Seperti seorang nenek yang latah, negara kita bergerak secara masif dalam bidang ekonomi seperti orang-orang Eropa dan Amerika bergerak.

Kita—bersama-sama mereka—sedang berbondong-bondong meramaikan modernisme dan kapitalisme via eksploitasi sumber-sumber daya alam.

Ironisnya, yang lebih banyak mengekploitasi adalah para investor luar negeri, sedangkan yang diekploitasi (dirusak) adalah alam kita.

Suatu saat di pasar Venesia, orang-orang Eropa berebut pala, cengkeh, jinten, dan kayu manis. Setahu mereka, semua komoditas itu berasal dari Konstantinopel.

Semenjak berhasilnya Marcopolo mendarat di Tiongkok pada tahun 1271, penguasaan pasar palawija di Venesia sangat kuat. Namun, pada tahun 1511, orang-orang Eropa dikagetkan dengan berita para pelayar Portugis berhasil membawa berkapal-kapal cengkeh dan buah pala.

Sejak saat itu, pasar palawija dikuasai oleh Portugis. Tak peduli betapa Portugis telah gagal pada percobaan-percobaannya sejak tahun 1471, dengan kesabarannya, mereka mampu menguasai Ternate dan Tidore, Kepulauan Ambon, dan Banda Neira.

Ini adalah cerita awal yang menyemangati para saudagar Inggris membentuk pasukan pelayar yang dipimpin oleh Richard Chancellor dan Hugh Willoughby. Inggris membentuk apa yang disebut sebagai Company and Fellowship Merchant for the Discovery of Unknown Lands, saking ngebetnya mereka menemukan pulau rempah yang ada di Indonesia.

Pada tahun 1554, rombongan Hugh Willoughby yang menaiki Bona Ezperanza sempat terdampar di Novaya Zemlya. Menurut catatan Willoughby, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke tempat yang lebih mematikan, pantai Muscovite.

Giovanny Michiels, Duta Besar Venesia untuk Moscow, menemukan rombongan Bona Esperanza dan Confidentia terdampar di pantai Muscovita dalam keadaan membeku. Sementara rombongan Richard Chancellor terdampar di Archangel (Rusia sekarang), bertemu dengan Raja Ivan Valsivich dan Duke Moscova. Intinya rombongan ini gagal berlayar ke Indonesia.

Ferdinand Mageland sampai harus membelot dari Portugis (negaranya) untuk memenuhi investasi dari Raja Charles V dari Spanyol untuk memimpin ekspedisi ke pulau Rempah.

Ferdinand mati karena terlibat politik perebutan kekuasaan di Fipilina. Hanya tersisa Antonio Pigeffeta (sang pencatat sejarah) dan beberapa orang awak, termasuk Kapten Sebastian Del Cano, yang berhasil pulang ke Sevilla dengan membawa ber ton-ton pala dan cengkeh.

Keberhasilan Del Cano ini membuatnya disambut sebagai pahlawan di Spanyol. Bagaimana tidak, saat itu harga setengah kantong pala atau cengkeh sama dengan harga 1 tahun hidup berkecukupan dengan kemampuan membayar seorang pembantu yang digaji dengan harga yang sangat layak.

Kenapa? Karena saat itu, legenda pala, cengkeh, jinten, dan kayu manis, adalah seharga obat-obatan mahal untuk berbagai macam penyakit, dimana hanya orang-orang kaya saja yang mampu membelinya.

Para penulis seperti Andrew Borde dan Charles Sackville membuatnya semakin mahal dengan mistik dan cerita kegunaannya yang sangat tinggi atas kesehatan dan keseimbangan hidup.

Saya mengingat-ingat sejarah ini karena saya sedang merasa miris dengan kelakuan bangsa kita. Dari dulu sampai sekarang, kita seperti lupa bahwa hasil-hasil pertanian adalah sesuatu yang bernilai lebih daripada emas Freeport dan minyak Saudi Arabia.

Kita menjadi pemangsa yang tidak bijak, karena kitalah yang dikuasai oleh teknologi, dan bukan kita yang menguasainya.

Harga minyak termahal di Shell hanya Rp. 9000-an, sedangkan harga 1 kg cengkeh berkisar di antara 80an ribu, dan harga pala berkisar di angka 60an ribu. Jauh lebih mahal daripada harga minyak.

Lalu, bagaimana jika dibandingkan dengan harga emas? Harga 1 gram emas saja mencapai 500-an ribu; bagaimana saya bisa mengatakan bahwa harga palawija dan hasil bumi lebih mahal daripada emas?

Karena, hasil-hasil pertanian merupakan komoditas yang dapat diperbarui, sedangkan emas tidak; hasil-hasil pertanian dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti makanan, minuman, pakan ternak, kosmetik dan lainnya, sedangkan emas berhenti dipersoalan perhiasan.

Tanah di Indonesia sangat subur, hampir di seluruh provinsi. Potensi ini sudah jelas melebihi emas yang hanya berada di daerah-daerah tertentu di Indonesia.

Pertanian umumnya membuat tanah lingkungan semakin sejuk, mengurangi emisi karbon, mendapatkan carbon credit (yang juga menghasilkan uang), pun jelas tidak merusak lingkungan. Sedangkan penambangan emas sudah pasti merusak lingkungan dan merugikan generasi anak-cucu kita.

Melalui cerita sejarah sederhana ini, kita seperti dihadapkan pada ironi, bahwa negara yang subur ini melupakan potensi kesuburan alamnya, pada saat yang sama mengais sumber-sumber kehidupan yang justru merusak potensinya itu sendiri: pertanian dan perkebunan.

Belum lagi jika kita berbicara mengenai potensi laut Indonesia. Hanya dari ikan, desa saya di Pasuruan, dahulu pernah menjadi primadona bagi para pengais uang.

Bayangkan saja, bapak saya yang hanya memiliki 3 banjang (rumah di tengah laut yang berfungsi untuk menjaring ikan) bisa menghasilkan Rp. 500 ribu per hari, dimana saat itu nilai Rupiah atas Dollar sama dengan Rp. 1,110.

Artinya, jika dikurskan dengan nilai sekarang, maka penghasilan bersih bapak saya saat itu adalah sebesar Rp. 5,850,000 per hari. Saya rasa, ini penghasilan yang sangat besar bagi seorang nelayan kecil.

Lah kita ini seperti apa coba? Seperti orang yang memiliki 1 kg emas di tangan. Emas itu dibuang demi mengejar layang-layang. Tahu kenapa?

Karena yang sedang mengejar layang-layang itu adalah orang-orang bule. Segala yang dilakukan orang-orang bule terlihat keren di mata kita. Modernisme yang diperkenalkan oleh para bule kita telan habis-habisan. Tak ada yang tersisa dari modernisme itu kecuali kebijaksanaannya.

Kita menjadi pemangsa yang tidak bijak, karena kitalah yang dikuasai oleh teknologi, dan bukan kita yang menguasainya.

Modernisme ini—faktanya—tidak hanya menawarkan kemajuan, karena pada saat yang bersamaan, modernisme jelas menawarkan stagnasi atau kemandegan.

Anda akan melihat negara kita seperti terserang kegembiraan hebat dengan hadirnya desain-desain teknologi yang selalu baru setiap tahunnya, dari mobil sampai sepeda ontel; dari teknologi komunikasi sampai radio, semua menawarkan kemajuan.

Tetapi, tahukah Anda, seluruh teknologi ini pun menawarkan kemandegan bahkan kemunduran. Manusia menjadi semakin selfish, jauh dari kemanusiaannya.

Orang-tua kepada anaknya menjadi seperti terpisah kejiwaan dan kasih-sayangnya. Masyarakat satu dengan yang lainnya menjadi seperti tembok-tembok yang mati. Pengendara satu dengan yang lainnya menjadi seperti musuh-musuh yang siap menikam.

Pendukung tokoh politik satu dengan yang lainnya menjadi seperti kanibal-kanibal yang siap memangsa. Guru tak ada bedanya dengan murid dari segi perilaku. Ustadz berbicara kebaikan, sementara kelakuannya adalah keburukan.

Para pemimpin semakin pintar memanipulasi rakyatnya. Rakyat merasa pintar berpolitik, padahal pada saat itu dialah yang sedang dipolitisir. Suasana menjadi semakin kacau secara batini.

Saya membayangkan Indonesia dikelilingi sejuknya persawahan dan perkebunan. Rakyatnya sumringah menyambut pagi. Anak-anak sekolah berangkat sekolah dengan berjalan kaki, tanpa takut penculikan dan kejahatan pengendara kendaraan bermotor.

Para orang-tua bersia-siap mengurusi sawah, tambak, kebun, dan hewan-hewan ternaknya. Para bankir bahagia karena saldo para nasabahnya bertambah setiap harinya.

Para guru berbahagia karena anak-anak muridnya sangat sopan dan disiplin. Para pemimpin juga bahagia melihat rakyatnya berbahagia.

Saat itu, Indonesia sungguh berada pada garis hyperactive kebahagiaan yang terbebas dari kejahatan modernisme.