Bulan Juli 2017 diakhiri dengan berita yang cukup membingungkan sekaligus
mengkonfirmasikan kecurigaan banyak kalangan. Berita tersebut tak lain adalah mengenai kunjungan dadakan Muqtada Sadr ke Arab Saudi.

Bagi masyarakat awam, tentunya membingungkan, kenapa seorang tokoh Syi’ah Iraq sampai diundang oleh Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS). Bukankah MBS cukup terkenal lewat retorika-retorika sektarian khas Wahabi yang selalu menyudutkan kaum muslim Syi’ah?

Tetapi bagi yang melek geopolitik dan tidak selalu melihat dunia dalam spektrum hitam-putih belaka, tentunya berita ini mengkonfirmasi kecurigaan beberapa pihak bahwa Sadr telah berkhianat.

Namun, berkhianat terhadap siapa? Itu akan dibahas nantinya.

Sekarang, mengenai inti dari pertemuan Muqtada Sadr dengan Muhammad bin Salman, tentunya tidak lain adalah mengenai pengikisan pengaruh Iran. Hal itu terlihat jelas dari tuntutan Muqtada Sadr kepada pemerintahan Iraq sepulangnya dia dari Jeddah, dimana dalam tuntutan tersebut, dia menyerukan agar Hashd al-Shaabi dibubarkan dan dileburkan saja kedalam angkatan bersenjata resmi Iraq.

Tuntutan itu langsung ditolak oleh Perdana Menteri Haydar al-Abadi yang menyatakan bahwa “Hashd al-Shaabi adalah dari rakyat Iraq, oleh rakyat Iraq dan untuk rakyat Iraq, maka mereka tidak akan dibubarkan.”

Perlu diketahui bahwa Iran, terutama Garda Revolusi dibawah pimpinan Jenderal Qassem Soleimani, memiliki peran penting dalam terbentuknya gerakan paramiliter Hashd al-Shaabi (atau PMF / Popular Mobilization Forces) yang mayoritas dari 122.000 anggotanya adalah muslim pengikut mazhab Syi’ah.

Dalam perang melawan Daesh di Iraq, yang berpuncak pada pembebasan kota Mosul dari para takfiri Daesh pada awal bulan Juli 2017, Hashd al-Shaabi
juga yang paling berkontribusi apabila hendak dibandingkan dengan AB Iraq maupun ‘cover boy’ kesayangan media Barat, yaitu Kurdi.

Sedangkan loyalis dan milisi pimpinan Muqtada al Sadr, bisa dibilang kontribusi mereka nyaris nihil. Bagaimana hendak berkontribusi apabila diajak untuk bahu-membahu memerangi Daesh saja, mereka menolak ikut.

Dan kini setelah Mosul berhasil dibebaskan lewat jerih payah Hashd al-Shaabi, Garda Revolusi Iran serta AB Iraq, dan Daesh berhasil diusir dari sebagian
besar wilayah kedaulatan Iraq, kemudian tanpa ragu-ragu dan dengan dukungan penuh Arab Saudi, Muqtada Sadr malah menyerukan agar Hashed al Shaabi dibubarkan?

Tak lupa juga, seiring ditulisnya artikel ini, saya juga mendapati berita tentang serangan “salah sasaran” (kesekian kalinya) dari artileri HIMARS milik Amerika terhadap posisi Hashd al-Shaabi yang sedang baku-tembak dengan Daesh di perbatasan Iraq-Syria.

Dan dalam kurun waktu tidak lama kemudian, Daesh memanfaatkan momentum ini untuk menyerang balik posisi Hashd al-Shaabi, menyelesaikan pekerjaan yang dimulai Amerika, meninggalkan korban jiwa & logistik yang cukup besar di pihak Hashed al Shaabi. Dan dengan kejadian teranyar ini, apakah dapat mengetuk pintu hati seorang pengkhianat? Tentu tidak, Muqtada tetap konsisten dalam
posisinya dalam menuntut pembubaran Hashed al Shaabi.

Dari informasi-informasi diatas, kalau itu bukan penghinaan dari Muqtada terhadap putra-putra bangsa Iraq yang terbaik yang telah mengorbankan jiwa raga untuk mengusir takfiri Daesh, dan juga bukan suatu bentuk pengkhianatan terhadap negaranya sendiri, maka saya pun tidak tahu harus menyebutnya dengan apa lagi.

Muqtada Sadr sekarang memainkan peran “ulama nasionalis”, dan dia kerap mengagitasi para simpatisannya dan mengadakan demo berjilid-jilid di Baghdad untuk mengecam kebijakan-kebijakan pemerintah dengan alasan “memerangi korupsi”. Terkesan identik dan ‘déjà vu’ bagi para pembaca Resistensia, bukan?

Yah, karena walaupun lain negara, lain ulama, lain mazhab, tapi motif dan penopang di balik layar mereka hampir sama persis. Jika mau membahas dan mengetahui dimana Muqtada Sadr sekarang berpijak, sebenarnya tidaklah sulit. Apakah orientasinya karena mazhab, geopolitis, ataukah ada orientasi lain?

Jikalau mau bilang mazhab, Muqtada pun tidaklah begitu akur dengan banyak tokoh-tokoh Syi’ah berpengaruh di Iraq maupun Timur Tengah umumnya. Geopolitis?

Ya bisa jadi, dulunya memang dekat dengan Iran dan memusuhi Amerika yang menjajah Iraq, tetapi janganlah melupakan perkataannya dulu yang berbunyi “Siapapun yang ingin terjun dalam arena politik haruslah mendekat kepada Amerika”, dan lihatlah bagaimana sekarang dia menjilati kembali perkataannya sendiri dan aktif melibatkan diri dalam perpolitikan Iraq. Jangan lupa juga dengan
hubungan barunya dengan Arab Saudi.

Lucu, bukan? Muqtada al Sadr kerap menyatakan dirinya sebagai nasionalis, tetapi menolak ikut berperang melawan Daesh, serta menuntut pembubaran gerakan populer Hashd al-Shaabi yang isinya juga tidak lain adalah rakyat Iraq. Dia juga dengan penuh percaya diri (atau delusi), menyatakan diri sebagai sosok anti imperialisme, tetapi sekarang mendekatkan diri kepada Amerika dan Arab Saudi.

Saking anti imperialis dan ‘anti-Amerika’ dirinya, Muqtada pun dulu
pernah menyerukan Presiden Syria, Bashar Assad agar menyerah saja kepada para
pemberontak takfiri besutan Amerika & sekutu-sekutu di Teluk.

Dan kembali lagi tentang berita merapatnya Muqtada Sadr ke pihak Arab Saudi, selain membingungkan awam, memastikan kecurigaan beberapa pihak, juga serta merta memupus harapan kehidupan yang lebih tenang dan kondusif bagi rakyat Iraq yang sudah cukup banyak menderita dibawah tirani Amerika, pergolakan Kurdi serta teror Daesh.

Dan pemupusan itu terjadi begitu cepat. Rakyat Iraq mengawali bulan Juli dengan kabar sukacita dikalahkannya Daesh, dan di akhir bulan yang sama, pengkhianat bangsa Iraq bernama Muqtada Sadr menemui dalang kekacauan Timur Tengah, yang tentunya berarti akan lebih banyak gejolak di dalam Iraq.

Kartu takfiri sudah tidak mempan, kartu Kurdistan itu jatah permainan Amerika, dan sekarang kartu baru yang hendak dipakai Arab Saudi di Iraq tidak lain adalah ‘pan-Arabisme’ kerdil.

‘Pan-Arabisme’ kerdil yang saya maksud disini bukanlah sejenis gagasan revolusioner yang diserukan oleh tokoh-tokoh kharismatik Arab di era Perang Dingin, seperti Gamal Abdel Nasser dan Hafez Assad. Karena tentunya Pan-Arabisme tulen yang dulu diperkenalkan oleh Nasser, adalah mimpi buruk bagi Amerika dan para Raja Arab di kawasan Teluk.

‘Pan-Arabisme’ (harus dengan tanda kutip) kerdil disini tidak lain adalah upaya Arab Saudi untuk memainkan sentimen etnis untuk memecah belah muslim Syi’ah Iraq, untuk dibentrokkan dengan fakta bahwa walaupun sama-sama muslim bermazhab Syi’ah, tetapi Iran tetaplah bukan bagian dari bangsa Arab.

Apalagi mengingat bahwa secara geografis, Iraq adalah satu-satunya negara Arab yang terletak paling dekat dengan Iran, maka apabila boneka mereka (Muqtada al Sadr) berhasil memainkan kartu etnis ini ke depannya kelak, dampak dominonya akan cukup besar terhadap Iran dan denyut nadi gerakan muqawama terhadap Israel.

Bagaimana tidak? Dengan memainkan sentimen rasialisme Arab terhadap Iran, tetapi seolah melupakan tindakan rejim apartheid entitas Zionis terhadap Arab Palestina, itu secara otomatis masuk dalam permainan Zionis. Dan apabila Iraq sampai jatuh sepenuhnya dalam genggaman Zionis dan Wahhabi lewat proxy al Sadr, maka Iran akan semakin terisolir, karena selain memperjuangkan kemerdekaan Palestina, bangsa Iran juga harus mengawal perbatasannya sendiri kelak.

Dan apabila Iraq jatuh dalam genggaman zionis juga, maka gerakan
muqawama, terutama Hezbollah & Syria, akan semakin terisolasi. Pada akhirnya ketika semua itu terjadi (dan semoga tidak akan pernah terjadi), Palestina akan semakin dilupakan oleh dunia, dan nama “Palestina” hanya akan dipakai oleh politisi-politisi oportunis.

Pelajaran yang harus dipetik dari hal ini adalah seharusnya rakyat Iraq, juga rakyat Indonesia dan belahan dunia manapun, janganlah mudah terprovokasi oleh tokoh-tokoh maupun gerakan politik dalam negeri masing-masing yang tiba-tiba mulai memainkan kartu etnis dan/ataupun religi, karena semua itu adalah trik lama kaum imperialis, “divide and conquer”, yang selalu mulai dilancarkan lewat kroni-kroni regional mereka.

Etnis melawan etnis, agama melawan agama, mazhab melawan mazhab. Marilah belajar melihat segala sesuatu dari gambaran besarnya, marilah belajar deduksi dan penyaringan dari segala informasi dan data yang tersaji lewat layar smartphone kita, dan janganlah selalu menilai segala sesuatu dari sudut pandang golongan/etnis/religi semata.

Karena apabila suatu negara hancur akibat pertikaian antar sesama anak bangsa, maka kebanggaan etnis, agama, mazhab, pun sudah tiada memiliki arti lagi disaat negara hancur dan kaum imperialis berpesta pora diatas kehancuran bangsa-bangsa
kita semua.