Satu-satunya definisi terorisme yang paling jujur dan dapat diterima di seluruh dunia adalah definisi yang secara eksplisit menunjukkan subjektivitasnya, yaitu bahwa terorisme adalah kekerasan yang saya tidak mendukungnya.
John Whitbeck

Kata teror ini telah berumur 2 millenium dan berkembang terus seiring dengan kepentingan penguasa.  Kata teror  ini pertama kali digunakan oleh penguasa Romawi di Yerusalem untuk memukul kaum Zealot yang mengorganisir gerakan perlawanan terhadap kekuasaan Roma.

Predikat bagi pelaku teror adalah teroris, dan paham atau tindakan yang menjadikan teror sebagai salah satu upaya mencapai tujuannya disebut dengan terorisme.  Tindakan terorisme merupakan tindak kejahatan luar biasa, karena dampak ketakutan yang ditimbulkannya berpotensi mengganggu kepentingan sosial yang lebih besar,

Dalam penggunaannya, kata “teror”, “teroris” dan “terorisme” merupakan kata-kata sakti yang bisa saja disematkan kepada seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mengganggu kepentingan mereka. Pelabelan sebagai “teroris” sering disematkan penguasa terhadap musuh-musuh mereka agar memperoleh dukungan dari rakyat  atas nama kepentingan keamanan. Begitu efektifnya labeling ini, rakyat terima saja melihat perlakuan penguasa berupa penangkapan illegal, penyiksaan bahkan pembunuhan tanpa melalui proses pemeriksaan terhadap seorang “teroris” yang sekalipun masih dalam kategori dicurigai, karena dalam benak rakyat, metode seperti itu bis saja diterima sepanjang tindakan itu semua dalam rangka menjalankan program kontraterorisme.

Jadi, sebagaimana kata Brian Jenkins, “Apa yang disebut sebagai terorisme tergantung pada sudut pandang seseorang. Jika salah satu pihak berhasil menyematkan label teroris kepada lawannya, maka secara tidak langsung ia telah membujuk pihak lain mengadopsi sudut pandang moralnya tersebut.” Hal ini dilakukan oleh hampir seluruh pemerintah di dunia. Contohnya teror yang dilakukan oleh Israel pada rakyat Palestina. Menurut pemerintah Israel, yang mereka lakukan bukanlah tindakan teror melainkan pembelaan diri dari serangan terroris. Dalam hal ini rakyat Palestina dilabeli sebagai pelaku teror, dan pelabelan ini diterima oleh mayoritas warga Israel, bahkan dibenarkan oleh Negara-negara yang pro-Israel.

Dalam pelabelan seseorang/sekelompok orang sebagai teroris, standar ganda juga sering diterapkan. Terorisme lebih dipandang sebagai “kekerasan yang mereka lakukan”, bukan “kekerasan yang kita lakukan”. Sebagaimana pernyataan Richard Falk, “Kita sering mengecam musuh politik kita yang terlibat dalam kekerasan sebagai pihak yang tak beradab dan melanggar hukum, namun kita memberikan penghargaan atas prestasi kenegarawanan kepada pejabat kita yang juga melakukan jenis terorisme yang sama”. Sia-sia dan munafik untuk mengira bahwa kita bisa menggunakan kata terorisme untuk mengembangkan standar ganda terkait dengan penggunaan kekerasan politik, kecuali jika kita konsisten dan kritis terhadap diri kita sendiri.

Kata “teroris” yang tidak pada tempatnya sering mengundang datangnya kekerasan yang kelak akan kita sesali. Begitupun, pelabelan” teroris” dapat disematkan bagi siapa saja –tanpa memandang apakah pelakunya dari kelompok revolusioner  kiri/kanan ataukah pemerintah –  yang melakukan tindak kekerasan,  serta cukup moral dan pembenaran hukum atas tindakannya.

Sebagaimana pelabelan “teroris” yang sering digunakan akhir-akhir ini, stigma “Kontra Revolusioner” , “antek-antek Nekolim” dll.  disematkan oleh  pendukung PKI kepada lawan politiknya. Dan pada masa Pemerintahan H.M. Soeharto   pelabelan sebagai “Komunis”, “PKI”, “Perusak Stabilitas Keamanan Nasional”, “Anti Pancasila” dll digunakan sebagai alat  pembungkam lawan politik demi kukuhnya kekuasaan. Pelabelan ini telah menelan banyak nyawa orang yang menyandangnya. Begitu efektifnya pelabelan terebut, rakyat yang buta politik membenarkan, mendukung bahkan mengambil tindakan sewenang-wenang terhadap orang-orang yang dilabeli. Inilah teror yang dilakukan pemerintah kepada rakyat dengan mengatasnamakan stabilitas keamanan nasional. Untuk menjadikan terror sebagai sesuatu yang legal, pemerintah menyiapkan payung hukum, contoh : ketetapan MPRS No XXV tahun 1966. Alasan yang digunakan oleh pemerintah untuk melakukan tindakan terror adalah demi menjaga ketertiban umum.