Sumber internal Kremlin baru-baru ini menyampaikan kecemasannya terhadap partisipasi Armenia dalam beberapa latihan militer NATO belakangan, yang mensinyalkan sebuah kemungkinan bahwa Yerevan berpotensi mengubah haluan politik mereka menjadi pro-Barat yang akan berdampak buruk bagi stabilitas politik di kawasan Kaukasus.

Rusia harus gesit dalam memenangkan kembali hati Armenia kalau mereka tidak ingin melihat ‘penyeberangan’ sekutunya ini yang kelak akan menghambat proses terciptanya Tatanan Dunia Multipolar yang selama ini diperjuangkan Rusia.

Markov, Sosok Di Balik Layar

Sergey Alexandrovich Markov adalah ketua Dewan Strategis Nasional Rusia yang cukup berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan luar negeri Rusia. Pernyataan publik darinya, terlebih lagi yang cukup detil dalam penyampaian, janganlah pernah ditanggapi secara remeh ataupun disangkut-pautkan dengan keyakinan pribadinya.

Sebaliknya, Markov diyakini sebagai semacam ‘juru bicara informal’ yang kerap menyampaikan sikap Kremlin pada topik-topik perpolitikan dunia, sebagaimana harian Global Times di RRC kerap diyakini sebagai corong informal Partai Komunis RRC. Oleh karena itulah, komentar-komentar Sergey Markov mengenai perubahan kiblat politik Armenia haruslah ditanggapi dengan sangat serius.

Pernyataan-Pernyataan Yang Tidak Mengenakkan

Dalam wawancara dengan kantor berita Trend milik Azerbaijan pada 31 Juli, Markov mengatakan bahwa “Yerevan mencoba bermain pijakan pada dua perahu. Banyak negara di dunia sekarang menjalin kerjasama dengan NATO. Kita dapat melihat bahwa Georgia adalah sekutu dekat NATO, lalu Azerbaijan, Kazakhstan dan Belarus juga memiliki hubungan yang cukup akrab dengan koalisi Barat tersebut. Kita ambil contoh Azerbaijan yang secara terus terang menyatakan bahwa mereka memang menjalin hubungan dengan kedua kubu –Rusia & Barat-, tetapi Armenia berbeda. Di atas kertas, mereka menyatakan diri mereka adalah sekutu dan teman Rusia, tetapi pada kenyataannya, mereka menjalankan kebijakan yang sama sekali kontradiktif, yang dimana kebijakan tersebut justru berkaitan erat dengan kedekatan baru mereka dengan NATO.”

Kantor berita Trend juga menambahkan, “Markov melihat Armenia memanfaatkan Rusia sebagai sekutu dalam cara yang sangat egois. Menurut Markov, kebijakan baru Armenia yang mendekatkan diri dengan NATO adalah respon mereka terhadap Rusia, yang menjalin hubungan bilateral yang lebih intens dengan Azerbaijan dibanding Armenia. Ini adalah cara pemerintahan Armenia menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap kerjasama dan penjualan alutsista Rusia kepada Azerbaijan, yang telah secara signifikan memperkuat angkatan bersenjata Azerbaijan.”

Dari pernyataannya dalam wawancara tersebut, sangatlah jelas bahwa Markov sama sekali tidak mempercayai modus pemerintahan Armenia, menyimpulkan bahwa mereka merasa dapat memanfaatkan hubungan strategis dan jangka panjang yang telah terjalin dengan Rusia, dengan tujuan memperoleh lebih banyak keuntungan strategis dan militer dari hubungan tersebut.

Negara sekecil Armenia tampaknya yakin ini adalah langkah bijak untuk ‘menyeimbangkan’ hubungan Rusia dan Barat dengan caranya sendiri, walaupun mereka secara formal telah menjadi bagian dari pakta militer CSTO (Collective Security Treaty Organization) dan juga anggota dari pakta kawasan dagang bebas EAU (Eurasian Economic Union).

Dengan kenyataan bahwa Armenia cukup dekat dan menjadi anggota dari dua pakta pimpinan Rusia itu, tentunya langkah kiblat ke Baratnya sekarang cukup mengejutkan, dan sangat mungkin langkah tersebut berdasar pada kedengkian Armenia terhadap hubungan Rusia-Azerbaijan.

Sebenarnya tanda-tanda perubahan pivot Armenia menjadi pro-Barat sudah mulai nampak sejak 2015, dan hal ini harusnya tidaklah begitu mengejutkan lagi di tahun 2017 ini. Armenia walaupun telah terdaftar sebagai anggota EAU, tetap secara aktif mengupayakan kesepakatan asosiasi dengan Uni Eropa.

Dan pada musim panas 2015, terjadi demonstrasi massa yang diberi tajuk “Electric Yerevan”. Walaupun demonstrasi itu dapat diredam, tetapi pesan dibalik layar dari demonstrasi itu adalah supaya rejim Yerevan mempercepat upaya perubahan kiblat politik menjadi pro-Barat.

Rakyat Armenia Yang Muak

Disamping pendekatan pemerintah Armenia dengan EU, masyarakat sipilnya pun semakin menunjukkan tendensi pro-Barat, dan kerap mengekspresikan nasionalisme mereka, bahkan sempat terjadi krisis penyanderaan selama 2 minggu di sebuah kantor polisi di ibukota Yerevan pada Juli 2016 oleh sekelompok veteran perang Nagorno-Karabakh.

Para penyandera menyatakan ketidakpuasan mereka atas ketidaktegasan pemerintah Armenia terhadap Azerbaijan menyusul pecahnya baku tembak antara kedua negara pada bulan April 2016. Pada waktu itu juga, sebagian rakyat Armenia muak dengan Rusia yang bersikeras berada pada posisi netral dan tidak sedikitpun membela Armenia pada konflik yang melibatkan dua negara sekutunya, dan hal itu semakin meningkatkan sentimen anti-Rusia dalam masyarakat Armenia belakangan. Bahkan para penyandera pada insiden Juli 2016 pun dianggap sebagai pahlawan oleh banyak orang Armenia.

Akar dari Kebencian – Dari Aspek Sejarah

Permasalahan yang paling mendasar bagi sebagian besar rakyat Armenia adalah, harapan keliru mereka terhadap peran baru Rusia di Kaukasus.

Disebut harapan keliru karena mereka mengganggap pemerintahan Rusia pasca-Soviet yang dipimpin Vladimir Putin memiliki kewajiban tak tertulis untuk mendukung mereka karena faktor sejarah dimana mereka menganggap Armenia telah berjasa bagi Rusia karena mengabdi kepada Tsar Nikolas II kerajaan Rusia, yang dimana kejadian itu berujung pada pembantaian lebih dari 1 juta orang Armenia yang dilakukan oleh pasukan Turki Utsmani dan para algojo Kurdi mereka semasa Perang Dunia 1 karena Armenia dianggap telah berkhianat terhadap Khilafah Turki Utsmani.

Apa yang sebenarnya menjadi pembenaran genosida tersebut oleh Turki Utsmani tidak akan kita kupas dalam artikel ini, tetapi poin yang dapat dipetik disini adalah pada masa itu Turki menganggap bangsa Armenia yang merupakan sekutu kerajaan Rusia adalah ancaman besar bagi keutuhan Khilafah yang harus diberangus secara cepat dan secara masif.

Poin tersebut diatas relevan dengan konteks dari analisa artikel ini, karena apapun yang menjadi justifikasi Turki dalam pembantaian tersebut, termasuk faktor ‘Armenia sekutu Rusia’ dimana Turki seolah hendak menyalahkan Rusia atas pembantaian yang Turki lakukan, sebenarnya Rusia tidaklah terlibat dan tidaklah memiliki tanggung jawab dalam bentuk apapun terhadap insiden tersebut.

Namun bangsa Armenia kontemporer tidak mau tahu soal itu, karena bagi mereka yang penting adalah anggapan mereka bahwa Rusia memiliki tanggung jawab moral dan harus senantiasa mengayomi dan mendukung mereka dalam situasi dan kondisi bagaimanapun, karena dalam persepsi mereka, bangsa mereka telah berkorban demi Rusia pada masa lalu.

Memang, apabila kita telaah ulang, bangsa Armenia tidak menyalahkan Rusia atas genosida yang dilakukan Turki Utsmani tersebut, tetapi mereka bersikukuh bahwa oleh karena genoside itulah, maka Rusia harus selalu mengakomodir mereka, baik di era Kerajaan Rusia, era komunis Uni Soviet, bahkan di era Federasi Rusia modern sekarang ini.

Terlebih lagi, pada konflik Nagorno-Karabakh, banyak sukarelawan asal Rusia bergabung dipihak mereka melawan Azerbaijan, dan faktor kesamaan agama Kristen Orthodox dari hal ini pun tidak dapat dipungkiri, dan Armenia pun serta merta masuk dalam keanggotaan CSTO & EAU besutan Rusia.

Kejadian-kejadian tersebut memang membuat kesan seolah mereka adalah sekutu abadi, dan Rusia dianggap ‘sedang melunasi hutangnya’ kepada Armenia atas pengorbanan sejuta lebih rakyat Armenia yang dibantai Turki. Tetapi yah, kembali lagi pada yang namanya harapan keliru. Hal itu akan selalu berujung pada perasaan sakit hati pada pihak yang berharap demikian, apalagi ketika harus menerima realita bahwa Rusia tidak bertindak sesuai yang mereka harapkan sepenuhnya.

Akar dari Kebencian – Rusia Sebagai Penyeimbang Eurasia

Rusia modern bukanlah seperti Kerajaan Rusia, ataupun juga Uni Soviet. Setelah dua kali transformasi fundamental dalam kehidupan bernegara, Federasi Rusia tidak meyakini bahwa mereka punya obligasi untuk ‘membayar hutang’ para pendahulu mereka, baik hutang dalam artian harafiah, maupun yang dipersepsikan.

Bahkan, kalau berbicara soal topik-topik seperti moral, etika, dan hal-hal prinsipil dalam hubungan kebangsaan, seolah berasumsi bahwa topik-topik tersebut adalah faktor yang paling berpengaruh dalam kaidah Hubungan Internasional. Asumsi seperti ini jelas tidaklah selalu benar.

Inilah realita di Rusia masa kini, yang dipandu oleh pemikiran-pemikiran Neo-Realis, dimana Rusia akan selalu memprioritaskan interaksi & hubugannya dengan negara-negara besar yang dinilainya seimbang dalam tatanan dunia dan mengesampingkan hubungannya dengan negara-negara yang lebih kecil, seperti Serbia, Syria, dan Armenia, dalam tujuan mereka membentuk dunia dalam tatanan multipolaritas.

Semua ini bermuara pada visi misi abad ke-21 Rusia, dimana mereka ingin tampil sebagai kekuatan penyeimbang di dunia. Begitu juga di Eurasia, untuk mencapai hal tersebut, maka Rusia harus berperan netral terhadap semua negara yang tergabung di EAU besutannya, khususnya terhadap kedua negara sekutunya yang bertikai dalam konflik panjang di Nagorno-Karabakh.

Bagaimana cara Rusia mewujudkan visinya tersebut adalah lewat “diplomasi militer”, dimana Rusia menjual senjata kepada kedua pihak bertikai dalam suatu konflik, misalnya Armenia dan Azerbaijan, demi menjaga keseimbangan strategis diantara mereka.

Diplomasi militer Rusia jelas berbeda dengan cara Amerika, dimana Amerika cenderung membuat lingkaran setan dengan cara memperkuat salah satu pihak saja, dengan harapan peningkatan eskalasi dan peningkatan permintaan senjata lagi dan lagi. Diplomasi militer Rusia dengan Armenia dan Azerbaijan juga relevan dengan hubungan Rusia dengan Turki dan Iran. Bahkan hubungan Rusia dengan kedua pemain penting di Timur Tengah itu jauh lebih penting bagi Moscow dibanding hubungannya dengan dua negara tetangganya di Kaukasus yang sedang bertikai.

Dalam pencarian solusi permanen bagi krisis Nagorno-Karabakh jugalah, dengan tetap berpegang pada asas multipolaritasnya, Rusia memberikan tanda bahwa mereka juga kemungkinan akan melibatkan Turki dan Iran dalam usahanya mendorong Armenia dan Azerbaijan menuju perdamaian dalam masa mendatang.

Usaha stabilisasi tekanan ala Rusia ini sangatlah rumit dan harus dijalankan dengan penuh kewaspadaan oleh Rusia sendiri, karena mereka jugalah yang memiliki hubungan erat dengan kedua negara bertikai tersebut. Namun upaya Rusia ini kemungkinan akan menemui hambatan di pihak Armenia, yang tidak lepas dari mentalitas masyarakat Armenia yang keras kalau sudah menyangkut perebutan Nagorno-Karabakh.

Ditambah lagi dengan kedekatan strategis Rusia sekarang dengan Turki, tentunya masyarakat Armenia akan berasumsi bahwa apapun langkah yang akan diambil Rusia kelak, pasti akan berseberangan dengan kehendak nasional mereka, dan kemungkinan akan mendorong pemerintahan Yerevan untuk “mengalah” dalam konflik ini. Sesuatu yang tentunya tidak akan diterima oleh mereka.

Upaya Gegabah Armenia dalam “Menyeimbangkan Ulang”

Dalam upaya menanggapi kebijakan Rusia sebagai penyeimbang dalam konflik mereka, Armenia bertindak gegabah dengan mencoba “menyeimbangkan ulang” dirinya dihadapan Rusia dengan cara melemparkan sinyal-sinyal kemungkinan pendekatan mereka kepada Barat, walaupun sebenarnya upaya ini selain gegabah, juga sangatlah luar biasa kontraproduktifnya terhadap bangsa mereka sendiri maupun terhadap kawasan Kaukasus.

Dalam teori, memang terkesan gampang. Armenia mengira Rusia akan lebih memperhatikan kepentingan mereka kalau mereka mulai memberikan sinyal-sinyal pendekatan kepada Barat. Tetapi dalam upaya “penyeimbangan ulang” konyol ini, Armenia seolah amnesia dan lupa akan kejadian yang menimpa Ukraine yang terjebak dalam permainan geopolitik Barat sejak kudeta EuroMaidan sampai sekarang.

Begitu juga dengan upaya Yerevan dalam mewujudkan Kesepakatan Asosiatif dengan EU, walaupun telah menjadi anggota zona dagang EAU secara resmi. Dimata Moscow, upaya Yerevan yang satu ini tidaklah tampak sebagai manuver politis yang cerdik, tetapi tindakan oportunistik yang melanggar tanggung jawab Armenia terhadap mitra-mitra dagang lainnya yang tergabung dalam EAU.

Ketika Armenia ikut serta dalam latihan militer NATO di Romania dan Georgia musim panas ini juga, pemerintahan Kremlin lewat Sergey Markov, mengutarakan ketidaksenangan mereka dengan Armenia lewat wawancara Markov dengan kantor berita Azerbaijan, Trend. Setiap kali Armenia mencoba “menyeimbangkan” posisinya diantara Barat dan Rusia, semakin dalamlah Armenia jatuh dalam permainan Barat, dan semakin menambah kejengkelan Rusia.

Sambutan Hangat Amerika

Selain pivot pro-Barat Armenia belakangan ini, baik dalam tujuannya untuk menaikkan daya tawar mereka dengan Moscow, atau sekedar mengolok Rusia, Armenia juga hendak mengejar kepentingan-kepentingan regional mereka dalam beberapa hal lain. Para pembaca harus mengetahui bahwa ada 3 poin internasional yang menjadi fokus pemerintahan Yerevan, yakni Nagorno-Karabakh, Turki dan Azerbaijan.

Pemerintahan Armenia menaruh curiga kepada Rusia selaku negara yang belakangan fokus meningkatkan hubungan bilateral dengan Ankara dan Baku, dan mereka juga semakin mendekati negara yang memiliki kerenggangan hubungan dengan Ankara dan Baku. Rusia dan Amerika bergerak saling berlawanan arah perihal penjalinan hubungan dengan 2 bangsa etnis Turkic tersebut, dimana Moscow memperkuat jalinan hubungan kenegaraan mereka dengan Turki & Azerbaijan, sementara Washington menjauhi keduanya.

Rusia semakin akrab dengan Turki dalam beberapa tahun terakhir ini, walaupun sempat dinodai peristiwa penembakan pesawat Su-24 Rusia oleh milisi Turki, dengan tujuan menariknya menjauh dari ketergantungan Ankara terhadap Barat, dan mendekati poros Eurasia mereka.

Sementara menyoal kedekatan Rusia dengan Azerbaijan, tentunya tidak lepas dari peran strategis Azerbaijan selaku fasilitator NSTC (North-South Transport Corridor) yang merupakan penghubung jalur dagang Rusia dengan India dan Iran. Dengan demikian pula, kebijakan Rusia mengenai konflik Nagorno-Karabakh tidak lagi seperti pada era pertengahan 1990an, yang cenderung mendukung Armenia dibandingkan Azerbaijan.

Disaat yang sama pula, Amerika semakin menjauh dari Turki dan Azerbaijan dengan alasan klise bahwa pemerintahan kedua negara itu “semakin tidak demokratis”, dan lebih memilih membina hubungan baru dengan Armenia dan Georgia, tidak lain dengan tujuan menghambat integrasi strategis dan politis trilateral antara Rusia, Turki & Azerbaijan. Perlu diketahui juga, lobi-lobi Armenia mulai berupaya keras di Washington agar Amerika memihak kepada Armenia dalam konflik tak kunjung usai di Nagorno-Karabakh. Tentunya suatu hal yang disambut hangat oleh Amerika.

“Pisau Belati Armenia”

Apa yang hendak dicapai Amerika di kawasan Kaukasus adalah eskalasi konflik Nagorno-Karabakh ke dalam tahap lanjutan, dan konsep eskalasi yang hendak dicapai Amerika tersebut dinamai “Armenian Dagger”. Untuk gambaran lebih jelasnya, ada baiknya kita ambil kutipan dari Andrew Korybko, penulis dan analis geopolitik:

“Armenia kemungkinan akan mengalami dua macam kejadian politik kedepannya, bisa saja dalam bentuk Revolusi Warna ala gerakan fasis Pravy Sektor di Ukraina yang mengganti pemerintahannya dengan rejim ultra-nasionalis yang berkuasa sekarang, atau bisa juga lewat cara yang lebih halus dan demokratis, dimana kandidat-kandidat pemimpin yang pro-Barat akan “terpilih” lewat pemilihan umum, yang secara otomatis berarti mendorong Armenia semakin dekat dengan kubu unipolar Barat, dan kemungkinan yang akan terjadi dari dua skenario diatas adalah sama, dimana keberadaan militer Rusia di Armenia akan ditentang dan bahkan diusir keluar dari negeri mereka, dengan dalih keengganan Moscow untuk mendukung provokasi rejim baru Armenia kelak terhadap Azerbaijan yang juga sekutu dekat Rusia.

Kemudian, Yerevan akan bergerak semakin mendekat dengan EU & NATO, dan tidaklah mengejutkan kalau Washington kelak akan sesegera mungkin menempatkan aset-aset militer mereka di Armenia dengan dalih melindungi rejim pro-Barat bentukan mereka dari musuh yang pro-Rusia, dalam hal ini berarti Azerbaijan.

Kalau sampai skenario ini terjadi, negara yang secara geografis berbentuk memanjang dan cukup mirip belati ini akan menjadi “pisau belati” yang akan menikam tepat di tengah aliansi trilateral negara-negara berpengaruh di kawasan, yakni Rusia-Iran-Turki.

Tidak berhenti sampai disitu, tahapan berikutnya dalam konsep eskalasi “Armenian Dagger” ini adalah upaya Barat untuk memprovokasi terjadinya perang skala besar di kawasan Kaukasus Selatan itu lewat celah berupa eskalasi baru pada konflik Nagorno-Karabakh, dengan tujuan membuyarkan aliansi multipolaritas antara Rusia, Iran dan Turki.

Dalam skenario perang skala besar yang direncanakan tersebut juga, Barat mengharapkan agar terciptanya ketidakpastian dan keraguan, kalau bisa sampai pada terpicunya permusuhan diantara ketiga negara besar tersebut.”

Rusia tentunya sangat mencemaskan terjadinya perang baru antara Armenia dan Azerbaijan karena konsekuensinya terhadap kawasan akanlah sangat fatal dan tidak akan dapat terkontrol, dan hal itulah yang sangat dikehendaki Amerika lewat upaya-upaya dibalik layar mereka agar terbentuk pemerintahan baru Armenia yang berideologi “liberal & nasionalis” yang tentunya pro-Barat, yang kelak dapat digunakan sebagai pion mereka untuk memicu perang besar yang disebut pada paragraf sebelumnya.

Konektivitas Yang Bersifat Kompetitif?

Disamping skenario dramatis yang diurai di atas, Amerika juga memiliki skenario lain yang lebih pasif dan “damai” untuk mengusik dominasi Rusia di Kaukasus, dengan cara ‘menyedot’ sebagian dari komoditas dagang di jalur NSTC antara Rusia dengan India dan Iran.

Dan skenario yang lebih “damai” ini sebenarnya sekarang sedang dijalankan oleh mereka. Begini, dari awal perencanaan jalur dagang NSTC tersebut, kedua negara tersebut berkehendak agar jalur dagang mereka ke EU melewati Azerbaijan dan Rusia, tetapi pada beberapa bulan lalu, Tehran secara mendadak dan mengherankan mengumumkan bahwa mereka juga merencanakan koridor dagang baru mereka dengan EU lewat jalur Laut Hitam, dengan Armenia dan Georgia sebagai 2 negara yang dilalui jalur dagang tersebut. Mungkin saja ini murni upaya Tehran untuk lebih melebarkan perniagaan mereka dan tidak berbenturan dengan kesepakatan NSTC yang disepakati bersama dengan India dan Rusia sebelumnya.

Tetapi yang namanya Amerika, pastilah punya segudang rencana, dan mereka bisa saja memanfaatkan berita ini untuk membujuk Iran dan India lewat proxy EU mereka, agar ikut jalur baru yang direncanakan Tehran saja, tidak usah melewati jalur NSTC (Azerbaijan dan Rusia) lagi, suapaya bisa langsung menjangkau EU dan merugikan Rusia. Dan sekali lagi, kita mengutip Andrew Korybko perihal ini:

“Hal ini bisa menyebabkan Iran dan India memilih langsung berdagang dengan EU secara langsung, via jalur Laut Hitam yang melewati Armenia, Georgia, Romania dan Bulgaria, yang  serta merta mengenyahkan Rusia dari jalur dagang prospektif tersebut.

Kedua negara Asia tersebut bukannya tidak serius menggali potensi NSTC sebagai platform mereka untuk mempererat hubungan mereka dengan Rusia, tetapi mereka juga tidak mau terlalu tergantung kepada Rusia selaku penengah tunggal dalam jalur dagang mereka dengan EU, karena mereka mengkhawatirkan dengan semakin intensifnya eskalasi Perang Dingin Baru kelak, yang kemungkinan besar berdampak pemberian sanksi-sanksi ekonomi berat terhadap Rusia, yang secara berkesinambungan juga akan turut mempengaruhi nilai dagang mereka dengan EU kelak.

Dari sudut pandang realpolitik juga, Iran dan India tentunya punya pertimbangan lainnya kalau hendak menseriusi potensi jalur Laut Hitam. Jika kedepannya, misalnya terjadi kekisruhan diantara mereka dengan Rusia, misalnya apabila Iran meyakini Rusia mengkhianati mereka dalam perang Syria, atau misalnya Rusia tidak mengindahkan ultimatum berturut-turut dari India agar Rusia memutuskan hubungan kerjasama dengan Pakistan, dan menurunkan intensitas kerjasama dengan RRC, maka mereka akan selalu punya jalur alternatif untuk berdagang dengan EU tanpa harus terlalu bergantung kepada Moscow.

Daripada memaksakan harus berdagang lewat Rusia seolah Rusia adalah negara transit yang tidak tergantikan, Iran dan India akan punya pilihan untuk mengacuhkan jalur Rusia sepenuhnya, dan pada saat yang sama, turut memberikan tekanan ekonomi kepada Rusia.”

Pemikiran strategis seperti demikian sebenarnya lumrah saja dalam kehidupan bernegara di abad 21 ini, dimana pengembangan dan pengamanan jalur dagang masing-masing dibarengi dengan pengusikan dan perebutan jalur dagang saingannya lewat ‘perang hibrida’ (militer dan ekonomi).

Dalam konteks ini pula, konsep “Armenian Dagger” yang diusung Amerika kelak akan sangat berguna untuk mengalihkan jalur dagang Iran dan India langsung ke EU tanpa harus Rusia sebagai perantara sama sekali. Bahkan Barat bisa saja menggunakan hal ini sebagai daya tawar dengan Tehran untuk mencapai semacam kesepakatan dimasa mendatang.

Jika skenario ini berhasil dijalankan, maka Azerbaijan otomatis kehilangan statusnya sebagai negara strategis selaku fasilitator jalur dagang NSTC, tetapi bisa saja dimata para pembuat keputusan di Kremlin, Azerbaijan dapat diperkuat sebagai tandingan Armenia yang pro-Barat kelak.

Kesimpulan

Karena sifat keras kepala pemerintah dan masyarakat Armenia yang tidak menyukai kedekatan Rusia dengan Turki dan Azerbaijan, dan terus menerus meyakini Rusia harus ‘membalas jasa’ mereka di abad lampau, negara ini semakin memandang negatif terhadap Rusia yang menurut mereka adalah mitra yang kurang dapat dipercaya, dan pada saat yang sama, melihat kiblat kepada Amerika adalah hal yang menarik untuk dicoba dalam percaturan geopolitik mereka, terlebih lagi karena Amerika selalu berseberangan dengan Rusia.

Hal ini menjelaskan kenekatan Armenia untuk mendekati Barat lewat jalur ekonomi dan militer, dan mengacuhkan status mereka sendiri sebagai anggota EAU & CSTO pimpinan Rusia.

Keinginan Rusia untuk mewujudkan visinya untuk tampil sebagai negara penyeimbang utama di kawasan Kaukasus, dinilai oleh sebagian besar rakyat Armenia sebagai semacam tamparan bagi mereka, terlebih lagi Rusia konsisten dalam netralitasnya dalam isu Nagorno-Karabakh tetapi pada saat bersamaan menjalin hubungan kuat dengan Turki & Azerbaijan.

Oleh karena itulah, ketika pemerintah Armenia memutuskan untuk kembali mengupayakan Kesepakatan Asosiatif EU, dan partisipasi militer Armenia dalam latihan gabungan NATO di Romania dan Georgia, berlangsung mulus dan tidak mendapatkan penentangan keras dari rakyat Armenia.

‘Aliansi’ Rusia-Armenia juga sebenarnya tidaklah seperti yang dibayangkan banyak orang. Armenia hanya akan menjadi ‘mitra yang dapat diandalkan’ Rusia apabila Rusia berpihak kepadanya dalam konflik Nagorno-Karabakh, dan bila Rusia tidak meneruskan penguatan hubungan dengan Turki & Azerbaijan.

Dan begitu Rusia mewujudkan visi multipolaritas mereka dengan cara mendekatkan diri dengan Turki & Azerbaijan, Armenia dengan cepat dan tanpa ragu berlari menuju Amerika yang tentunya akan menyambut hangat calon sekutu baru ini. Aliansi macam apakah ini? Sikap berlebihan Armenia dalam hal ini tidaklah menunjukkan kedewasaan dalam hubungan internasional, tetapi mempertontonkan sifat kekanak-kanakan mereka.

Diluar kewajiban bersama sebagai sesama anggota pakta pertahanan CSTO, sebenarnya yang namanya ‘aliansi’ antara Rusia dan Armenia bisa dibilang rancu, atau bahkan tidak ada. Dan mengenai pakta pertahanan CSTO juga, yang namanya Pertahanan (Defensif) harusnya lebih ditekankan, karena ini berarti Rusia tidak akan berpihak kepada Armenia apabila Armenia kelak menjalankan skenario ofensif “Armenian Dagger” bentukan Barat, dan Rusia juga tidak akan berpihak kepada Armenia dalam polemik Nagorno-Karabakh karena Moscow secara resmi telah mengakui wilayah itu adalah milik Azerbaijan. Semua itu berarti Rusia HANYA akan memihak Armenia apabila Azerbaijan yang memulai agitasi dan agresi duluan terhadap Armenia. Masuk akal, bukan?

Seperti yang dibahas sebelumnya diatas, pokok akar permasalahan antara Rusia dan Armenia adalah pemikiran kekanak-kanakan Armenia yang memaksakan kehendak mereka bahwa Rusia harus senantiasa mendukung mereka dalam situasi kondisi apapun, untuk “melunasi hutang historis” kepada mereka karena para pendahulu mereka dibantai Turki Utsmani karena dituduh pengkhianat khilafah yang pro-Kerajaan Rusia.

Seabad setelah tragedi Genosida Armenia tersebut, dan Rusia pun telah dua kali mengalami pergolakan hebat dalam negerinya, dan sekarang Federasi Rusia modern tidak meyakini bahwa mereka punya tanggung jawab moral yang harus dituntaskan dengan cara mendukung Armenia secara membabi buta, karena hal itu jelas bertentangan dengan visi misi abad ke-21 mereka untuk membentuk Tatanan Dunia Multipolaritas.

Karena tidak kunjung menemui titik temu dalam hal ini dengan Moscow, pemerintah Yerevan pun dengan gegabah mencoba “menyeimbangkan” kiblatnya dengan Rusia dan Barat, tanpa memetik pelajaran pahit yang dialami bangsa Ukraine yang sekarang menjadi negara boneka Barat yang tidak lagi berdaulat atas negaranya sendiri pasca revolusi palsu “EuroMaidan” yang didanai dan digerakkan kroni-kroni pro-Barat yang fasis.

Dan bukan bermaksud menghina, tetapi mereka juga mengelirukan definisi kata “menyeimbangkan” dengan “mendekatkan”, karena apa yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah menyeimbangkan diri dihadapan Rusia dan Barat, tetapi seutuhnya mendekatkan diri kepada Barat.

Bukannya daya tawar dengan Rusia yang didapatnya dari kegegabahan masif ini, tetapi ketidakpercayaan Moscow dan mengancam keutuhan EAU & CSTO yang telah susah payah dirintis oleh Rusia. Apapun alasannya, kegegabahan Yerevan ini akan menjadi hambatan besar bagi kepentingan-kepentingan strategis Rusia kedepannya.

Dihadapkan dengan posibilitas pengkhianatan oleh salah satu ‘sekutunya’, Rusia sekarang harus bermain lebih hati-hati di kawasan tersebut, untuk meminimalisir kerugian dan ancaman terhadap mereka sendiri maupun terhadap perwujudan visi Tatanan Dunia Multipolar mereka, dengan mengupayakan pencegahan terjadinya kemungkinan terburuk Armenia menjadi satu lagi boneka baru Barat di dekat perbatasan Rusia, baik dengan cara preemptif maupun responsif jika Armenia sepenuhnya menjadi negara “demokratis & liberal” yang pro-Barat yang berpotensi menaikkan eskalasi konflik Nagorno-Karabakh sebagai celah dimulainya perang yang lebih besar lagi dikawasan Kaukasus.

Apabila memenangkan kembali hati rakyat Armenia pada poin seperti sekarang ini dinilai sudah mustahil tercapai, maka setidaknya Rusia juga mempersiapkan serangkaian rencana cadangan guna mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi kedepannya.

Andrew Korybko
http://regionalrapport.com/2017/08/10/1391/