Sejak kekacauan melanda Syria pada Maret 2011, Pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdogan telah memposisikan diri sebagai godfather gerakan terorisme yang dipimpin Ikhwanul Muslimin di negeri tetangganya tersebut.

Apakah Erdogan secara tidak sengaja berbalik arah dan mengkhianati Bashar al-Assad karena alasan ideologis dan religious, ataukah kekacauan itu disebabkan kebijakan luar negeri Assad sendiri, kini semuanya menjadi pertanyaan usang.

Namun dari semua alasan, tujuan Erdogan tak lain tak bukan adalah terciptanya Neo Ottoman; berusaha mengembalikan kejayaan Kekaisaran Ottoman sebelum dihancurkan oleh Sekutu dalam Perang Dunia I.

Untuk melakukan hal itu, Turki harus secara langsung terlibat secara jahat di Syria selatan – mempersenjatai, melatih dan membuka akses bagi ribuan teroris asing ke dalam Syria.

Turki lalu mendirikan Jaysh al-Fateh, yang dipimpin oleh cabang al-Qaeda di Syria, Jabhat al-Nusra – yang mengambil alih sebagian besar provinsi Idlib musim panas lalu.

Perang ekonomi juga tak kalah kejam dilancarkan Turki. Aleppo, ibukota ekonomi Syria dan penghubung utama komersial dan industri di Timur Tengah telah lama menjadi momok laju industrialis dan pabrik Turki.

Kota berusia 12.000 tahun itu kemudian dijarah habis-habisan dan dihancurkan oleh gerombolan pro-Turki. Bahkan kini beberapa wilayah Syria di dekat perbatasan Turki dipaksa untuk menggunakan lira sebagai mata uang resmi.

Pegunungan tepi pantai Syria di utara, menjadi pemukiman etnis Turki dimana beberapa desa dengan paham Wahabi berkembang pesat. Kota Salma, Rabia dan Kansabba telah menjadi markas teroris anti-Assad selama lebih dari 3 tahun.

Turki sendiri telah menduduki provinsi Hatay (Liwaa Iskenderun) sejak 1939. Barisan pro-Turki ini (Latakia utara, Idlib dan Aleppo utara) dimaksudkan untuk menjadi penghalang suku Kurdi dalam membentuk negara mereka sendiri di sepanjang perbatasan Syria-Turki; sebuah hal yang dipandang sebagai ancaman nasional bagi Turki.

Barisan ini juga dimaksudkan untuk membuat buffer zone bagi Turki di Syria menjadi memungkinkan. 24 Januari lalu, pertahanan terakhir teroris di Latakia utara jatuh kepada tentara Syria yang dibantu oleh serangan udara Rusia.

Kini, tentara Syria mulai merangsek maju ke Jisr al-Shougour, sebuah kota yang direbut Jaysh al-Fateh pada bulan Mei 2015. Peran penting pesawat tempur Rusia dalam membantu tentara Syria memang tak bisa dipandang sebelah mata.

Menurut banyak pihak, masalah ini bagi Rusia bukan hanya soal mendukung sekutu lama dalam peperangan. Mungkin seranganTurki terhadap jet Su-24 Rusia bulan November tahun lalu telah berbuah pahit, hingga rezim Erdogan tak lagi bisa melindungi anasir-anasirnya di Syria ataupun melanjutkan fantasinya tentang Neo Ottoman.

 

Zen Adra – http://www.almasdarnews.com/article/the-collapse-of-neo-ottomans-dream-in-northern-syria/