Orang yang hafal 100 ribu hadis, plus hafal ayat-ayat al-Quran beserta nasikh-mansukh-nya, am’ khas-nya, muthlaq muqayyad-nya, mafhum manthuq-nya, perbandingan antar berbagai tafsirnya, asbabunnuzul-nya, dan seterusnya dan seterusnya, bisa saja dia mengklaim “kembali kepada al-Quran dan Hadis”.

Padahal, dia menggali nash al-Quran memakai metodologi ijtihad juga, seberbeda apa pun caranya dengan metodologi ijtihad madzhab-madzhab mu’tabar.

Berbeda dengan orang-orang yang dengan bangganya menyatakan ingin kembali ke al-Quran dan Sunnah tanpa ilmu-ilmu tersebut di atas; maka, di samping sombong, motto “kembali kepada al-Quran dan Sunnah” semacam ini terdengar sangat tidak mengerti hukum Islam.

Karena, jangankan kita yang hidup di zaman ini, para sahabat saja harus bertanya kepada Nabi SAW dahulu tentang makna al-Quran, bahkan mengenai suatu istilah dalam hadis. Ini menandakan bahwa memahami naskah-naskah al-Quran dan sunnah itu tidak mudah.

Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah sumber hukum Islam. Hukum Islam terjadi ketika al-Quran dan Sunnah digali melalui proses ijtihad.

Karakteristik hukum Islam yang bersumber dari nash (al-Quran dan Sunnah) yang didukung oleh ra’yu (opini) merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dengan sistem hukum lainnya. Sunni menyebutnya sebagai qiyas, sedangkan syiah menyebutnya sebagai al-aql, yang sering disebut dengan istilah qiyas manthiqi.

Contoh qiyas dalam Syiah adalah penyamaan illat memabukkannya narkoba dengan minuman keras; juga bahwa segala hal yang membahayakan semua dilarang. Sebagaimana dimakruhkannya memakan buah delima karena keasamannya, maka illat asam itu bisa dipakai untuk segala buah yang asam tidak boleh dimakan.

Dalam tradisi ahlussunnah, qiyas dipakai sebagai praktik ijtihad yang dijadikan sebagai salah-satu sumber hukum Islam. Karena illat merupakan barometer dalam istinbath hukum, maka illat adalah hal yang paling penting dalam kehidupan muslim Sunni. Di samping hikmah, illat adalah manath al-hukm (pijakan hukum) yang sangat penting. Sebagai pijakan hukum, maka hukum Islam tergantung pada illat ini.

Syarat illat harus jelas (dhahir), memiliki standar (mundhabith), serta memiliki relefansi dan mekanisme (munasib). Oleh karena itu, hukum ada jika illat ada; ketika illat tidak ada, maka hukum pun menjadi tidak ada.

Ada adagium yang berbunyi seperti ini:

لأن النصوص محدودة ، والوقائع غير محدودة فلا بد من اللجوء إلى القياس ،و النظر إلى علل الأحكام

Teks-teks nash itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas, oleh karena itu diperlukan ijtihad (qiyas) untuk mengintepretasi nash yang terbatas.

Ijtihad ini dilakukan agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit dalam nash dapat dicari pemecahannya.

Pendekatan dalam ijtihad dibagi menjadi dua: Lughawiyah
(kebahasaan) dan maqashid (tujuan-tujuan syariah). Pendekatan kebahasaan adalah pendekatan yang menjadikan redaksi nash (al-Quran dan
Hadis) sebagai obyek kajian.

Dari pendekatan ini kita kenal istilah-istilah semacam al-’amm dan al-khash, al-mutlaq, al-muqayyad, al-manthuq, al-mafhum, muhkam dan mutasyabihat.

Sedangkan pendekatan maqasid al-syariah adalah pendekatan yang menekankan penelitiannya pada tujuan-tujuan syariah yang digali dari nash. Dari pendekatan maqasid ini kita kenal antara lain al-qiyas, al-istihsan, al-maslahah al-mursalah, al-istishab dan sadd al-dzari’ah.

Qiyas adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain atau mempersamakan sesuatu dengan yang tidak memiliki nash mengenai ketentuan hukumnya dengan suatu kasus yang memiliki ketentuan hukum karena memiliki kesamaan illat.

Dengan demikian illat adalah tempat berpijak atau bergantungnya suatu hukum. Illat dapat dikatakan sebagai hal yang paling utama dalam melakukan analogi atau istinbath hukum.

Karena hukum, baik ada maupun tidak adanya, bergantung pada illat-nya, meskipun sebagian ulama’ yang berpendapat bahwa hukum tergantung pada hikmahnya, hal ini menunjukkan betapa pentingnya mengetahui illat dan hikmah dalam istinbath al-hukm. (Zuhaili, 1986: 649)

Menurut bahasa, illat bermakna al-da’i atau al-ba-its yang artinya motif, sebab, atau alasan (Ibrahim, 1982: 50). Sedangkan menurut istilah illat adalah:

ﺍﻟﻌﻠﺔ ﺍﻟﻮﺻﻒ ﺍﻟﻤﻌﺮﻑ ﻟﻠﺤﻜﻢ

Sesuatu yang memberitahukan adanya hukum.

Al-amudi menyatakan bahwa illat adalah pendorong terbentuknya hukum melalui qiyas. Sedangkan al-Ghazali mengatakan bahwa illat itu berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sebab ketetapan dari Allah (bija’lillah). Yang dimaksud dengan bija’lillah adalah bahwa illat-nya ini bisa diketahui dengan menggalinya dari nashnash al-Quran dan sunnah.

Abu Zahrah menjelaskan bahwa pembunuhan sengaja dengan pedang adalah illat qhisash. Dengan demikian segala bentuk penganiayaan dengan alat atau senjata mematikan sama artinya dengan menggunakan pedang yang hukumannya adalah qisash. Oleh karena itu, maka illat haruslah sesuatu yang dzahir (tampak), mundhabith (terukur) dan munasib (memiliki relefansi dan sesuai dengan hikmah hukum).

Hubungan antara ada dan tidak adanya hukum, sesuai dengan tujuan syara’, yakni menarik maslahah dan menolak mafsadah. Dari sini kita dapat membuat contoh bahwa illat khamar adalah iskar (memabukkan). Sifat memabukkan merupakan suatu kualitas yang dzhahir (jelas), karena memabukkan dapat diindera dan memungkinkan untuk diteliti.

Memabukkan juga mundhabith, sebab memabukkan itu dapat diukur. Dan yang menjadi madzinnah al-hukm tentang keharaman khamr adalah memabukkan tersebut sesuai dengan tujuan syariat, yakni hifdzul aqli (menjaga akal).

Dalam beberapa literatur kita akan menjumpai, istilah illat manshushah dan mustanbathah. Illat manshushah ada dua: sharih dan talwih. Illat manshushah al-sharih adalah illat yang disebutkan oleh nash secara jelas. Seperti firman Allah: dalam kasus Haid.

Sedangkan illat manshushah talwih sama dengan ima’ dan isyarat adalah yang diperoleh dari sifat yang membarenginya. Seperti hadis Nabi: tidak ada harta waris bagi pembunuh.

Yang menjadi masalah itu illat mustambathah; illat ini tidak disebutkan oleh nash. Oleh karena itu, untuk bisa mengetahui kualitas suatu illat, para ulama ushul mengembangkan teori-teori pengujian illat hukum yang kemudian dikenal dengan masalik al-illat. Masalik illat ini adalah suatu metode untuk mengetahui illat al-hukm.

Melalui masalik al-illat ini akan dapat diketahui apakah suatu kasus yang belum ada nash hukumnya dapat dihubungkan dan dihukumkan sama dengan kasus lain yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash ataukah tidak. Diantara masalik al-illat yang disepakati adalah al-nash, al-i-ma’ (tanbih), al-ijma, al-sibr wa al-taqsim, dan al-munasabah.

Semua yang tertulis di  sini hanyalah sebagian kecil dari alat yang dipakai untuk menggali nashnash al-Quran dan hadis.

Para ulama memakainya untuk menghasilkan hukum-hukum. Baik Syiah maupun Ahlusunnah, semuanya memakai cara ijtihad untuk menggali hukum-hukum ini. Tidak ada yang hanya bersandar dengan al-Quran dan Sunnah saja.

Hanya orang-orang puyeng saja yang merasa bahwa mereka bisa menghasilkan hukum hanya dengan melihat nashnash al-Quran. Apalagi jika yang mengatakan itu tak hafal ribuan hadis, tak hafal al-Quran, tak mengerti nasikhmansukh, tak mengerti ‘am-khash-muthlaq-muqayyad, ilmu sejarah, dan seterusnya.

Lebih-lebih—biasanya—mereka yang menganut motto kembali kepada al-Quran dan sunnah ini hanya mengerti al-Quran dan hadis dari kitab-kitab terjemahan.