Dalam perspektif Islam pada umumnya, begitu juga dalam perspektif Yudaisme, anjing dinilai kotor. Pemikiran demikian berakar pada tradisi panjang yang menganggap bahwa bahkan dengan keberadaan anjing disekitar seseorang muslim yang sedang sholat saja, maka sholatnya tidak akan diterima olehNya. Seperti halnya miskonsepsi pada beberapa aspek sejarah Islam lainnya, pada masa sekarang ini baik muslim maupun non-muslim menilai bahwa agama Islam dan anjing tidak dapat disandingkan satu sama lain.

Namun, tidak dapat dipungkiri juga, terdapat perspektif lain mengenai anjing dalam ajaran Islam. Sebuah perspektif yang berfokus pada sejarah interaksi positif antara kaum muslimin dengan anjing yang bahkan dimulai dari masa awal lahirnya agama Islam. Menurut beberapa sumber dan referensi sejarah mengenai hidup dan ajaran beliau SAW, Nabi Muhammad SAW sendiri kerap sholat walaupun terdapat anjing disekitar beliau SAW. Banyak pula sepupu dan sahabat beliau SAW, yang konon juga adalah generasi Muslim pertama di dunia, juga memelihara anjing. Di Masjid Nabawi kota Madinah, salah satu dari dua kota suci Islam, anjing pun hidup berdampingan dengan penduduk kota tersebut dari era Nabi Muhammad SAW hingga beberapa abad setelahnya.

Sebenarnya tidak mengherankan apabila umat muslim yang paling awal memelihara banyak anjing. Mayoritas dari mereka beternak domba dan kambing, dan anjing sangat membantu dalam mengatur dan mencegah kaburnya hewan-hewan ternak tersebut, serta menjaga mereka dari pencuri ternak maupun hewan pemangsa. Domba dan kambing merupakan sumber makanan dan pencaharian umat muslim yang paling awal, dan anjing pun terhitung berjasa dalam menjaga sumber penghidupan mereka.

Sejarah mencatat, anjing juga telah menjadi mitra penting dalam kegiatan berburu. Jauh sebelum lahirnya agama Islam, anjing sering digambarkan menemani majikan-majikan mereka dalam ukiran batu kuno (hieroglif) dari kebudayaan Mesir kuno maupun Mesopotamia. Para Muslimin generasi awal pun menggunakan anjing untuk fungsi yang serupa.

Seiring penyebaran agama Islam di Timur Tengah dan dunia, agama ini berubah dari agama yang semula dianut oleh kaum nomadik menjadi agama yang berpusat pada kota-kota. Banyak dari kota besar dunia pada tahun 700-1700an merupakan kota-kota besar berpenduduk mayoritas muslim. Seiring itu juga, anjing yang berperan vital dalam kehidupan masyarakat nomadik, juga kemudian memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam sendi kehidupan kota-kota besar tersebut. Anjing tetap meneruskan perannya sebagai hewan peliharaan yang dapat menjaga majikan beserta hak miliknya, tetapi di kota-kota, mereka juga memperoleh peran yang jauh lebih penting, mereka memakan sampah.

Dari Damaskus, Baghdad, Kairo, hingga Istanbul, otoritas kota-kota tersebut melestarikan populasi anjing liar, karena mereka memakan sampah bekas manusia, dan membuat kota-kota tersebut lebih bersih. Pemimpin-pemimpin muslim membuatkan tempat air minum bagi anjing-anjing liar, banyak masjid juga menyisihkan makanan bagi mereka, dan para penjual daging juga menggunakan mereka untuk mengusir tikus maupun kucing. Penduduk yang melakukan tindak kekerasan terhadap anjing liar juga bahkan dihukum. Kota-kota besar muslim tersebut juga jadinya lebih bersih dan lebih enak ditinggali berkat adanya anjing-anjing daripada tanpa mereka.

Satu hal yang dapat ditarik dari keterangan-keterangan diatas adalah bahwa sebenarnya umat muslim dapat hidup berdampingan dengan hewan berkaki empat tersebut diantara mereka. Mereka mengerti betapa pentingnya peran anjing-anjing tersebut sebagai penjaga, bahkan pembersih, dan maka dari itu, kita dapat berasumsi, mereka juga menyayangi hewan tersebut. Suatu perasaan sayang yang timbul dari ketergantungan satu sama lain antar majikan dan hewan peliharaannya.

Nah, setelah disajikan sejarah singkat diatas, mungkin kita heran, lantas darimanakah perspektif bahwa “umat Islam membenci anjing” itu muncul? Jawaban singkatnya adalah: penyakit. Sekitar 200 tahun lalu, teori tentang penyebaran wabah penyakit berubah. Walaupun masih jauh dari penemuan masa sekarang yang menyatakan mikroba adalah penyebab penyakit, masyarakat masa lampau baik di Timur Tengah, Eropa, dan di belahan dunia lainnya meyakini korelasi antara penyebaran wabah penyakit pes, kolera, malaria, dan lain sebagainya dengan dekatnya para korban penyakit tersebut dengan tempat-tempat yang dicap kotor seperti pekuburan, timbunan sampah dan rawa-rawa.

Pemerintah-pemerintah di Timur Tengah lantas mulai menggusur lokasi-lokasi yang diyakini sebagai sumber penyakit itu dari sudut-sudut kota mereka yang kian berkembang agar penduduknya semakin jauh dan aman dari sumber-sumber penyakit tersebut. Seiring digusur dan dipindahkannya tempat-tempat pembuangan sampah ke luar tembok kota, maka secara disadari ataupun tidak, mereka juga turut menggusur anjing-anjing liar yang mengkonsumsi sampah-sampah tersebut. Anjing dulunya berjasa membersihkan jalanan-jalanan kota. Sekarang manusialah yang berperan.

Keterkaitan antara anjing dengan sampah-sampah manusia sebagai sumber makanan mereka, tidak berakibat baik bagi mereka. Bukan hanya karena semakin sedikitnya sampah didalam kota yang dapat dikonsumsi mereka, tetapi sampah beserta anjing-anjing liar yang mengkonsumsinya, juga turut dianggap sebagai ancaman terhadap kebersihan ruang publik. Memang, dimulai dari  beberapa decade di awal abad ke-19, anjing dipandang sebagai ancaman bagi kesehatan masyarakat, dan juga secara ekonomi tidak berguna lagi untuk dimanfaatkan sebagai peliharaan. Hasilnya? Anjing-anjing mulai diberantas secara besar-besaran, yang juga berakibat pada semakin sedikitnya populasi anjing di kota-kota Timur Tengah, dan perubahan pandangan dan tindakan masyarakat terhadap hewan malang ini.  Tidak lagi berguna bagi penduduk perkotaan, anjing-anjing tersebutpun dianggap ancaman, sumber penyakit dan bebas diberantas.

Perubahan yang relatif baru dalam pandangan muslim terhadap anjing ini juga sekarang telah menjelma menjadi pandangan dominan masyarakat muslim terhadap hewan ini. Walau dengan adanya perbedaan pendapat dan pandangan dalam masyarakat muslim, misalnya dengan adanya golongan elit di banyak negara muslim tetap memelihara anjing sebagai simbol status mereka, tapi mayoritas masyarakat muslim tetap memandang anjing sebagai mahluk jijik, hina, bahkan jahat.

Seperti halnya dengan banyaknya perihal yang menyangkut sejarah Islam, sejarah interaksi dengan hewan ini juga banyak disalahpahami oleh muslim maupun non-muslim. Sebagian besar umat sekarang tidak mengetahui, dan mungkin juga akan menolak untuk menerima secercah fakta historis bahwa anjing sangat dihargai oleh sang Nabi SAW dan jutaan muslimin setelah beliau.

Bagi kita, masyarakat dunia modern ini, baik muslim maupun bukan, yang kerap berinteraksi dengan mahluk hidup yang satu ini, kisah tentang anjing dalam sejarah Islam menawarkan sebuah pelajaran baru, bahwa umat manusia tidak selalu menganggap anjing sebagai hewan peliharaan karena faktor-faktor emosional seperti kasih sayang, rasa cinta maupun kelucuan. Mereka konon dianggap sebagai pekerja, kebutuhan ekonomi, mitra berburu dan pembersih jalanan. Terlepas dari anjing yang dilatih untuk melacak narkoba, untuk menjadi pemandu kaum tuna netra, atau mengejar pelaku criminal, sangatlah sedikit dari kita di masa sekarang ini yang memandang anjing sebagai sesuatu yang lebih dari hewan kesayangan yang akan menjilati majikannya di pagi hari. Sepanjang perjalanan sejarah, mereka telah membuktikan bahwa mereka lebih dari itu.

Mengetahui pelajaran masa lalu tidak hanya memberikan kita gambaran yang lebih luas akan hewan yang satu ini yang kita sambut dan terima tinggal diantara kita, tetapi juga membantu kita memahami bagaimana sejarah manusia terbentuk lewat interaksi kita dengan hewan ini.

Alan Mikhail
https://blog.oup.com/2017/07/dogs-ancient-islamic-culture/