Seperti digambarkan di artikel sebelumnya, inti perang di Syria adalah perebutan sumber dan jalur energi strategis menuju pasar Uni Eropa, dan pencurian wilayah dataran tinggi Golan yang kaya minyak oleh Israel.

Sementara ini, tujuan dari rencana awal ini gagal diraih. Namun perlu diingat, imperialis besar selalu punya rencana cadangan untuk menuntaskan ambisi serakahnya.

Rencana awalnya sendiri berlapis dua:

Langkah pertama adalah melucuti pemerintahan Syria yang secara sah diakui PBB. Meski mengobarkan perang selama 5 tahun, menggelontorkan personil dari berbagai negara dengan dalih ‘jihad’, persenjataan dan dana yang tak terbatas; rencana ini bisa dibilang gagal.

Namun langkah yang kedua, telah menelurkan hasil yang lebih berarti dibanding langkah pertama, dimana kini 3/4 dari sektor utara Syria telah dikuasai oleh milisi Kurdi, yang dipersenjatai oleh AS.

Meski demikian, masih ada satu pelengkap kesuksesan langkah yang kedua – yang kini sedang gencar diupayakan oleh Kurdi, yaitu penguasaan area Hasakah secara penuh.

Mengapa Hasakah menjadi penting? Sebagai kota paling utara di Syria, berbatasan dengan Iraq, penguasaan Hasakah akan membuka koridor untuk transportasi minyak dari Iraq ke Syria.

Meski AS sebenarnya lebih suka jika teroris didikannya yang mampu melaksanakan strategi ini, namun tampaknya saat ini mereka menerima Kurdi sebagai pengganti.

Satu-satunya penghalang rencana ini adalah tentara Syria (SAA) dan Turki.  AS telah memerintahkan Kurdi untuk menyerang posisi SAA, dan AS mengancam akan menembak jet Syria yang melakukan serangan balasan.

Jika misi ini berhasil, maka satu-satunya oposisi dari jalur minyak via milisi Kurdi ini adalah Turki. Mesi Turki tak sepenuhnya menolak ide pipa minyak ini, namun bagi Turki, ancaman dari eksistensi Kurdi lebih besar dari manfaat jalur itu.

Kurdi yang semakin kuat di sisi selatan perbatasannya menimbulkan kekhawatiran akan ancaman kudeta lanjutan pada Erdogan. Meski kudeta pertama pada presiden Turki itu gagal beberapa waktu lalu, namun rasa was-was belum sepenuhnya hilang dari sang Sultan.

Keamanan kekuasaan Erdogan akan menjadi alasan vital bagi Turki untuk menolak jalur pipa yang dimotori oleh Kurdi. Disamping itu, Turki kini juga memiliki pilihan lain: Rusia.

Moskow sudah sejak lama menawarkan ‘Jalur Turki’ setelah Washington memaksa Uni Eropa menolak tawaran ‘Jalur Selatan’ dari Rusia, yang sejatinya bisa memenuhi kebutuhan Eropa.

Keengganan Turki menerima proposal Rusia kala itu, dan gagalnya tawaran ‘Jalur Selatan’, membuat negara teluk cukup tenang, karena kedua jalur itu mengancam eksistensi mereka sebagai supplier bagi Uni Eropa.

Perlu ditekankan, bahwa Turki tetap diuntungkan dengan apapun pilihan yang diputuskannya. Kesetiaannya pada NATO dan Ikhwanul Muslimin-lah yang membuat posisi Turki lebih condong ke Washington. Setidaknya hingga sekarang.

Kudeta yang gagal di Turki kemarin ikut mempengaruhi sikap politik dan dinamika kawasan. Turki kini dalam mode survival, dan bergerak perlahan untuk mencoba memperbaiki kekacauan yang telah ditimbulkannya di Timur Tengah.

Berbalik dari harapan AS, Turki memulai manuvernya dengan mendekat pada Rusia. Hasilnya, pembicaraan soal ‘Jalur Turki’ kini dibuka kembali dan kesepakatan penting telah dibuat, yaitu kesediaan Turki membantu kestabilan Syria.

Bisakah Turki dan Syria berteman kembali? Memperbaiki hubungan secara diplomatik sangat mungkin terjadi, namun kerusakan yang ditimbulkan Turki sudah terlalu dalam di Syria dan butuh waktu lama untuk pulih.

PM Turki, Yildirim, berjanji bahwa Ankara akan memainkan peran yang lebih ‘aktif’ di Syria dalam enam bulan ke depan. Meski masih bertahan dengan pendiriannya bahwa Assad tak bisa lagi menjadi pemimpin di Syria, namun sikap Turki sekarang jauh lebih lunak dibanding sebelumnya.

Yildirim bahkan mengeluarkan pernyataan cukup tajam mengenai status pangkalan Incirlik – yang merupakan gudang senjata nuklir NATO terbesar dan pangkalan AS – dengan menandaskan bahwa Turki akan memperbolehkan Rusia menggunakan Incirlik, kapanpun diperlukan oleh Rusia.

Sebuah tamparan yang cukup keras ke wajah Washington.