Sobat, saya mau cerita sedikit, tentang sebuah narasi, yang mungkin sebagian di antara sobat pernah membacanya, atau setidaknya, pernah mengiyakan atau mungkin juga sempat hadir dalam diskusi-diskusi ilmiah tentang ini.

Cerita itu tak mengalir seperti kisah A Song of Ice and Fire atau The Lord of the Ring. Cerita itu justru menyumbat sendi-sendi “dissolve to” dalam istilah film (perpindahan dari sebuah gambar ke gambar lain dengan seni tertentu)

Penceritanya, ya — Nietzsche, saya termasuk salah satu penggemarnya dan bisa dibilang terdominasi olehnya, dalam hal menyusun prosa singkat. Dia mengeluh, saya anggap bercerita. Tapi tak begitu penting, langsung saja pada poinnya.

Nietzsche sempat kecewa dengan para Saintis, sekelompok ahli-ahli alam. Ketika mereka hadir di tengah-tengah peradaban dan mulai memutilasi realitas. Realitas, dalam pandangan Saintis (menurut Nietszche) — tidak perlu dimanja. Realitas adalah fasilitas industri manusia.

“Silahkan saja kalian klaim berbagai gagasan progresif lahir dari kepala kalian, tapi sejatinya kalian tak mengindahkan realitas, kalian justru mengangkangi realitas, memperkosanya. Kalian orgasme di muka peradaban dan setelah itu, kalian balut kelamin yang tak berdaya itu dengan daun yang dipetik dari sebuah pohon yang tumbuh di badan semesta. Kalian telah mengotori semesta berulang kali. Iya, berulang kali” – Narasi itu adalah gambaran saya terhadap beberapa literatur karya Nietszche yang mengkritik para saintis.

Siapa yang masih ingat, buku Jokowi Under Cover? Yang ditulis tanpa referensi ilmiah dan sumber data yang jelas. Istana pun akhirnya merespons, media Kompas turut melansir pernyataan Presiden, bahwa buku itu tidak ilmiah dan masuk dalam klausul hukum pidana, bagi yang menulis, yang mendistribusi bahkan membelinya. Negeri ini sempat gempar sejenak karena buku itu. Kalangan elit pemerintahan dan akademisi turun gunung. Upaya Jokowi untuk melindungi Demokrasi kita digugat habis-habisan oleh kelompok yang juga merasa berjuang atas nama “demokrasi”.

Saat ini, Jokowi jadi sorotan akademisi. Hampir setiap pernyataannya dikritisi secara masif dan dekonstruktif. Baru-baru ini, Perppu Ormas menuai kontroversi. Lantaran dianggap mencederai demokrasi. Bila sobat perhatikan, para penentang Perppu Ormas ini adalah mereka yang berada pada garda terdepan mendukung mati-matian UU Penodaan Agama: (56a).

Sebetulnya, apa kaitan antara demokrasi dengan UU Penodaan Agama? Apakah ada korelasi erat yang menjadikan nilai-nilai demokrasi kita akan semakin kuat dengan adanya Pasal Penodaan Agama? Atau justru sebaliknya? Dan kini, mereka (orang-orang yang mendukung UU Penodaan Agama), kepanasan dengan Perppu Ormas, karena dinilai mencederai demokrasi.?

Apakah belum jelas, bahwa persoalan kita yang terhubung pada idiom “demokrasi” berasal dari ketaksepahaman banyak pihak tentang makna “demokrasi” itu sendiri. Atau memang sebetulnya demokrasi memang bukan sebuah kerangka yang aksioma, sehingga tak mungkin bisa disepakati secara konstruktif dan general? Bila kesalahannya dari sini, siapa yang bertanggung jawab? Tentu, para akademisi.

Merekalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap kerancuan berpikir banyak orang (khususnya generasi muda) tentang arti dan entitas sublim demokrasi. Bukan Presiden. Anehnya, elit politik oposisi mendadak jadi akademisi. Tujuannya agar rakyat mampu membedakan, mana orang pintar dan mana orang bodoh.

Tentunya agar kita sepakat bahwa Jokowi bodoh karena tak mampu menjelaskan makna demokrasi dengan bahasa yang ilmiah dan lugas. Padahal, Presiden tak dituntut untuk menjelaskan demokrasi, tapi menerapkannya. Soal penerapannya yang dinilai bertentangan dengan konsep demokrasi yang ada di kepala mereka, itu persoalan yang harus diselesaikan oleh akademisi.

Hari ini, kita dapat beberapa konstruksi akademis yang mungkin tak begitu penting, atau tak begitu menohok, karena tak menyerang personal siapapun. Konstruksi ini klasik. Dari Nietsche (mewakili dirinya sebagai seorang filosof) sobat dapat membangun argumentasi historis, bahwa: di tangan filosof, ilmu (tentang realitas) diinterupsi. Di tangan saintis, realitas dimutilasi. Dan hari ini kita semakin meyakini satu konsep lagi; Di tangan politisi, ilmu dan realitas dieksploitasi.

Kita bisa membayangkan hal serupa, dengan Nietzsche. Kala itu, ia muak dengan para saintis. Saat ini kita muak dengan akademisi yang sebetulnya sudah gagal mencerahkan, tapi keukeuh memamerkan kemapanan berpikir. Dan yang membuat kita lebih muak lagi, segala kemapanan berpikir itu hanya modal untuk bisa makan-makan gratis dalam hajatan partai.

Tak ada maksud mendukung Perppu Ormas, karena siapapun yang menentang UU Penodaan Agama, seharusnya juga menentang Perppu Ormas (dan sebaliknya). Kecuali fanatisme figur membutakan akal sehat sehingga pragmatisme menjadi parameter menentukan dukungan.

Salam toleransi!