Pagi-pagi ada yang bertanya mengenai pengharaman suami memanggil istrinya dengan kata “mama” oleh al-Ustadz al-Artis Teuku Wisnu, dalam acara Berita Islami. Karena panggilan “mama” dari suami untuk istri itu, menurut al-Ustadz, adalah termasuk dzihar.
Oh wow… sumpeh lu?
Sesungguhnya ini adalah masalah remeh bagi para santri. Membahasnya tidak memerlukan ilmu alat atau ilmu analisa. Juga tidak perlu sampai mengenyam pendidikan S2, apalagi doktoral, untuk membahasnya. Ini hanya masalah fiqih biasa, yang dibahas dalam kitab-kitab fiqih bab nikah. Malu-maluinlah master agama kok tidak mengerti masalah begini.
Pertanyaannya, panggilan ini masuk bab “dzihar” (menyamakan istri dengan mahram, seperti ibu, adik perempuan, dll) atau tidak? Jawabannya adalah: panggilan mama ini memang mengandung kemungkinan dzihar.
Hukumnya sangat tergantung pada niat orang yang mengucapkannya, serta qarinah yang menunjukkannya. Jika pengucapnya memang berniat menyamakan istri degan ibunya dengan maksud bahwa dia haram menyetubuhi istrinya, maka jatuhlah dzihar. Tapi jika yang dimaksud dengan panggilan “mama” itu adalah menyamakan kemuliaan istrinya dengan kemuliaan ibunya, maka itu jelas bukan dzihar.
Yang dimaksud qarinah adalah jika suami dan istri sedang bertengkar hebat (nizā’ atau syijār), lalu suami berkata, “Engkau bagiku adalah seperti ibuku.” Maka jatuhlah dzihar itu. Tapi tetap harus disertai niat.
Mahagurunya al-Ustadz al-Artis Teuku Wisnu sendiri, yaitu Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatāwā (34/5) mengatakan bahwa jika ada orang berkata kepada istrinya begini, “Engkau bagiku itu seperti ibu dan adik perempuanku,” tapi yang dimaksud dengan penyamaan itu adalah kesamaan dalam kemuliaan, maka itu sama sekali bukan dzihar alias falā shay-un ‘alayhi.
Demikian juga menurut Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (11/60), juga umumnya ulama seperti Abu Hanifah, al-Syāfi’i, dan Ishāq, jika ucapan semisal di atas itu diniatkan untuk menyamakan sifat-sifatnya, tingginya, kemuliaannya, maka itu bukan dzihar. Atau mengucapkan ucapan semisal itu tanpa niat dzihar, itu pun bukan dzihar.
Apalagi di Indonesia, memanggil istri dengan kata “mama” itu biasanya ditujukan untuk pembelajaran bagi anak agar juga memanggil ibunya dengan panggilan “mama”, seperti halnya memanggil anak tertua dengan panggilan abang, kakak, dll; tujuannya agar anak yang kecil memanggil kakaknya dengan panggilan yang sama. Ini masuk dalam adat kebiasaan.
Bagi siapapun yang terkena dzihar, maka dia diwajibkan untuk membayar kaffarah, yaiti dengan memerdekakan budak. Jika tidak bisa, maka dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika tidak bisa, maka memberi maka 60 orang miskin.
Dalilnya? Ini:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ * فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ. (المجادلة/3-4)
“Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu. Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah: 3-4)