Setahun lalu, saya menulis artikel berjudul “Kenapa Israel harus takut dengan Selandia Baru”, menyusul kebijakan Wellington – yang membuat Israel marah dan terkejut – untuk mensponsori resolusi DK PBB bulan Desember 2016 yang mengutuk pembangunan pemukiman ilegal baru di tanah Palestina yang terjajah.

Dalam artikel tersebut, saya menekankan bahwa walaupun Selandia Baru adalah negara kecil, tetapi dapat membawa dampak besar terhadap situasi di Palestina, seperti yang telah dulu Selandia Baru lakukan di kancah dunia pada era 1980-an, ketika Selandia Baru membuat AS berang atas pernyataan “zona bebas nuklir” – suatu kebijakan yang dihasilkan pemerintah Selandia Baru berkat aspirasi dan tekanan masyarakatnya.

Satu dekade sebelumnya, Selandia Baru dan Australia, menuntut Prancis ke Pengadilan Internasional atas ujicoba senjata nuklir Prancis di kawasan Pasifik. Tuntutan tersebut disusul tuntutan berikutnya setelah agen rahasia Prancis mengebom kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace di pelabuhan Auckland pada tahun 1985, yang menewaskan Fernando Pereira, seorang fotografer dan aktivis anti-nuklir.

Disamping itu, para aktivis Selandia Baru juga berperan besar dalam mengubah aksi boikot terhadap rejim apartheid Afrika Selatan menjadi fenomena internasional, ketika mereka melakukan rangkaian aksi unjuk rasa dan pengusikan terhadap tur tim rugby Springbok pada tahun 1981.

Pada tahun 2004, Selandia Baru juga menjatuhkan sanksi diplomatis dan memenjarakan dua agen Israel atas tindakan subversi mereka yang hendak mencuri paspor-paspor Selandia Baru, yang kemungkinan besar akan digunakan untuk operasi klandestine ataupun pembunuhan terencana.

Politisi Penjilat

Namun pada tahun-tahun belakangan ini, para politisi Selandia Baru, seperti halnya rerata politisi negara Barat lainnya, mulai menjilat kepada rejim Israel.

Gerry Brownlee, Menteri Luar Negeri di pemerintahan konservatif yang berhenti memerintah sejak Oktober lalu, sempat berjabat tangan erat dengan Benjamin Netanyahu pada bulan Juni lalu, membujuk Perdana Menteri Israel tersebut untuk memulihkan hubungan bilateral Israel & Selandia Baru.

Penggantinya, Winston Peters, Menteri Luar Negeri di pemerintahan koalisi pimpinan Partai Buruh, adalah pemimpin parpol New Zealand First yang berhaluan sayap kanan, dan dulunya pernah mengkritik keputusan pemerintahnya yang mendukung resolusi DK PBB, membuat Israel berharap bahwa dengan menjabatnya Peters akan membawa kebijakan pemerintah Wellington kepada arah yang lebih simpatik kepada Israel.

Namun, dalam pemungutan suara yang dilakukan Majelis Umum PBB bulan lalu guna menyikapi keputusan sepihak Donald Trump atas Jerusalem sebagai ibukota Israel, Perdana Menteri Jacinda Ardern menegaskan bahwa negaranya tidak akan tunduk kepada tekanan asing.

Selandia Baru bergabung bersama 127 negara lainnya menentang keputusan Trump dan Israel atas Jerusalem.

Lorde Memimpin

Namun saya memang dari awal juga tidak begitu mengharapkan politisi untuk melakukan apa yang didesak oleh para aktivis kawakan Selandia Baru yang pro-Palestina, seperti Janfrie Wakim, pasca pemungutan suara di DK PBB soal pemukiman ilegal: untuk menunjukkan kepada Israel bahwa ada harga yang harus dibayar mereka apabila mereka terus mengabaikan desakan dunia dan terus melanggar HAM bangsa Palestina.

Setahun setelah pemungutan suara di DK PBB, Selandia Baru kembali mengejutkan Israel. Tetapi kali ini, bukanlah akibat aksi para politisi.

Yang mengejutkan Israel adalah keputusan dari penyanyi terkenal Lorde yang membatalkan jadwal konsernya di Tel Aviv karena Lorde lebih memilih mendengar aspirasi para aktivis Palestina dan Yahudi di negeri asalnya.

Sekali lagi, mekanisme diplomasi dan propaganda Israel membidik kepada negara di Pasifik Selatan tersebut. Duta besar Israel untuk Selandia Baru, mengundang Lorde ke pertemuan tertutup untuk mendiskusikan apa yang disebut “agenda sarat kebencian” – suatu istilah yang dipakai oleh kementerian luar negeri Israel – oleh BDS, suatu gerakan pro-Palestina yang senantiasa menyerukan boikot, divestasi dan sanksi kepada Israel.

Sementara itu, Federasi Zionis Selandia Baru menuduh Lorde mengalah kepada “mereka yang mengkehendaki kehancuran Israel”.

Serangan Tajam

Tapi yang pasti, serangan yang paling tajam itu terjadi minggu ini dari Shmuley Boteach, seorang rabbi Amerika yang mengeluarkan iklan satu halaman penuh di The Washington Post menuduh Lorde bergabung dengan “boikot anti-Semit global terhadap Israel”.

Iklan tersebut mengklaim bahwa “prasangka orang Selandia Baru yang semakin meningkat terhadap negara Yahudi tampaknya juga menjalar kepada generasi mudanya.”

“Mari kita memboikot pemboikot dan memberi tahu kepada Lorde dan rekan-rekan bigotnya bahwa anti-Semitisme tidak pantas berada pada abad ke-21,” kata iklan tersebut.

Seruan ganas semacam itu bukanlah kejutan yang datang dari Boteach, seorang ekstremis sayap kanan yang didukung oleh miliarder anti-Palestina, Sheldon Adelson.

Disamping itu, Boteach juga merupakan seorang pembela utama platform alternatif-kanan Breitbart beserta pemiliknya, Steve Bannon. Tapi serangan ganas seperti itu cenderung bisa membuat khalayak antipati daripada merasa simpatik kepada Israel.

Seperti yang dilaporkan New Zealand Herald pada hari Selasa, Dewan Yahudi Selandia Baru – salah satu kelompok lobi Israel di negara itu – terpaksa menjaga jarak dari iklan Boteach. Namun pada tanggal 26 Desember, juru bicara dewan Juliet Moses sendiri menyerang Lorde dengan istilah yang hanya kurang hiperbolik daripada Boteach.

Dalam sebuah artikel untuk sebuah situs pro-Israel, Juliet Moses mengklaim bahwa penyanyi tersebut “mengangguk kepada ajakan kebencian dan kemunafikan,” menyerah pada tekanan dari “segelintir fanatik” dan “sejalan dengan sekelompok kecil pengganggu yang bising” dengan membatalkan konsernya di Tel Aviv.

Sama seperti iklan Boteach, juru bicara Dewan Yahudi Selandia Baru tersebut menuduh Lorde sebagai munafik karena mengabaikan pelanggaran HAM di Rusia dan Syria.

“Omong Kosong”

Lantas, apa yang terjadi sekarang? Para pembela Israel di Selandia Baru tentunya mulai menyadari bahwa serangan verbal mereka kepada Lorde justru menurunkan simpati dan minat masyarakat kepada mereka. Diantara serangan Moses & Boteach kepada Lorde, New Zealand Herald pun membuat semacam intervensi yang bias dibilang luar biasa.

Dalam sebuah editorial tanggal 28 Desember, surat kabar negara tersebut menolak dengan keras terhadap pernyataan Federasi Zionis Selandia Baru, dengan menyebut kritik kelompok lobi terhadap Lorde adalah “omong kosong”.

“Sangat mungkin untuk menentang permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat, seperti yang dilakukan banyak orang Yahudi juga di Israel dan di luar, tanpa harus merasa bersalah karena sifat bigot dan prasangka buruk” Herald menyatakan.

“Saran bahwa Israel seharusnya tidak ikut diusik ketika negara-negara seperti Rusia bersalah atas sesuatu yang serupa adalah argumen yang sering didengar orang Selandia Baru dari para pembela Afrika Selatan di era apartheid dulu.”

“Boikot dan kampanye olahraga dan budaya untuk divestasi bisnis dan sanksi internasional terhadap Israel adalah cara untuk mengingatkan kembali opini publik di Israel bahwa dunia membutuhkan komitmen Israel untuk terus mengupayakan perdamaian di wilayahnya,” koran tersebut membantah, yang secara efektif mendukung BDS. “Tokoh budaya seperti Lorde berada dalam posisi istimewa untuk memberikan pesan itu dan Selandia Baru bisa bangga padanya karena melakukan hal itu.”

Setahun sejak pemungutan suara Dewan Keamanan, Israel memang masih harus takut pada Selandia Baru. Tapi bagi orang-orang di manapun yang mendukung keadilan dan perdamaian, contoh keberanian dari negara yang jumlahnya kurang dari lima juta seperti Selandia Baru, yang sekali lagi berdiri tegas dihadapan kekuatan global adalah sesuatu yang pantas untuk dirayakan dan dijadikan sumber inspirasi kita semua.

Ali Abunimah
https://electronicintifada.net/blogs/ali-abunimah/lorde-shows-why-israel-should-indeed-fear-new-zealand