Only a life lived for others is a life worthwhile. Albert Einstein

Kemarin, 25 November, Fidel Alejandro Castro Ruz atau yang selama ini kita kenal dengan Fidel Castro, mangkat di usianya ke-90.

Castro, meski tak terlepas dari pro dan kontra, adalah individu pertama yang diakui oleh PBB sebagai ‘Pahlawan Solidaritas Dunia’.

Kontribusi yang ia berikan pada gerakan sosialis global, hingga perjuangan pembebasan negara dunia ketiga dan keadilan sosial merupakan sesuatu yang monumental – terutama saat kita menyadari bahwa ia merupakan pemimpin negara mungil dengan populasi sama banyaknya dengan New York.

Castro bisa jadi merupakan tokoh revolusioner paling ikonik di abad ke-20, dan kisah perjuangannya untuk membebaskan Kuba dari kontrol asing dan pengaruh mafia AS sejak 1950 merupakan contoh nyata dari keteguhan dan determinasi.

Tercatat, ada lebih dari 634 percobaan pembunuhan terhadapnya yang dirancang oleh CIA dan organisasi milik AS di sekitar Kuba.

Beragam cara sudah dicoba, mulai dari pil mematikan, cerutu beracun, bekicot yang meledak hingga pakaian selam yang dilumuri zat kimia. Keinginan AS untuk melenyapkannya begitu menggebu, sampai-sampai bubuk perontok jenggot pun pernah diberikan kepadanya, dengan harapan rambut di janggutnya yang ikonik akan rontok dan dus, melunturkan kepopulerannya.

Namun, kemampuannya memilih orang-orang kepercayaannya telah membuatnya menjadi sosok melegenda, atas keberhasilannya bertahan hidup hingga berumur panjang.

Visi Castro, jauh lebih luas dari Kuba. Sebagaimana diakui oleh Nelson Mandela, pembebasan Afrika Selatan merupakan jasa kepemimpinan Castro dalam membantu perlawanan Angola dan Namibia secara militer, yang kala itu menghadapi Afrika Selatan yang didukung penuh oleh AS.

Castro juga menelurkan Sekolah Medis Amerika Latin (ELAM), yang hingga kini melatih dokter dari penjuru dunia, terutama dari negara-negara miskin. Kini, setidaknya 70 negara telah merasakan manfaat langsung dari internasionalisasi medis ala Kuba, termasuk di Haiti, dimana dokter-dokter Kuba berjuang di garis depan menghadapi wabah Kolera.

Kuba saat ini juga mengirim ratusan dokter di pemukiman kumuh Caracas, Venezuela, karena keengganan dokter lokal untuk bekerja di sana. Dokter hasil pendidikan dari Kuba juga kini menjadi penyambung misi kesehatan di pedalaman Honduras.

Tercatat lebih dari 26 negara Amerika Latin dan Karibia dimana penduduknya sering mengunjungi Kuba untuk berobat mata. Termasuk di antara mereka adalah Mario Teran, serdadu Bolivia yang menembak dan membunuh Che Guevara. Kuba tak hanya memaafkan Teran, namun juga memberi penglihatannya kembali.

Saat Badai Katrina meluluhlantakkan AS, Kuba bahkan menawarkan diri untuk mengirim 1.500 dokter untuk membantu para korban. Tawaran sekaligus tamparan, yang akhirnya ditolak oleh Washington.

Piero Gleijeses, seorang profesor di Universitas John Hopkins, menulis dalam bukunya Conflicting Missions mengenai hubungan Kuba dengan Algeria, pasca revolusi di Kuba terjadi:

Ini merupakan sikap yang sangat tidak biasa: negara yang miskin menawarkan bantuan gratis kepada negara yang lebih parah kondisinya. Bantuan ini ditawarkan saat para dokter dari Kuba melakukan eksodus ke luar negeri, yang membuat Kuba kesulitan menempatkan tenaga medis sembari tetap melakukan program domestik untuk memberikan layanan kesehatan kepada publik. ‘Ini seperti seorang pengemis yang menawarkan bantuan, namun kami tahu warga Algeria lebih membutuhkannya daripada kami dan mereka layak mendapatkannya,’ ujar Menteri Kesehatan Umum Kuba, Machado Ventura, kala itu. Ini merupakan aksi solidaritas yang tak memberi keuntungan sama sekali dan malah memakan biaya cukup besar.

Kata-kata tersebut sama benarnya dulu sampai sekarang, sebagaimana aksi solidaritas dari Kuba ini terus dilakukan berulangkali ke seluruh dunia. Dan perlu dicatat, Kuba dalam kepemimpinan Castro, dalam kesulitan besar setelah AS menjatuhkan embargo ekonomi dan melancarkan aksi teror tiada henti.

25 tahun terakhir, Kuba telah merawat dan mengobati lebih dari 26.000 warga Ukraina yang terkena efek radiasi Chernobyl, dalam fasilitas medisnya di Havana. Kuba terus melanjutkan program ini, meski Uni Soviet yang dulu membantu proyek ini telah runtuh.

Saat menduduki tampuk tertinggi di Venezuela pada 1999, Hugo Chavez pernah mengatakan, “Satu-satunya cahaya di dalam rumah adalah Kuba.”

Ia bermaksud mengatakan bahwa Kuba adalah satu-satunya negara di kawasan yang bebas dari imperialisme AS. Berkat keteguhan Castro dan rakyat Kuba, kini sebagian besar Amerika Latin telah terbebas dari jeratan mematikan Washington.

Kuba tak hanya tegak berdiri 25 tahun setelah runtuhnya Uni Soviet, namun juga sejahtera dan menjadi mercu suar bagi negara lainnya – sebuah kesaksian akan semangat dan ketabahan Fidel Castro.

Mari bergabung dengan dunia dalam penghormatan terhadap Fidel Castro, dan warisannya yang telah mengubah dunia.

Ditulis dengan beberapa edit dari Dan Kovalik: http://www.counterpunch.org/2016/08/12/tribute-to-fidel-castro-on-his-90th-birthday/