Kedutaan Besar RI di Washington, AS men-tweet acara pertemuan Bupati dan mantan Bupati Merauke dengan kelompok yang menamakan diri “Indonesian Diaspora Academics USA” (akademisi Indonesia yang tinggal di Amerika).

Para pakar itu mempresentasikan konsep “sawah tekno sejuta hektar”. Sebuah ide yang sudah digagas sejak era Presiden SBY dengan bendera MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).

Tapi kali ini judulnya diubah: Papua International Rice Research Center (PIRRC). Esensinya sama: meneruskan ambisi Presiden Jokowi yang ingin menjadikan Papua lumbung beras nasional dengan mencetak 1,2 juta hektar sawah dalam tempo 3 tahun dengan sistem “full-mekanis”.

Sistem ini tidak mengandalkan tenaga manusia dan konon satu orang bisa mengelola 5 hektar dengan bantuan mesin harvester dll. (dalam pola konvensional, 1 Ha sawah membutuhkan setidaknya 5 tenaga kerja).

Hasilnya juga fantastis. Seperti dalam infografis ini, bila 1 Ha sawah konvensional hanya menghasilkan 3 ton beras dengan 2 kali panen setahun, PIRRC akan mendongkraknya hingga 100 persen menjadi 6 ton dengan panen 2-3 kali setahun.

pirrc-web-2

Pertama kali mendengar ide ini tahun 2010-2011, siapa yang tak berdecak kagum. Swasembada beras akan terwujud, 30 persen beras nasional akan dipasok dari Papua, dan sawah akan dikelola seperti pertanian gandum di Amerika atau Eropa.

Sampai kemudian di lapangan ditemukan fakta-fakta sebagai berikut yang sebagian substansinya telah kami dokumentasikan dalam film “The Mahuzes”.

Pertama, ambisi menyulap Papua yang pemakan sagu menjadi lumbung beras bukan hanya milik SBY atau Jokowi, namun sudah sejak Belanda dengan proyek “sawah Kombe” di Distrik Kurik tahun 1951-1953 untuk memenuhi kebutuhan di Pasifik Selatan.

Proyek Kombe juga sudah mengadopsi konsep mekanisasi pertanian. Bekas-bekasnya masih dapat disaksikan hingga kini. Mereka sudah memakai harvester, membangun rel kereta api untuk memindahkan gabah, dan sistem pengeringan gabahnya sudah memakai oven (bukan dijemur seperti pengeringan konvensional yang butuh waktu dan lahan yang luas).

Kedua, dibutuhkan 50 tahun untuk mencetak 46.000 hektar sawah di Merauke. Salah satu sebabnya karena memang tidak ada budaya bercocok tanam. Masyarakat lokal hidup dengan sistem meramu dari hasil hutan seperti sagu dan berburu binatang. Sawah dikerjakan oleh para transmigran asal Jawa hingga hari ini.

Ketiga, luas Merauke hanya 4,6 juta hektar di mana menurut riset WWF Papua hanya tersisa 500 ribu hektare saja yang dianggap masih “dapat dimanfaatkan”. Itu pun sejatinya ada yang punya, yakni masyarakat adat yang menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan, rawa, dan sungai.

Tanpa sawah sejuta hektar pun, Merauke hingga Boven Digoel sudah masuk dalam radar jumlah titik api kebakaran hutan karena maraknya perkebunan kelapa sawit dalam 10 tahun terakhir.

Keempat, proyek sawah sejuta hektar di lahan gambut di Kalimantan Tengah pada masa Presiden Soeharto tahun 1996 yang gagal total mestinya cukup menjadi pelajaran, bahwa sistem pertanian yang dilakukan secara massal dengan membongkar hutan dalam skala besar, akan menuai bencana yang ongkosnya terus kita bayar hingga hari ini berupa kabut asap.

Kelima, dengan konsep full-mekanisasi pertanian, jelas membutuhkan modal. Pada akhirnya model bisnis yang dikembangkan adalah sawah milik perusahaan seperti yang telah dilakukan Medco Group di Merauke hari ini. Masyarakat tak memiliki basis produksi atas pangannya sendiri. Mereka akan menjadi buruh atau tuan penyewa tanah dengan menunggu bagi hasil.

Investor kelapa sawit pun kini mulai menjajaki sawah tekno seperti terekam di “The Mahuzes”.

Keenam, seperti pada industri monokultur lainnya, pembukaan lahan sebesar itu untuk sawah perusahaan jelas akan memicu konflik tanah atau agraria. Tak heran bila di foto acara ini, selain ada ilmuwan, juga ada tentara dan polisi. Sebab merekalah yang selama ini mengamankan kepentingan investasi dan berhadapan dengan masyarakat.

pirrc-web

Ketujuh, konsentrasi produksi pangan di satu lokasi bertentangan dengan komitmen bersama mengurangi emisi karbon yang memicu pemanasan global. Pangan sebagai kebutuhan sehari-hari, mestinya diproduksi sedekat mungkin dengan konsumennya sehingga tidak memerlukan energi untuk mengangkutnya dari satu tempat ke tempat lain. Pangan diangkut menggunakan BBM, sampahnya pun masih diangkut memakai BBM. Sistem ekonomi yang boros energi.

Kedelapan, lalu bagaimana mengatasi permintaan pangan yang tinggi akibat pertambahan penduduk sementara lahan di Jawa atau Sumatra sudah habis?

Pertanyaan ini sangat mudah dijawab oleh orang Papua:

“Anda yang buka hutan di Sumatra untuk sawit bukannya sawah, hutan di Kalimantan untuk batu bara, Anda yang bongkar sawah di Jawa untuk perumahan, pabrik, bandara, atau tambang semen dan emas, mengapa sekarang mengeluh kekurangan beras dan meminta hutan, rawa, dan dusun sagu kami”?

Dandhy Dwi Laksono