Picatinny juga memegang peran penting sebagai partner utama CIA dalam program pelatihan militan dari 2013-2017. Dokumen-dokumen pengadaan alutsista yang diperoleh penyidik BIRN & OCCRP juga mengindikasikan bahwa Picatinny Arsenal memborong dan menyetok persenjataan bekas Blok Timur di Camp Stanley, Texas, yang menurut seorang mantan analis CIA dalam laporan 2015 menjelaskan bahwa Camp Stanley adalah depot senjata CIA yang telah lama digunakan untuk mempersenjatai beragam pemberontak dari berbagai negara dan berbagai masa, dari Contras Nicaragua, Taliban di Afghanistan, dan lain sebagainya.
Tentunya Picatinny Arsenal hanyalah contoh, karena selain mereka, masih ada banyak lagi kontraktor militer yang saling berebut memenangkan tender pengadaan senjata oleh Pemerintah AS, baik lewat Pentagon ataupun CIA. Saking ketatnya persaingan antar kontraktor militer dan semakin tingginya ‘permintaan pasar’, beberapa kontraktor militer yang tidak kedapatan jatah dari pabrikan-pabrikan Eropa Timur & Balkan, bahkan mulai melirik pasaran senjata Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti Pakistan & Vietnam misalnya. Seorang pekerja kontraktor, yang enggan menyebutkan namanya, bahkan menyatakan “lingkungan seperti ini dimana kerakusan menjadi motivasi utama, pastinya menjadi lahan basah bagi para kontraktor militer.”
Dengan semakin tingginya permintaan dan ketika orderan-orderan berskala masif mulai susah dicukupi kuotanya oleh pabrikan-pabrikan Eropa, tentunya secara tidak langsung juga mendorong Pentagon dan para kontraktornya untuk menurunkan standarisasi mereka dalam hal kualitas persenjataan yang dapat diborong, disinilah dimana negara-negara seperti Afghanistan, Ukraina, Azerbaijan, yang masih menyimpan banyak persenjataan lawas warisan Soviet, dapat mengeruk keuntungan dari barang-barang tua tersebut.
Tetapi amunisi yang disimpan terlalu lama tentunya akan mengalami degradasi, bahkan dapat mencelakakan penggunanya. Dan sebelum kita berlanjut kepada segmen berikutnya, mari kita membahas soal pemalsuan dokumen lagi, tentunya ini bukanlah pertama dan terakhir kalinya terjadi. Berikut ini contoh sertifikat EUC (End User Certificate) yang janggal karena telah diedit oleh SOCOM.
Pada contoh diatas, EUC yang standar itu mencantumkan secara jelas tujuan akhir dari kiriman senjata tersebut. Sementara pada EUC palsu di sebelah kanan, tentunya “for the United States Government and its NATO allies and partners in support of United States training, security assistance and stability operations” bukanlah jawaban yang masuk akal.
Kenapa tidak berani mencantumkan satu negara tujuan secara jelas, karena “its NATO allies and partners” itu sangat ambigu dan tidak jelas negara sekutu AS mana yang menerimanya. Apakah sebuah EUC masih layak disebut EUC (End User Certificate) apabila tidak mencantumkan secara jelas negara tujuan? Dan bagi pembaca ataupun pengamat yang awam ataupun lengah sedikit saja, kedua dokumen diatas sama-sama dapat digolongkan “data primer”, namun tetap saja dapat dipalsukan sesuai agenda pihak yang memegang “data primer” bersangkutan, bukan?
Non-Governmental Organizations / Lembaga Swadaya Masyarakat
Selain kontraktor militer, ‘lahan basah’ pengadaan bantuan persenjataan juga menjadi arena permainan para NGO. Terlebih lagi, dengan memakai dalih “bantuan kemanusiaan”, tidak jarang persenjataan diselundupkan oleh para pendonor asing bagi para pemberontak takfiri di Syria memakai jasa NGO.
Netralitas NGO sesungguhnya adalah senjata utama mereka, dengan klaim netralitas mereka dan klaim pemberian bantuan kemanusiaan, sudah banyak NGO yang bebas keluar masuk wilayah-wilayah yang dikuasai para teroris multinasional di Syria. Bahkan dalam tanah air kita pada tahun lalu, terkuak skandal yang melibatkan IHR dan ACT yang justru menyalurkan sumbangan dari Indonesia kepada para teroris di Aleppo lewat perantara Sinergi Foundation dan IHH.
Untuk mendapatkan gambaran betapa bahayanya program pendistribusian senjata berkedok “bantuan kemanusiaan”, kita akan mengambil contoh dari NGO Turki ternama yang disebut pada kalimat sebelumnya, yang konon berdiri sejak 1995 dan terkenal sejak insiden Mavi Marmara, yaitu IHH İnsani Yardım Vakfi.
Pada 1 Januari 2014, satuan anti-terorisme kepolisian Turki memberhentikan dan memeriksa konvoi truk IHH di perbatasan Turki-Syria, dalam razia mendadak tersebut, mereka menemukan muatan persenjataan dan amunisi dalam kuantitas besar, dan bukanlah bantuan logistik kemanusiaan seperti yang kerap diklaim IHH.
Berbekal hasil penyitaan tersebut, pada 14 Januari, kepolisian anti-teror melakukan penggeledahan mendadak dan serempak pada cabang-cabang IHH di 6 provinsi Turki, yakni Istanbul, Van, Kilis, Gaziantep, Kayseri dan Adana. Dalam penggeledahan tersebut, kepolisian yang telah lama menyelidiki keterkaitan IHH dengan Al Qaeda juga menangkap 28 staff IHH, seorang pejabat kepolisian di Kilis juga dipecat secara tidak hormat, dan dua orang kepala bagian anti-teror kepolisian Kilis & Van juga dipindahtugaskan menyusul hasil penggeledahan tersebut yang mengindikasikan keterlibatan mereka dalam permainan kotor IHH.
Dalam kesaksian di persidangan insiden tersebut, terungkap bahwa truk-truk IHH bermuatan senjata Eropa Timur itu dibawah kendali dan dikawal langsung oleh personil intelijen Turki, MIT. Namun, pengembangan kasus dan pemberitaan kasus tersebut dibungkam oleh Erdogan yang segera menerbitkan larangan kepada media-media yang meliput kasus tersebut.
Seorang whistleblower Turki bernama Ahmad Sait Yayla, seorang mantan Ketua Divisi Operasi Anti-Teror dalam Kepolisian Nasional Turki tahun 2010 – 2012, dan Ketua Divisi Pencegahan Kejahatan dan Ketertiban Umum Turki hingga 2014, dalam wawancaranya dengan Nafeez Mosaddeq Ahmed pada 2014, membocorkan bahwa IHH memiliki ikatan kuat dengan grup teroris di Syria dan Libya.
Ahmad juga dengan berani menyatakan bahwa dia sendiri yang pernah menyaksikan langsung betapa besarnya dukungan pemerintah Turki kepada grup-grup teroris di Syria, yang turut berkontribusi pada melonjaknya kekuatan ISIS/Daesh pada 2012-2014.
Mengutip pernyataannya, “Dalam wawancara saya dengan para mantan anggota Daesh sebagai bagian dari upaya pribadiku untuk mengungkap fenomena ini, banyak para mantan anggota Daesh tersebut yang mengkonfirmasi bahwa Daesh memang menikmati dukungan resmi dari pemerintahan Erdogan.”
Kegigihan dia dalam mengungkap skandal besar ini jugalah yang memaksanya harus pensiun dini dari jabatannya. Menyusul kudeta gagal pada bulan Juli, otoritas Turki pun menahan putra Ahmad Sait Yayla yang baru berumur 19 tahun dengan tuduhan terlibat terorisme dan subversi terhadap negara. Tentunya ini adalah balasan Erdogan atas upaya Ahmad Sait dalam mengungkap skandal yang melibatkan pemerintah Turki ini.
Kalau dilihat dari rekam jejaknya sejak 1995 hingga kini juga, sebenarnya ini bukan pertama kalinya IHH terlibat dalam jaringan terorisme transnasional, karena sebelum berperan sebagai salah satu distributor persenjataan bagi para pemberontak Al-Nusra, Daesh, Ahrar al Sham, dan lainnya di Syria, IHH juga sebelumnya terlibat aktif dalam perang sipil di Libya yang berakhir dengan kematian Moammar Khadafi dan hancurnya Libya, dan peranan mereka dalam perang Libya dapat dibilang sebagai blueprint dari peran mereka tidak lama kemudian di Syria begitu revolusi palsu meletus di Syria.
Bahkan mereka dapat dibilang sebagai benang merah penghubung jalur persenjataan dan arus pergerakan militan dari Afrika Utara menuju Syria melewati Turki. Dari hasil investigasi unit anti-teror kepolisian Turki juga, mereka mendapatkan dokumen yang membuktikan pengiriman persenjataan dalam kuantitas besar dari Benghazi yang IHH terima dari kelompok militan LIFG pimpinan Abdelhakim Belhadj yang berafiliasi dengan Al Qaeda, menuju kepada para teroris di Syria.
Kenapa LSM seperti IHH berani melibatkan diri dalam bisnis proliferasi senjata ilegal dengan kedok “bantuan kemanusiaan” dengan tanpa rasa takut dan dalam skala besar, tentunya bukan tanpa faktor penunjang yang mumpuni, yakni badan intelijen turki MIT (Millî İstihbarat Teşkilatı) yang sekarang diketuai oleh Hakan Fidan.
Seorang bekas perwira militer Turki yang bergabung dengan MIT sejak 2007 dan diangkat menjadi ketua MIT sejak 2010 hingga sekarang. Track record Hakan juga banyak mengundang kecurigaan pihak kepolisian anti-teror maupun oleh para oposisi Erdogan, karena disinyalir Hakan Fidan juga terlibat dalam banyak kasus pengeboman di Turki era 1990an, pembunuhan aktivis-aktivis HAM Turki, dan terindikasi sebagai anggota dari sel teroris Turkish Hizbullah, yang tentunya tidak berkaitan dengan Hizbullah asli di Lebanon baik secara organisasi maupun ideologi.
Menariknya, selain Hakan Fidan, ada nama lain yang dulu terindikasi menjadi anggota sel teroris TH tersebut, yaitu Faruk Koca, yang kemudian menjadi salah satu pendiri partai AKP yang kini menguasai pemerintahan Turki. Selain Hakan Fidan dan Faruk Koca, ada satu lagi nama mantan petinggi TH yang memperkuat fakta kedekatan pemerintahan Erdogan dengan para takfiri Wahhabi di Syria, yaitu Haci Bayancuk.
Haci Bayancuk mempunyai seorang putra bernama Halis Bayancuk alias Abu Hanzala yang sekarang menjadi salah satu petinggi Daesh di Syria utara dan kerap bepergian bolak-balik antara Syria dan Turki.
Jadi, dengan ‘restu’ pemerintahan dan badan intelijen Turki, IHH pun merasa di atas hukum dan terlibat aktif dalam penyaluran senjata ke dalam Syria untuk para teroris binaan Turki. Apabila kita hendak melihat realita ini dari perspektif hitam putih, tentunya terkaget kenapa LSM seperti IHH, yang mengusung “penyalur bantuan kemanusiaan” sebagai tonggak berdirinya, justru bertindak kontradiktif dan menyalurkan persenjataan penebar maut ke wilayah-wilayah yang “dibantunya”?
Karena pada realitanya, ini bukanlah pertama dan terakhir kalinya LSM digunakan untuk tindakan subversif di suatu negara berdaulat. Bahkan kalau mau bicara gamblang, NGO / LSM kini telah bermutasi menjadi salah satu instrumen paling penting dalam “perang hibrida” (hybrid war) yang dilancarkan kaum neocon dan para sekutunya terhadap negara-negara berdaulat yang menghalangi kebijakan-kebijakan mereka. Dan di dunia ini, atau dalam hal ini, khususnya di Syria dan Iraq, IHH bukanlah LSM yang menjadi pemain tunggal, masih ada banyak lagi.
Kesimpulan
Dengan masih tingginya angka profit berdarah yang dikantongi para kontraktor militer, para LSM, dan para produsen alutsista, bahkan mampu mengangkat ekonomi negara-negara di Eropa Tengah dan Timur secara substansial dan dilindungi oleh para pejabat negara-negara tersebut, dapat dikatakan bahwa proliferasi senjata skala besar dan perang di Syria dan Iraq akan terus diperpanjang oleh para neocon maupun para makelar perang.
Masalah kekalahan beruntun yang dialami Daesh di berbagai front, dengan kawasan yang dikuasai mereka menyusut sebanyak 70% sejak awal 2017 pun, itu dipandang sebelah mata oleh para pembuat keputusan di Washington dan Tel Aviv, karena mereka sekarang memiliki andalan baru bernama Kurdi.
Kita sebagai para pemerhati nasib dan pendukung bangsa-bangsa tertindas, juga wajib berhati-hati dalam menyerap informasi yang dituangkan berbagai pihak dan kepentingan kedalam jagat maya bernama sosial media, karena banyak yang bertujuan mengubah persepsi dan opini kolektif kita semua menjadi persepsi yang sejalan dengan kepentingan para neocon terhadap bangsa-bangsa yang tertindas, baik itu Palestina, Yaman, Syria, Iraq dan lainnya.
Namun persepsi seperti apakah yang dimaksud disini? Ya, misalnya persepsi yang meremehkan peran oknum LSM tertentu dari negara-negara Eropa tertentu yang ditempatkan di negara-negara yang dilanda perang. Persepsi yang meyakini bahwa Kurdi adalah para pembela kebenaran yang masih konsisten memerangi para teroris, padahal sejatinya baik Kurdi maupun takfiri multinasional sama-sama berada dibawah kendali kaum neocon.
Sambil menjaga kewaspadaan kita akan propaganda-propaganda halus di ranah sosial media juga, kita sejatinya juga diharapkan agar terus berdoa dan berharap agar perang di Syria lekas dimenangkan oleh para pahlawan-pahlawan kemanusiaan, baik yang berasal dari tanah air Syria sendiri, dari para pejuang muqawama Hezbollah, dan para sekutunya, tanpa mengurangi perhatian dan dukungan kita terhadap bangsa Palestina, Yaman, Iraq, dan lainnya.