Kejadian hari ini menyita seluruh perhatian rakyat Indonesia bahkan dunia internasional. Aksi terorisme berlangsung dramatis di tengah padatnya aktivitas warga Jakarta. Video dan foto mengalir deras dari media sosial, mencoba memberitahu dunia mengenai apa yang terjadi. Hal yang bertolak-belakang dengan sensor Turki atas aksi teror serupa beberapa hari yang lalu.

Pelaku teror tentu sudah mengetahui resiko yang akan mereka hadapi, dan tentu saja efek dari lokasi kejahatan yang mereka pilih. Selain ingin menimbulkan keresahan di masyarakat – tepat di jantung ibukota negara – mereka juga bermaksud menyampaikan pesan kepada sang pimpinan di Syria bahwa mereka masih eksis di Indonesia. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air.

Respon polisi yang cukup cepat dan taktis layak mendapat pujian. Mereka bergerak cepat untuk melumpuhkan sebelum korban bertambah, mengingat para teroris sendiri sudah dalam keadaan terpojok, dan berpotensi menyerang siapapun secara membabi-buta.

Namun hal yang menarik dan bisa menjadi catatan khusus, adalah bagaimana respon masyarakat Indonesia terhadap aksi teror itu. Sebagai negara dengan pengguna media sosial yang tergolong besar, cacian dan penolakan terhadap ideologi para teroris cukup besar. Bahkan warga sekitar lokasi kejadian seolah tak ingin melewatkan momen saat para teroris diganyang pihak berwajib, dengan berdiri berdesak-desakan menonton di belakang garis marka polisi.

Seolah ditampar, kini masyarakat sadar bahwa ancaman ideologi Daesh adalah sesuatu yang laten, yang bisa diekspor kemana saja.

Meski memiliki penduduk beragama Islam terbesar di dunia, ideologi yang diusung Daesh secara umum dicibir di negeri ini. Namun sayangnya polisi dan aparat keamanan lainnya terkesan lambat merespon bibit gerakan-gerakan radikal yang mulai muncul. Mereka terkesan dibiarkan melancarkan propaganda radikal yang bertentangan dengan sistem pemerintahan seperti anti demokrasi, anti Pancasila, sampai menyatakan dukungan dengan gerakan teroris yang kini menjadi musuh dunia. Mereka dibebaskan membawa simbol-simbol dan slogan terorisme. Di sosial media mereka leluasa menyebarkan, mengajak dan mempropagandakan ajakan kebencian.

Untungnya masyarakat Indonesia masih banyak yang menyadari kondisi itu dan melakukan perlawanan, baik di level akar rumput maupun sosial media. Mereka tanpa kenal lelah memberikan antitesa dari ideologi sadis yang menyamarkan diri sebagai bagian dari Islam tersebut. Tanpa disadari, masyarakat perlahan sudah membangun resistensi demi melindungi masyarakat lainnya karena kecintaan mereka kepada keluarga, saudara, teman dan tentu saja NKRI.

Tagar #kamitidaktakut sangat pas dijadikan slogan anti teror. Tak dipungkiri, aksi terorisme yang terjadi hari ini cukup membuat kita terperangah dan bersedih atas jatuhnya korban jiwa. Seolah ditampar, kini masyarakat sadar bahwa ancaman ideologi Daesh adalah sesuatu yang laten, yang bisa diekspor kemana saja.

Ketakutan adalah salah satu tujuan utama Daesh dalam melakukan aksi terornya. Dengan menciptakan ketakutan dan kekacauan di tengah masyarakat, Daesh berharap hal tersebut akan memudahkan mereka untukmemperluas propaganda iblis, membuat masyarakat menjadi tunduk dan tertekan dengan ideologi delusionalnya.

Namun ada yang kurang diperhitungkan para teroris Daesh tentang Indonesia. Respon masyarakat Indonesia hari ini cukup menjadi pembanding. Dari shock, terkejut, kemudian beralih menjadi jari-jemari auto-share, buah dari keinginan berbagi informasi. Dalam beberapa jam saja, berita mengenai peristiwa keji yang terjadi perlahan berubah menjadi #polisiganteng dan #kaminaksir. Di lokasi kejadian, pedagang keliling meraup manfaat dari banyaknya orang yang berkerumun. Seorang pedagang sate bahkan tak bergeming dari tempatnya berjualan sejak pagi, dan dengan tenangnya mengipasi barang dagangannya. Miris, tapi inilah Indonesia. Terorisme tidak laku di negeri ini.

Oleh: Ricky Zen Pulungan