Sejujurnya, saya tidak merasa heboh saat membaca artikel berjudul Ulama-Ulama Homoseksual yang ditulis oleh Dr. Mun’im Sirri. Bagi saya, orang boleh berkata apa saja, asal ada dasarnya.

Yang menjadi masalah adalah bahwa artikel yang katanya ilmiah itu menurut saya tidak ilmiah, karena konklusi-konklusinya diambil dari bukti-bukti yang sangat minim dan sederhana.

Memang, saat di Aliyah (selevel SMA), kita semua pernah diajarkan bahwa sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kehidupan orang-orang Islam saat dipimpin oleh the so-called para khalifah tidaklah ideal-ideal amat.

Jika pada masa Nabi dan para sahabat khamr, perzinahan, dan homoseksual (liwath) diharamkan dimana para pelakunya dihukum sangat berat, maka di zaman para khalifah kerajaan itu amalan-amalan haram itu tidak dipedulikan hukumnya.

Dalam Mushannaf Ibni Abi Syaibah, Kitab al-Umarâ’, hadis 30120, disebutkan sebuah riwayat seperti ini:

قَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَرْوَانَ : ” مَنْ أَرَادَ أَنْ يَتَّخِذَ جَارِيَةً لِلتَّلَذُّذِ فَلْيَتَّخِذْهَا بَرْبَرِيَّةً , وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَتَّخِذَهَا لِلْوَلَدِ فَلْيَتَّخِذْهَا فَارِسِيَّةً , وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَتَّخِذَهَا لِلْخِدْمَةِ فَلْيَتَّخِذْهَا رُومِيَّةً “

Abul Malik bin Marwan berkata, “Barangsiapa yang menginginkan budak untuk bersenang-senang, maka ambillah dari kaum Barbar. Barangsiapa yang mengingikannya untuk anak, maka ambillah dari Persiah. Dan barangsiapa yang menginginkan untuk pelayanan, maka ambillah dari Romawi.”

Dalam kitab Tarikh al-Khulafa’, Khalifah al-Amin membeli pemuda-pemuda yang dikebiri dengan harga mahal dan menjadikannya budak nafsunya, menolak wanita-wanita.

Demikian juga dengan khalifah-khalifah sesudahnya, seperti para al-Mu’tashim, al-Watsiq Billah, dan Mutawakkil Alallah. Dalam Muruj al-Dzahab, pernah Qadhi Yahya bin Aktsam dilaporkan atas tuduhan sering menyodomi anaknya, tetapi khalifah al-Ma’mun tidak menghukumnya, karena menganggapnya tidak ada masalah.

Tetapi, semua fakta itu tidak menjadikan hukum-hukum yang diajarkan dan diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW lalu menjadi pantas kita katakan sebagai hal yang telah usang, dan—oleh karena itu—tidak perlu kita gubris lagi.

Fakta-fakta mengenai kerusakan akhlak yang dilakukan oleh masyarakat yang dipimpin oleh para Khalifah Amawiyyah dan Abbasiyyah tidak lantas lalu menggantikan hukum-hukum Allah yang diajarkan oleh Nabi SAW dan keluarganya.

Dalam hukum Islam, liwath ditempatkan sebagai maksiat dan dosa yang paling menjijikkan. Liwath atau homoseksual itu ditempatkan dalam dosa besar yang dapat menggoncangkan Arasy-nya Allah.

Para pelakunya dihukum dengan hukuman mati. Itulah had syar’i yang diterapkan oleh Nabi SAW.

ولُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas. Dan jawaban kaumnya tidak lain hanya berkata, “Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci.” Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikutnya kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu). Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang berbuat dosa itu.”

Rasulullah SAW. bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Siapa saja yang engkau dapati melakukan amalan kaum Luth, maka bunuhlah para pelakunya. (HR. Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dipakai Hujjah oleh Imam Ahmad dengan Isnad Shahih seperti Syarat al-Bukhari)

Abubakar al-Hadhrami dari Imam Ja’far bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa yang menyetubuhi anak laki-laki, pada hari Kiamat akan datang dalam keadaan junub yang tidak bisa disucikan oleh air dunia. Maka Allah SWT marah kepadanya, melaknatnya, dan menyiapkannya neraka jahannam. Itulah tempat kembali yang buruk.”

Diriwayatkan oleh Yunus dari sebagian sahabat kami dari Abi Abdillah berkata: bahwasannya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Kehormatan dubur itu lebih besar daripada kehormatan farji. Sesungguhnya Allah merusak suatu ummat karena (melanggar) kehormatan dubur, dan tidak merusak siapa pun karena (melanggar) kehiormatan farji.”

Akan tetapi, tidak bisa kemudian kita sok-sokan menghukum siapa saja yang dicurigai sebagai kaum homoseksual. Ini bukanlah hukum yang bisa diaplikasikan oleh individu-individu. Hukum ini dilaksanakan oleh negara, yang dahulu diwakili oleh para qadhi. Para pelaku homoseksualitas ini dihukum jika memenuhi syarat berikut:

  • Pengakuan para pelaku (yang sudah baligh);
  • Persaksian 4 orang saksi laki-laki.
  • Pengetahuan hakim. Artinya, jika seorang hakim sendiri menangkap basah, maka hukum sudah bisa dilaksanakan.

Kritik Artikel Ulama-Ulama Homoseksual

Dalam artikel Ulama-Ulama Homoseksual, Dr. Mun’im Sirri merujuk kitab Nuzhat al-Albâb Fīmâ Lâ Yûjadu Fī al-Kitâb karya al-Tifasy dan meng-copas sebuah kutipan dari sana. Kutipan itu berbunyi begini:

وكان مولعا بالغلمان

“Dia (Abu Hatim al-Sijistani) adalah orang yang sangat menggandrungi anak laki-laki.”

Mun’im Sirri meng-copas kutipan itu dalam paragraf (lebih jauh dalam artikel) yang ingin mengatakan bahwa ulama-ulama seperti Abu Hatim al-Sijistani adalah ulama homoseksual. Dengan bekal kutipan itu, seolah-olah Mun’im Sirri telah menghadirkan kebenaran.

Saya tentu saja terperanjat; bukan karena ulama-ulama diburuk-burukkan dan dipojokkan atas dasar ingin membela LGBT, tetapi bagaimana bisa seorang doktor menyuguhkan kebenaran dengan hanya berbekal kutipan pendek? Padahal dalam buku yang dia kutip itu kenyataannya tidak seperti itu.

Agar fair, saya akan kutip versi lengkap dari bab tentang Abu Hatim al-Sijistani ini dari buku yang sama.

قد ذكرنا جملة من أخبار الزناة وأشعارهم بذكر أسمائهم مع شرط الاختصار والاقتصار على ملح الأشعار والأخبار. فأما هذا الباب فاعلم أن جمهور الأدب ومعظم ذوي الرتب منسوبون اليه. ولذلك خشينا أن نصرح بأسمائهم فيه خوفا من التنديد عليهم. على أن منهم من كان يذهب فيه مذهب التظرف والعشق الروحاني, لا البهيمي, ويجهله رياضة للنفس وتذهيبا للأخلاق وشحذا للفكر وجلأ للبصيرة والبصر مع التنزه عما رآه العامة من الفجر.
فمنهم أبو حاتم السجستانى
ثبت عنه أنه كان من أفضل اهل زمانه علما وورعا, وأنه بلغ من ورعه وفضله أنه كان يتصدق كل يوم بدينار ويختم القرآن فى كل أسبوع ومع ذلك فكان أظرف أهل زمانه وأطيبهم خلوة وأكثرهم فكاهة. وكان مولعا بالغلمان يذهب فيهم مذهب الإستمتاع بالنظر لا قضاء الوطر.

Kita telah menyebutkan kabar-kabar para pezina dan para penyair dengan menyebut nama-nama dengan syarat penyederhanaan dan peringkasan atas syair-syair dan kabar-kabar itu. Sedangkan bab ini, ketahuilah bahwa jumhur ilmu sastra dan kebanyakan para pembesarnya dinisbahkan kepadanya. Oleh karena itu, kami takut menjelaskan nama-namanya untuk menghindari menjelek-jelekkan orang. Karena diantara mereka ada tokoh yang menjalankan madzhab al-Tadzharruf (keren-kerenan kata-kata) dan al-‘Ishq al-Ruhâni (kerinduan ruhani), bukan kerinduan hewani. Mereka melakukan itu untuk menyepuh akhlak, mempertajam daya pikir, dan memperjelas pandangan dan mata dengan menghindari hal-hal yang dilarang.

Diantara Mereka Adalah Abu Hatim al-Sijistani

Telah diketahui bahwa al-Sijistani adalah orang yang paling ahli dalam bidang ilmu dan kewara’an pada zamannya. Dalam kewara’an dan kelebihannya adalah dia bersedekah dinar setiap hari dan mengkhatamkan al-Quran setiap minggu. Oleh karenanya, dia adalah orang yang paling cerdas, paling manis, dan paling humoris.

Dan al-Sijistani adalah orang yang menggemari anak laki-laki (mûla’an bi al-ghulâmi) dengan cara penganut madzhab istimtâ’ dengan pandangan bukan dengan cara melampiskan syahwat.

Dalam al-Qâmûs al-Ma’âni disebutkan tentang istimtâ’ itu seperti ini:

اذهبتم طيباتكم فى حياتكم الدنيا واستمتعتم بها: استمتع—يستمتع—استمتاعا, فهو مستمتع, والمفعول مستمتع به: بمعنى مستمتع بالنظر.

Contoh kata istimtâ’ itu seperti kalimat: Kalian telah menyia-nyiakan kehidupan dunia dan beristimta’ dengannya. Artinya hanya menikmati keindahannya saja tanpa terlibat jauh dengan dunia.

Dalam bab yang sama, al-Tifasy menceritakan puisi al-Sijistani untuk Abul Abbas Muhammad bin Yazid al-Uzdi. Agar Anda semua mengetahui kenyataan yang sebenarnya—alias tidak seperti yang diceritakan oleh Mun’im Sirri, saya akan copas lengkap puisinya, dan puisi-puisi orang-orang semacamnya “pada bab yang sama di dalam buku yang sama pula”: Nuzhat al-Albâb Fīmâ Lâ Yûjadu Fī al-Kitâb.

ماذا لقيت اليوم من … متمجن خنث الكلام
وقف الجمال بوجهه … فسمت له حدق الأنام
حركاته وسكونه … تجني بها ثمر الأثام
وإذا خلوت بمثله … وعزمت فيه على اعتزام
لم أعد أفعال العفا … ف وذاك أوكد للغرام
نفسي فداؤك يا أبا ال … عباس جل بك اعتصامي
فارحم أخاك فإنه … نزر الكرى بادي السقام
وأنله ما دون الحرا … م فليس يرغب في الحرام

Apa yang kutemui hari ini……orang yang keterlaluan (tampannya) lembut suaranya
Keindahan terhenti di wajahnya…. Di sanalah para manusia memandang dan membicarakannya
Gerak dan diamnya…. Adalah buah dosa yang dipetik
Jika aku menyepi dengan orang sepertinya…. Dan engkau sangat menginginkannya
Aku tidak menghiraukan al-‘afâf (menahan diri)…… karena cinta yang sangat dalam
Jiwaku adalah jaminanmu wahai Abal Abbas….. Ketergantunganku kepadamu sangat besar
Kasihanilah saudaramu karena dia… Sedikit tidurnya jelas sakitnya
Maka berikan kepadanya selain yang haram…. Dan bukan hal yang haram yang diinginkannya.

Inilah puisi yang disebut oleh pengarang kitab Nuzhat al-Albâb Fīmâ Lâ Yûjadu Fī al-Kitâb sebagai madzhab al-Tadharruf, yaitu madzhabnya orang-orang yang pandai berpuisi (tentu dalam khazanah bahasa Arab yang rumit) dan saling memuji.

Dalam kitab yang sama (Nuzhat al-Albâb Fīmâ Lâ Yûjadu Fī al-Kitâb) dan bab yang sama, dikisahkan suatu ketika Abul Abbas bin Syraikh al-Syafi’i dan Abubakar bin Dawud al-Abbasi berkumpul di majlis seorang Menteri bernama Abul Hasan Ali bin Isa al-Jarrah dalib berkata-kata seperti ini:

أنزه في روض المحاسن مقلتي     وأمنع نفسي أن تنال محرما
وأحمل من ثقل الهوى ما لو أنه     يصب على الصخر الأصم تهدما
وينطق طرفي عن مترجم خاطري     فلولا اختلاسي وده لتكلما
رأيت الهوى دعوى من الناس كلهم     فلست أرى ودا صحيحا مسلما

Kujauhkan mataku dari taman keindahan….. Kuhindarkan diriku memperoleh yang haram
Kubawa beratnya keinginan yang jika dia…. Menimpa patung dia akan roboh
Mataku bicara dari penerjemah suara hatiku…. Jika bukan karena curipandangku cintanya pasti berbicara
Kulihat nafsu memanggil manusia semua… Aku tak melihat keinginan yang benar dan lurus

ومطاعم كالشهد في ثغماته     قد بت أمنعه لذيذ سناته
صبا به وبحسنه وحديثه     وأنزه اللحظات في وجناته
حتى إذا ما الصبح لاح عموده     ولى بخاتم ربه وبراته

Pemberi makan itu seperti buah kurma di pohon-pohonnya….. Aku telah bertahan tidak menikmati manisnya
Menginginkan keindahannya dan pembicaraannya…. Kujauhi memandang pipinya
Hingga saat pagi menampakkan tiangnya… Bagiku kemuliaan dan kebaikan Tuhannya.

Sampai di sini sudah diketahui betapa artikel yang menyebutkan al-Sijistani adalah seorang homoseksual hanya dengan mengutip sepenggal kutipan dari satu kitab itu adalah bentuk kekeliruan yang luar biasa teledor yang dibungkus dalam bingkai “karya ilmiah”. Sangat disayangkan artikel seperti itu dilahirkan dari tangan seorang doktor.

Mengenai Abu Nawas, beberapa kitab memang menyebutkan dia pernah terlibat dalam al-muyûl matsaliyyah (kecenderungan homoseksualitas). Dalam kitab Nuzhat al-Albab hal. 158 dan 159 disebutkan bahwa kecenderungan homoseksualitas pada Abu Nuwas itu terjadi pada saat Abu Nuwas masih kecil.

Dan diceritakan di situ bahwa Abu Nuwas melakukan hal-hal seperti yang dilakukan para santri yang senengennya mairil (senang kepada sesama jenis) tetapi tidak melampaui cium-mencium.

Yang paling parah adalah saat Abu Nawas kecil menaiki punggung Walibah bin al-Habab sambil melantuskan sebuah puisi. Dan Walibah inilah yang disebutkan oleh banyak orang sebagai perusak Abu Nawas. Padahal, gara-gara dinaiki punggungnya itu oleh Abu Nawas itulah Walibah bin al-Habab meninggalkannya.

Tentu saja, pertanyaan Mun’im Sirri “ada apa dengan modernitas?” Bisa dijawab bahwa tidak ada masalah dengan modernitas, yang menjadi masalah adalah orang-orang yang memandang ajaran Nabi SAW bisa dirubah dengan asumsi-asumsi buruk yang tidak fair.

Karena walaupun kenyataannya itu seperti apa yang Mun’im Sirri asumsikan—dan itu tidak betul—pun hukum-hukum Islam yang bersifat qath’i—apalagi ini berasal dari Allah dan dari Nabi SAW—tidak bisa dirubah oleh siapa pun.

Di akhir artikel, Mun’im Sirri mengajukan pertanyaan yang sangat berbobot: Siapa yang menyebabkan kebencian terhadap homoseksualitas? Dengan sangat susah payah saya menjawabnya: Allah SWT dan Nabi-Nya yang menyuruh manusia membenci homoseksualitas. Ingat ya, homoseksualitas, bukan pelakunya.

Sedangkan pelakunya, tetap dikasihi dengan aturan-aturan seperti yang tersebut di atas.

Sampai sekarang, saya tidak percaya bahwa artikel yang berjudul Ulama-Ulama Homoseksual itu ditulis oleh Dr. Mun’im Sirri.