Benarkah jubah itu lebih baik daripada batik? Tidakkah orang yang mengatakan statement tersebut mengetahui istilah syuhrah dalam literatur Islam? Bukankah Imam Suyuthi, Abu Malik Kamal, Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, al-Bukhari, Ibrahim al-Nakha’i, dan para ulama mengajarkan agar setiap orang memakai pakaian lokalnya untuk beribadah? Mari kita telusuri secara singkat saja.

Dalam 7 Book of History, sejarawan Yunani Herodotus menyebutkan bahwa orang-orang Arab pra-Islam memakai jubah yang dikenal sebagai Zeira, yaitu jubah panjang longgar yang dipadu dengan celana yang memakai sabuk yang biasa disebut sebagai mi’zar atau Izâr (Rawlinson, G. (1860).

The history of Herodotus (Book 7). New York: D. Appleton & Co.). Strabo juga memperkuat informasi dari Herodotus ini yang menceritakan tentang pakaian Arab Nabati (cikal bakal kaum nabi Saleh), yang berpakaian seperti mantel atau jubah. Dalam Avesta (kitab suci agama Zoroaster di Iran antara 1000 dan 500 SM), bahwa beberapa pakaian disebutkan sebagai baju vaŋhana atau baju vastra seperti mantel atau jubah. Kedua baju ini mirip-mirip baju-baju syar’i yang dipakai oleh para perempuan Islam masa kini.

Dalam lukisan batu di Semenanjung Arab selama abad pertama SM, beberapa patung digambarkan memakai jubah lengan panjang sambil melihat patung-patung lain memakai celana militer Persia. Menurut Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah, jubah adalah pakaian favorit warga desa-desa di Arab pra Islam.

Dalam Talmud Babilonia orang-orang desa di Arab pra Islam itu memakai pakaian Burda (baju tebal) dan jubah. Menurut Tertullian, perempuan Arab pra -Islam memakai pakaian longgar semacam sarung yang sepenuhnya menutupi tubuh sehingga hanya satu mata yang nampak.

Maka, kita bisa ketahui bahwa pakaian-pakaian semacam burdah (baju tebal panjang sampai menutupi lutut), izar (semacam jubah), mirt (baju longgar panjang semacam baju muslimah dengan kain tambahan di selempangkan di bagian dada), rayt (semacam baju suster gereja), dan Shamla (semacam kaftan atau gamis) itu sudah ada jauh sebelum Islam datang. Dan baju-baju itu dipakai oleh semua kalangan, Zoroaster, Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Arab yang hidup di zaman Jahiliyah.

Apakah Batik Syuhrah?

Menurut Imam Suyuthi, pakaian syuhrah adalah pakaian yang dikenakan dengan niat ingin menjadikannya sebagai bahan berbangga diri dan sombong, atau pakaian orang zuhud yang ia kenakan dengan niat agar dikenal dirinya dengan kezuhudan.” (Syarh Sunan Ibni Majah no. 3606)

Menurut Abu Malik Kamal, pakaian syuhrah adalah semua pakaian yang dikenakan dengan niat mencari popularitas di tengah manusia. Pakaian syuhrah ini mencakup pakaian bagus yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga, agar dilihat paling fashionable a la istri artis atau pakaian yang bermutu rendah yang dipakai agar terlihat sebagai orang yang zuhudan dan riya’.” (Shahih Fiqhussunnah 3/37).

Rasulullah SAW bersabda:

من لبس ثوب شهرة ألبسه اللَّه يوم القيامة ثوبا مثله

“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat.” (HR. Abu Daawud, Ibnu Majah)

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :

فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة

“Seseorang seharusnya berpakaian dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebut sepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah.” (Syarh Shahih al-Bukhâri, 17/144)

Imam Ahmad berkata:

أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام

“Makruh hukumnya memakai pakaian yang bukan model pakaian penduduk negerinya tanpa ‘udzur.” (Ghidzâ’ al-Albâb, 2/182)

Al-Mardawiy berkata :

يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب

“Memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanâbilah) hukumnya ‘makruh’.” (Al-Inshâf, 2/263)

Pertanyaannya adalah manakah yang termasuk syuhrah di Indonesia: batik atau jubah? Batik jelas bukan syuhrah, karena batik adalah pakaian khas masyarakat Indonesia.

Mengenai apakah pakaian seperti batik ada di Malaysia atau di Hawaii, ini sama seperti nasi goreng (makanan khas Indonesia) yang mirip dengan paella (makanan khas Spanyol); renggingan (jajanan khas Indonesia) yang mirip dengan Gangjeong (penganan khas Korea), bubur ayam yang mirip dengan risotto (makanan khas Italia). Karena kemiripan itu tidak bisa dikatakan bahwa nasi goreng, rengginang, dan bubur ayam bukan makanan khas Indonesia.

Batik jelas pakaian khas Indonesia. Kata batik sendiri berasal dari bahasa Jawa amba (menulis) dan titik, lalu diambil suku kata belakangnya saja: ba dan tik. Dalam bahasa Jawa krama, batik disebut seratan, sementara dalam bahasa Jawa ngoko disebut tulis. Yang dimaksud adalah menulis dengan lilin.

Di Indonesia, Industri batik dalam bentuknya yang paling sederhana, diperkirakan mulai dikembangkan pada abad ke-10 itu juga ketika Jawa banyak mengimpor kain putih (kain mori) dari India sebagaimana diungkapkan berbagai sumber kuno. Bisa jadi lebih berkembang pada abad ke-11, saat sebuah prasasti menyebutkan kata “tulis” yang berkonotasi menorehkan desain batik dengan sejenis alat (canting).

Artinya, sudah jelas bahwa batik itu kain khas Indonesia. Sedangkan jubah tidak bisa dikatakan pakaian khas Islam, karena orang Islam tidak harus memakai jubah untuk menunjukkan ke-Islamannya. Telah kita bahas sebelumnya bahwa jubah itu telah dipakai oleh orang-orang terdahulu semenjak tahun sebelum Masehi, jauh sebelum datangnya Islam. Jika pun Nabi SAW memakai jubah, itulah sunnah Nabi SAW dalam menutup aurat, bukan dalam modal fashionnya. Jika memang model gamis atau jubah itu disunnahkan dipakai oleh seluruh ummat Islam, maka tidak akan ada hadis syuhrah di atas.

Anda bisa melihat orang-orang yang memakai gamis di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang memakai sarung, siapakah yang berbeda? Yang memakai sarung atau yang memakai gamis? Anda bisa melihat masyarakat Indonesia yang sejak berabad-abad yang lalu memakai batik dibandingkan dengan para pemakai gamis, siapakah yang lebih baru memakai: pemakai batik atau gamis? Tentu yang lebih baru memakai itulah yang disebut sebagai yang berbeda.

Kita tidak mau menyebut gamis sebagai syuhrah, karena kita tidak mengetahui niat orang-orang yang memakai jubah itu untuk apa. Juga karena alasan toleransi, kita biarkan pakaian gamis Arab itu ada di Indonesia. Itulah local wisdom yang kita miliki. Kita memakai batik, sarung, peci, dan baju koko, tetapi tidak apa-apa melihat saudara-saudara kita memakai gamis. Kita tidak meributkan kebodohan siapa pun yang mempermasalahkan ke-Indonesiaan kita, sejauh tidak merugikan para pengerajin batik dan produk-produk lokal lainnya.

Asal tahu saja, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Zubaid al-Yâmiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala yang dipakai pada jas hujan). Lalu Ibrahim al-Nakha’i (ulama fiqih) mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Al-Hushain berkata kepada Ibrahim, “Orang-orang zaman dahulu pernah memakainya.” Lalu Ibrahim berkata, “Ya, tetapi itu sudah lama tidak ada lagi. Jika ada orang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah, yang akan memalingkan pandangan semua orang kepada pemakainya.” (Ibnu Abi Syaibah no. 25655)

Artinya, mau tak mau jubah adalah pakaian yang tak umum di Indonesia pada awalnya. Bahkan, sampai sekarang, jika jubah itu dipakai di mall, pasar, perkantoran, pusat perbelanjaan, gedung parlemen, gedung pemerintahan, dan untuk meramaikan acara-acara yang berkaitan dengan demokrasi (dimana negeri para pemakai jubah itu biasanya menentangnya), maka jubah tentu bisa dikatakan sebagai syuhrah. Meskipun kita tidak bisa mengatakannya sebagai syuhrah jika itu dipakai di mesjid-mesjid.

Kesimpulannya, jubah adalah pakaian para pendatang di negeri ini. Sedangkan batik adalah pakaian asli orang-orang Indonesia. Batik adalah pakaian asli Indonesia, para pemakainya terhindar dari hukum syuhrah, karena batik adalah pakaian asli penduduk Indonesia.

Batik tidak bisa dikatakan lebih buruk daripada jubah, karena para pemakai jubah tidak harus ditemukan di mesjid-mesjid, banyak juga para pemakai jubah di tempat-tempat terlarang. Yang benar adalah, jika merasa menjadi tokoh agama, please berpandanganlah sesuai ajaran agama Anda, jangan menghabiskan waktu di depan medsos, dimana ocehan-ocehan yang keluar dari nafsu Anda akan mengubur pengetahuan agama Anda.