Dalam kehadirannya, propaganda tidak akan pernah obyektif. Dia sengaja dibuat agar seseorang merasa dan mempercayai sesuatu. Benar dan salah menjadi kabur, propaganda seringkali menjadi alat utama politik, yang akan memperpanjang konflik dan mempersulit penyelesaiannya.

Namun dalam bahasa latin asalnya, propaganda sejatinya berarti ‘ide untuk disebarluaskan’. Pergeseran makna yang signifikan ini mulai dikenal manusia modern sejak Perang Dunia I berpuluh tahun yang lalu.

Banyak yang menganggap, propaganda sama dengan hoax, namun keduanya jelas berbeda. Ketimbang mengusung kebohongan yang tak berdasar, propaganda seringkali menggunakan fakta-fakta selektif yang ditujukan untuk membentuk persepsi.

Menurut Garth Jowett dan Victoria O’Donnell, propaganda bisa diartikan sebagai “Upaya sengaja dan sistematis untuk membentuk persepsi, memanipulasi kesadaran, dan sikap untuk mencapai reaksi yang diinginkan oleh penyebarnya.”

Dalam taraf tertentu, himbauan pemerintah seperti anjuran untuk menggunakan sabuk pengaman, larangan merokok dan membuang sampah sembarangan, memiliki kesamaan dengan makna ini. Dalam makna propaganda kontemporer, penekanannya adalah tujuan politik.

Berlapis dan Beragam Tujuan

Akhir-akhir ini, Indonesia dikejutkan dengan terbongkarnya jaringan hoax dan propaganda di dunia maya yang cukup masif. Meski penyelidikan atasnya masih berlangsung, namun isu dan tema politik yang kental sebagai latar-belakang dari penangkapan ini menunjukkan begitu mudahnya persepsi masyarakat kita dibentuk jika menggunakan cara dan medium yang tepat.

Dalam ranah lain, kepulangan beberapa ‘mantan’ anggota Daesh yang sempat ikut hijrah ke ibukota mereka di Raqqa, juga menyisakan banyak skeptisisme dari masyarakat. Umumnya, menyalahkan bagaimana propaganda dari entitas sekeji Daesh, bisa meluruhkan para simpatisan ini untuk nekad ‘pindah’ negara.

Dalam dua kasus di atas, propaganda memegang peranan yang cukup penting. Fakta selektif yang dibumbui dengan jargon-jargon emosional menjadi pembongkar kesadaran, bahkan menyulap ide-ide utopis menjadi target realistis yang seolah rasional.

Peliknya, latar belakang pendidikan menjadi faktor yang kurang berpengaruh dalam proses penyaringan propaganda yang beredar luas. Hampir setiap lapisan elemen masyarakat memiliki celah komunal yang bisa disusupi, dan kurangnya budaya diskusi menjadikannya sasaran empuk bagi propagandis.

Era Sosial Media

Booming internet dan sosial media sejak 2010-an, membawa pergeseran budaya yang sangat masif. Kemudahan yang ditawarkannya menjadikannya sebagai norma sosial baru, yang perlahan mulai menggeser pendidikan komunal dan sosial dalam masyarakat.

Selain manfaat cukup besar yang dibawanya, booming ini juga menjadi tonggak laju konsumerisme maha dahsyat yang kini melanda bumi. Namun dengan lalu-lintas informasi ‘bebas’ dan tanpa hambatan yang diusungnya, internet dan sosial media menjadi pintu gerbang utama bagi propagandis, nilai yang jauh lebih berharga ketimbang konsumerisme itu sendiri.

Syria, adalah bukti kehancuran yang bisa dibawa oleh propaganda yang melebur dalam ‘berita’ di sosial media. Persepsi bahwa Bashar Assad adalah pemimpin keji yang membantai muslim Sunni menjadi katalis instan berbondong-bondongnya simpatisan ‘jihad’ menuju tanah Syria, untuk berperang.

Arus propaganda terhadap Syria ini berlangsung masif dan dalam skala yang luar biasa besar, hingga melibatkan media-media ternama yang memiliki  jaringan audien hampir di seluruh dunia. Penghakiman dan vonis terselip dalam fakta-fakta pilihan dicampur hoax menghiasi judul-judulnya yang memancing amarah pembaca.

Propaganda, in Action

Dalam penerapannya, propaganda memiliki tiga jenis utama. White propaganda, sebagai pembuka, adalah propaganda yang dilakukan secara terus-terang, baik isi maupun sumbernya. Hal ini sangat sering terkait dengan proses humas sebuah institusi ataupun pernyataan politik sepihak.

Dalam prakteknya, white propaganda akan selalu dilakukan oleh semua pihak yang berseteru. Dalam kasus Syria, bisa jadi melalui rilis resmi pemerintahan di Damaskus, atau jumpa pers yang dilakukan Amerika Serikat melalui dutanya di gedung PBB.

Yang kedua, adalah black propaganda. Sesuai namanya, propaganda jenis ini memiliki sumber yang ‘gelap’ dan tidak jelas. Seringkali hal ini dinyatakan berasal dari satu kubu, namun memiliki pesan-pesan anti-kubunya sendiri.

Dalam kasus konflik Syria, propaganda viral ‘The Last Call’ bisa menjadi contoh apik penerapannya. Melalui akun-akun media sosial, pengguna yang mengaku sedang berada di Aleppo timur, menceritakan bagaimana proses pembebasan kota itu akan berujung pada pembantaian mereka.

Fakta yang dipilih, adalah bagaimana mereka menyebutkan diri sebagai bagian dari ‘oposisi’ di Syria, sebuah term yang sudah lama dipatri oleh media-media mainstream pada benak audien – namun tidak menyebutkan afiliasi mereka kepada Jabhat al-Nusra, yang sejatinya merupakan al-Qaeda.

Black propaganda juga sukses digunakan oleh propagandis cilik Bana al-Abed, yang dalam usia 7 tahun sangat mahir berbahasa Inggris dan melalui cuitan-cuitan emosionalnya di Twitter, berupaya membentuk persepsi buruk yang semakin kuat terhadap pemerintah Syria.

Begitu besar pengaruh Bana secara politik, hingga Twitter saja rela mengangkangi aturannya sendiri, yang melarang pengguna berumur di bawah 13 tahun. Namun demi mengakomodir peluang propaganda seperti Bana di masa depan, Twitter menghapus aturan ini, meski portal sosial media lain masih menerapkannya.

Di ujung paling akhir spektrum, adalah grey propaganda. Abu-abu. Sesuai namanya, asal dari propaganda ini tidak jelas, dan sengaja dibuat demikian untuk membuat keraguan.

Grey propaganda hadir dari sumber yang tidak bisa diverifikasi, dan mengandung keragu-raguan. Metode ini sering digunakan oleh media-media mainstream, yang umumnya mengutip ‘sumber yang tak ingin disebutkan namanya’ untuk menyatakan sesuatu hal yang penting dan gawat.

Argumen yang diusung, seringkali seolah terdengar seperti kebenaran dan tidak memiliki agenda sama sekali. Meski demikian, sumber dari informasi tersebut tidak pernah benar-benar bisa dilacak.

Secara umum, white dan black propaganda saling bertolak-belakang, meski menggunakan informasi parsial untuk mencapai tujuannya. Namun di antara black dan grey propaganda, hanya seutas garis tipis yang membuatnya berbeda.

Friendly Fire dan Data Primer

Black dan grey propaganda bergantung kuat pada ketidakmampuan dan ketidakpedulian audien untuk melakukan double-check atas informasi yang dibawanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Umumnya, permasalahan ini bisa diatasi dengan menyertakan sumber yang hadir langsung di lapangan. Dalam hal ini, mereka bisa jadi seorang jurnalis, tentara, aktivis, relawan bahkan penduduk biasa. Kumpulan ‘saksi mata’ ini, seringkali disebut dengan data primer.

Data primer menjadi aset yang sangat berharga bagi pihak-pihak yang berseteru karena mereka menjadi ‘wakil’ yang terjun ke lokasi. Klaim validitas dan legitimasi tentu akan menyertai informasi data primer ini, namun sejauh opini dan persepsinya atas apa yang terjadi di lapangan, subyektivitas masih memegang peranan penting.

Seringkali, validitas sebuah data primer hilang ketika ia terbukti secara meyakinkan berpihak ke salah satu kubu. Hal ini berlaku pada informasi yang berasal dari bagian dari angkatan bersenjata, baik yang pro maupun kontra.

Sipil dan aktivisme yang menyertai konflik, menjadi jalan keluar kebuntuan ini. Pandangan pribadi yang membekali masing-masing individu, selagi ia tak menenteng senjata, dipaksakan sebagai informasi yang valid dan obyektif. Problemnya, memanipulasi metode ini juga tak sesulit yang dibayangkan.

Data primer biasanya menjadi bahan bakar yang lebih dari cukup untuk menggelorakan friendly fire melalui black propaganda. Kumpulan ‘oposan’ yang disebut sebagai ‘sipil’ akan lebih mudah untuk menarik simpati audien dan meyakinkannya tentang informasi parsial yang sedang diusung.

Belum lagi jika kita bahas ‘bantuan’ yang seringkali hadir simultan dimanapun konflik berada. Sebagai relawan yang mengusung ‘misi kemanusiaan’, kumpulan data primer baru sebagai ekses lanjutan akan lebih mudah diorganisir untuk membentuk persepsi. The White Helmets, adalah contoh paripurna kasus ini.

Meski tak semuanya buruk, namun NGO yang seringkali hadir dalam kondisi seperti ini, menurut Tony Cartalucci, “akan menguasai ranah sosiopolitik, geostrategis, teknologi dan informasi dan menggantinya dengan pengaruh mereka yang akan menggantikan yang lain.”

Cahaya di Ujung Lorong

Dengan hampir segala aspek sosiopolitik manusia yang penuh dengan propaganda, bisakah kita katakan bahwa umat manusia, secara alami memiliki kecenderungan khusus atasnya?

Bisa jadi demikian.

Namun dalam skala laju imperialisme dan penindasan yang berjalan menggila di seluruh belahan bumi, akal pikiran yang jernih dan rasionalitas akan menuntun kita mengarungi lautan propaganda dari semua lini.

Ada mereka yang ditindas dalam arus misinformasi global, dan sudah menjadi tugas masing-masing dari kita untuk memilah misinformasi untuk menentukan keberpihakan.

Know your enemy.