Ini bukan waktunya berteori panjang. Sudah lama negeri ini bergerak ke arah ketunabudayaan, meski jargon penguatan budaya terus didengungkan. Padahal budaya adalah soal menjadi manusia. Manusia spiritual, manusia moral, manusia estetis, dan manusia yang sadar dan berpikir. Ia berakar pada concern-concern kemanusiaan yang paling dalam, sebagai makhluk sekaligus pengejawantahan ketuhanan, sebagai bagian dari persaudaraan kemanusiaan, bahkan persaudaraan kemakhlukan, yang cirinya adalah memiliki fitrah cinta kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Segala yang kurang dari itu, betapa pun dikemas dalam sofistikasi dan citra kemajuan dan peradaban, adalah antibudaya. Budaya adalah sumber keutuhan dan integritas kehidupan manusia. Dengan demikian juga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya. Akibat yang kita lihat sekarang ini, manusia Indonesia makin jauh dari spritualitas-kemanusiaannya. Integritasnya tergerus, kita makin terbenam dalam banalitas. Tak ada apresiasi pada kedalaman, dan keindahan.

Strategi Budaya

Soal inilah yang terngiang-ngiang di benak saya saat saya bersiap-siap ketemu Pak Jokowi beberapa waktu lalu. Negeri kita sudah lama kosong strategi budaya. Dan, jangan salah. Kekosongan ini bukan berarti perkembangan budaya berjalan sendiri. Melainkan, vacuum yang ada akan didesaki oleh budaya “asing”, yang belum tentu sejalan secara organis dengan budaya kita. Terkesan chauvinistik? Xenofobik? Nanti dulu. Kenyataannya sekarang, lapangan “budaya” zaman ini sudah jadi bulan-bulanan hegemoni ekonomi, komersialisme para pemilik kapital besar. Sendirian saja kekuatan mereka sudah begitu besar. Apalagi dalam kenyataannya ia masih berselingkuh dengan kekuatan-kekuatan politik dan ideologis, yang dipaksakan lewat kekuatan maha dahsyat media massa yang menginvasi dengan derasnya. Kesemuanya itu didukung oleh teknologi audiovisual dan IT yang luar biasa canggih dan berkembang terus dengan pesat, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang paling privat masyarakat kita.

Saya tidak menyangkal bahwa budaya itu sudah seharusnya dinamis, sekaligus terbuka, terhadap kreativitas dan unsur-unsur kebaikan yang berasal dari kesadaran persaudaraan dan persamaan manusia.Tidak, ia tidak boleh chauvinistik, apalagi nativistik. Kenyataan yang tak dapat disangkal adalah, selalu saja terjadi interaksi/akulturasi budaya yang saling memperkaya. Budaya memang tak berkembang secara terisolasi, dalam ruang kedap pengaruh. Pada saat yang sama, budaya seharusnya berkembang secara organis. Berakar pada lokalitas, dan mengembang secara alami berdasar irama (pace)-nya sendiri, sesuai dengan temperamen-khasnya, dan menyerap pengaruh yang sejalan dengan kesemuanya itu. Kita bukan penganut keyakinan akan keunggulan satu budaya atas budya lain, bahkan tidak juga keunggulan budaya nasional kita dibanding budaya-budaya lain. Kita percaya budaya apa pun menyimpan aspek-aspek positif yang berasal dari fitrah kebaikan manusia. Kita percaya bahwa setiap budaya, selama ia memenuhi syarat-syarat untuk disebut budaya — yakni berpusar pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan — punya logika dan pembenarannya sendiri. Bahkan yang disebut budaya-budaya paling primitif sekalipun.

Kita percaya bahwa budaya berkembang terus, sebutlah maju kalau mau, tapi kemajuannya tak serta merta mencampakkan yang lama, melainkan meliputi yang lama itu dan hanya menjadi lebih matang. Budaya umat manusia kita yakini bersifat perenial karena, betapa pun berbeda, manusia adalah manusia, di sudut bumi mana pun ia hidup. Bagaimana pun sejarahnya. Karena itu, semua berbagi nilai-nilai universal. Jika kita pelajari beragam budaya umat manusia, dalam seluruh epos sejarahnya, di dalamnya selalu terkandung unsur moralitas (kebaikan), kebenaran, dan keindahan. Akarnya, boleh disebut agama atau tidak, adalah spiritualitas. Yakni semacam kesadaran batin yang memandu seluruh gerak hidup manusia dan masyarakat. Kesemuanya itu menyatu dalam pandangan dunia (world view atau weltanscauung), mencakup sebuah cara pandang khas tentang Tuhan, manusia, dan alam.

Budaya Indonesia, dalam segenap kekhasannya,  pada kenyataannya berbagi unsur-unsur yang universal dengan budaya-budaya lain yang mana pun. Ia mecakup apa yang disebut sebagai tahap “primitif” (mitis/teologis/religius), tahap pra Indonesia (metafisis, ontologis, tanpa meninggalkan yang mitis/teologis/relgius), tahap Hindhu, dan tahap Islam. Lalu, tentu saja tahap Indonesia “modern”, yang di dalamnya tercipta sintesis baru dengan masuknya unsur budaya saintifik, positivistik.

Kehilangan Kesadaran Budaya

Polemik Kebudayaan dan Majalah Poedjangga Baroe sudah merekam semuanya ini dengan sangat baik. Setelah masa Orde lama dengan jargon “politik adalah panglima”, Indonesia Zaman Orde Baru menawarkan “budaya” developmentalis dan teknokratis. Tapi, sedevelopmentalis dan seteknokratis itu, di zaman Orde Baru kita masih diberkahi dengan kiprah strategis pemimpin-pemimpin yang memiliki kesadaran budaya tinggi sekelas Soedjatmoko, Fuad Hasan, bahkan juga Emil Salim dan yang lainnya.

Dengan rasa pahit — meski tanpa kehilangan optimisme — ingin saya tegaskan sekali lagi di sini, justru di masa paska-Reformasi, sampai hari ini, negeri kita kehilangan kesadaran budaya. Budaya seperti terlindas oleh salah kaprah dalam melihat tujuan pembangunan. Undang-undang kita boleh saja menulis dengan tinta emas bahwa tujuan bangsa, khususnya di bidang pendidikan, adalah melahirkan manusia-manusia seutuhnya Dalam kenyataannya cara yang ditempuh justru memecah manusia ke dalam seonggokan jisim tanpa ruh. Serba materialistik. Bukan saja ia telah menelan korban spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan rasa keindahan, pun tak ada tujuan ekonomi bisa dicapai jika manusia Indonesia menjadi tuna budaya seperti itu. Dan korban besarnya, itu pun kalau kita asumsikan bahwa tujuan materialistik tercapai, adalah tak kurang dari kebahagiaan manusia itu sendiri.

Maka, sebelum makin terlambat, perlu direvitalisasi suatu kesadaran kolektif bangsa yang meletakkan budaya sebagai tempat persemaian seluruh aspek kehidupan kita, sebagai manusia. Baik itu politik, ekonomi, sosial, bahkan juga agama. Ya, bahkan agama yang harus kita kembangkan pada akhirnya adalah suatu agama yang ramah budaya, kalau tak mau sama sekali disebut sebagai agama kultural, dan bukan semata agama ideologis atau hukum – seberapa pentingnya pun ideologi dan hukum dalam agama. Agama untuk manusia, yang memiliki kesetiaan pada moralitas, kebenaran, dan keindahan. Bukan sekadar gejala kebangkitan agama, yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai pengerasan agama, yang disertai sikap-sikap penindasan atas nama agama. Suatu agama antibudaya. Pemerintah tentu harus mengambil komando. Harus ada concerted efforts, yang memastikan bahwa semua upaya pembangunan – di bidang apa pun – mau menjadikan pencapaian-pencapaian kultural sebagai tujuan-puncaknya. Inilah yang antara lain disampaikan Pak Jokowi dalam pertemuan yang saya ikut hadir di dalamnya itu. Beliau siap memastikan bahwa tak ada satu menteri pun boleh melupakan hal ini dalam setiap kebijaksanaan dan program-program kementerian mereka.

Tapi sudah tentu ini bukan hanya tugas pemerintah saja. Kemampuan (dan kesadaran) pemerintah terbatas. Tapi, lebih dari itu, tak ada suatu pekerjaan sebesar dan sekolektif pengembangan budaya yang akan bisa berhasil tanpa keterlibatan langsung dan aktif masyarakat, rumah budaya itu sendiri.

 

Oleh: Haidar Bagir, MA

Artikel ini sebelumnya dimuat di Kompas, 9 Januari 2016

http://haidarbagir.com/negeri-tunabudaya/