Menjelang pembebasan Mosul, Iraq dan Turki mulai berseteru mengenai kehadiran pasukan Erdogan yang secara ilegal menduduki wilayah utara Iraq. PM Haidar Abadi berkomentar keras, menyatakan bahwa Iraq siap berperang dengan Turki jika Erdogan tetap memaksakan kehendaknya.

Meski mencoba menurunkan tempo dengan pernyataan Numan Kurtulmus bahwa kehadiran Turki di Iraq bukan sebagai ancaman, namun kukuhnya Erdogan menyiratkan ada sesuatu yang dicari Turki di Iraq.

Untuk memahaminya, kita perlu memahami konstelasi pertempuran di Mosul dan juga, Aleppo.

Berbeda dengan Aleppo, pertempuran di Mosul sama sekali tak diliput oleh media mainstream yang blusukan, atau LSM dengan helm berwarna-warni. Dengan rata-rata serangan jet AS hingga 20 kali sehari ke lokasi yang konon merupakan basis Daesh, namun seperti kasus Jarablus, Daesh seperti menguap dibawa angin.

Berbalik dengan Mosul, wartawan media mainstream dan beragam LSM berkumpul di Aleppo timur untuk mencari-cari kesalahan sekecil apapun yang bisa dinisbatkan pada SAA atau Rusia, sembari menutup mata pada serangan mortar bertubi-tubi yang dilakukan al-Nusra dkk ke pemukiman sipil di Aleppo barat.

Apa signifikansi perbedaan ini?

Bagi AS, keterlibatannya di Mosul bukan hanya sebagai manuver untuk memperbaiki citranya di media yang mulai hancur, namun juga bertujuan ganda sebagai penghilang bukti keterlibatannya dan sekutunya dalam kemampuan tempur Daesh selama ini.

Beragam alat militer canggih berbagai ukuran dan amunisi yang ditinggalkan Daesh bisa mencoreng-moreng nama AS hingga ke tingkatan yang sulit diselamatkan, dan penghancuran bukti ini sudah direncanakan AS sebelum operasi Mosul berjalan.

Kalau puluhan ribu Daesh tiba-tiba ‘menghilang’ di Mosul, di Aleppo teroris binaan Saudi dan Turki malah menggencarkan serangan balik pada kepungan SAA dan koalisinya. Meski sudah bisa ditebak bahwa serangan ini tak akan terlalu memberi keuntungan signifikan, paling tidak strategi bombardir Aleppo barat bisa memecah konsentrasi dan memperlambat kematian yang menunggu waktu.

Masalahnya, jika Aleppo semakin lama dibebaskan, konsentrasi dan sumber daya yang harus dikerahkan Syria semakin besar, dan membuka peluang berkumpulnya kembali Daesh yang melarikan diri dari Mosul di Raqqa. Turki yang sebenarnya berada di perbatasan terkesan melakukan pembiaran, dan anehnya, AS mulai mengumumkan niatnya untuk melakukan operasi merebut Raqqa.

Dari kulitnya, manuver AS ini didesain sedemikian rupa untuk tampak logis. Pembebasan Mosul dan Raqqa secara simultan memang terdengar menggiurkan. Namun dengan pembiaran Daesh untuk melarikan diri melalui Tal-Afar dan langkahnya mengecam milisi Hashd al-Shaabi yang berupaya mencegah begundal teroris menyeberang ke Syria, niatan AS soal Raqqa tentunya jauh dari ketulusan.

Syria dan Rusia bukannya tidak menyadari ini, namun bagi mereka, Aleppo saat ini adalah prioritas. Jika mereka terpancing untuk ikut nimbrung di Raqqa, keberhasilan mengepung teroris di Aleppo saat ini tentu akan terbuang sia-sia, dan itu berarti semakin lama penduduk Aleppo yang disandera akan menderita. Aleppo adalah keping puzzle terakhir untuk kembali menyatukan paling tidak 70% wilayah sah Syria yang tercerai-berai akibat teroris.

Lalu sebenarnya apa niatan AS untuk melakukan gempuran di Raqqa?

Pertama, niatan AS ini bukan tanpa halangan dari sekutunya sendiri. Turki dan NATO, secara terang keberatan dengan strategi AS ini. Problemnya bukan terletak pada Daesh – yang ‘diamini’ sebagai musuh bersama – namun soalan siapa yang akan digandeng AS dalam melakukan operasi ini.

Erdogan paling sengit menolak rencana ini, karena AS mengumumkan akan merangkul YPG sebagai rekan utama untuk pembebasan Raqqa. Tak perlu seorang Einstein, Turki memahami bahwa AS bermaksud untuk menyatukan area antara Mosul dan Raqqa, sebagai buffer zone untuk mewujudkan Kurdistan atau Israel Raya.

Dengan Mosul yang secara geografis terkurung oleh wilayah kekuasaan Kurdi, mundurnya Peshmerga dari pembebasan Mosul menjadi masuk akal, karena untuk apa ikut bertaruh nyawa jika akhirnya Mosul akan mereka kuasai? Lagipula, kehadiran mereka di Mosul yang mayoritas Arab berpotensi menimbulkan kekerasan antar-suku, hal yang kontra-produktif jika Mosul belum dibebaskan.

Kedua, dengan menguasai Raqqa dan menyerahkannya pada YPG, praktis Kurdi telah menguasai area penting, terutama karena kandungan minyak di Raqqa dan penjualan listrik dari bendungan di sungai Furat, dua hal yang selama ini menjadi pemasukan utama Daesh.

Jika hal ini berhasil, maka penyatuan wilayah dengan Mosul melalui Sinjar akan berjalan lebih mudah, dan buffer zone untuk penyiapan Israel 2.0 akan terwujud dengan sendirinya.

Namun, rencana ini bertabrakan dengan impian sang Sultan yang hendak menyatukan buffer zone yang berhasil direbutnya dari penyerbuan ke Jarablus dan Manbij, dengan Raqqa dan perbatasan Iraq – dan Mosul jika memungkinkan – untuk proyek Neo-Ottoman miliknya.

Jika rencana AS dengan YPG berhasil, maka perbatasan Turki sendiri malah akan terancam, terutama karena YPG dan PKK memiliki hubungan erat, dus menimbulkan potensi pemecahan wilayah di tenggara Turki.

Sebagai konter-proposal, Turki menawarkan ikut serta dalam operasi ini, namun mensyaratkan bahwa YPG tak boleh masuk dalam perhitungan. Erdogan ngotot menawarkan sumber daya Free Syrian Army (FSA) yang melimpah, dengan mengemukakan alasan bahwa FSA yang mayoritas Arab akan lebih mudah diterima penduduk Raqqa saat proses ‘pembebasan’.

Penempatan pasukannya secara paksa di perbatasan Iraq kini menjadi masuk akal, karena Turki pada dasarnya melakukan tindakan pencegahan, sebelum Peshmerga benar-benar menguasai Mosul, dan berbaris rapi ke Raqqa bergabung dengan YPG.

Bagi Syria dan Rusia, perebutan Raqqa menjadi hal yang win-win namun sekaligus lose-lose. Membiarkan FSA atau YPG bertempur berebut Raqqa dengan Daesh merupakan hal yang menguntungkan. Namun di sisi lain, hal ini juga memastikan bahwa balkanisasi Syria kini tak terelakkan, kecuali ada hal-hal di luar prediksi yang terjadi.

Raqqa akan menjadi penentu, lahirnya satu dari dua wilayah baru, perhentian akhir dari Arab Spring. Kurdistan (Israel Raya) atau Neo-Ottoman.