Membahas masalah apakah Indonesia ini negara sekuler atau negara Islam itu menarik; karena seharusnya memang setiap orang mengerti konsep negara dalam Islam itu tidak pernah disebut secara harfiah (dalalah lafdziyyah), melainkan adalah isyarat-isyarat atau yang kita sebut sebagai dalalah ghayr lafdziyyah.

Mengenai ini, al-Quran menyebutkan hal-hal seperti menjalankan hukum pidana Islam seperti yang tertera dalam Qs. Al-Maidah: 38 dan 45, tentang pencurian dan qishash; Qs. al-Nur: 2, tentang hukum perzinahan; Qs. al-Baqarah: 178, tentang diyat; Qs. Al-Taubah: 29, tentang jizyah; Qs. Al Maidah: 51 dan 57, tentang peraturan mengambil pemimpin; Qs. Al-A’raf: 3, juga tentang aturan memilih pemimpin; demikian juga Qs. Ali Imran: 28 dan An-Nisa: 144. Al-Quran juga mengatur orang-orang Islam untuk memiliki kekuatan militer, seperti yang tertera dalam Qs. Al-Anfaal: 39 dan 60, dan seterusnya.

Segala bentuk kewajiban di dalam al-Quran tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya negara. Artinya, jika sebuah negara dapat melaksanakan perintah-perintah Allah tersebut, ditambah dengan prinsip-prinsip al-Quran tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, perlawanan terhadap kedzaliman, pengentasan kemiskinan, kasih-sayang, kemanusiaan, dan seterusnya, maka negara ini seolah-olah telah menjadi negara yang Islami—jika tidak boleh disebut negara Islam yang identik dengan surban dan jubah, misalnya.

Faktanya, sebagian besar madzhab fiqih dalam syariah Islam—dengan perbedaan cara berpikir setiap madzhabnya—berpendapat bahwasannya tidak ada masalah berbangsa dengan kebangsaan apapun, bahkan sebagai bangsa Barat sekalipun. Apalagi jika berkebangsaan Barat itu karena kebutuhan yang mendesak. Kecuali jika kebangsaan itu membawa Anda kepada hal-hal yang diharamkan dan kemaksatan. (Abdurrazzak Shalah, 2002:247)

Sesungguhnya negara Islam itu meniscayakan keberadaan bangsa, karena pemikiran negara dan pemikiran kebangsaan adalah hal-hal yang niscaya. Jika salah-satunya tidak ada, pasti akan memungkinkan ketiadaan yang lainnya (Al-Ma’muri Abd Ali Kadzim, 2008)

Sesungguhnya kebangsaan adalah faktor utama untuk pemenuhan hak-hak individu. Pemenuhan hak-hak ini di negara Islami pertama-tama harus berdasarkan atas kepatuhan terhadap Islam—baik dalam frame sebagai agama maupun sebagai konsep keadilan, kedamaian, persamaan, dan seterusnya.

Yang kedua adalah kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang, yang dianggap sama seperti Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), Hilful Fudhul, Mitsaq al-Dzulmi, dan Baiat Aqabah.

Artinya, posisi kepemimpinan itu adalah yang pertama. Karena tanpa kepemimpinan, kepentingan kebangsaan dan keagamaan tidak terlindungi. Jika Anda hidup di negara yang hukum dan undang-undangnya tidak membawa Anda kepada kemaksiatan dan hal-hal yang diharamkan dalam Islam, maka Anda berada di tempat yang dibenarkan secara fiqih.

Menurut Zaidan Abdul Karim dalam Ahkam al-Dzimiyyin wa al-Mustaminin fi Dar al-Islam, negara Islam adalah negara yang berkesesuaian dengan Syariah Islam, bukan dengan akidah Islam.

Jika inti dari Syariah Islam adalah Jalb al-Mashalih (menarik kebaikan-kebaikan) dan Dar’ al-Mafasid (menolak kerusakan-kerusakan), maka negara mana pun dengan undang-undang yang menjalankan kaidah jalb al-masalih dan da’r al-mafasid adalah negara yang dianggap Islami.

Semua peraturan perundang-undangan yang melawan kedzaliman, mengandung usaha-usaha untuk mengangkat kedzaliman dan ketidakadilan yang bertentangan dengan Syariah Islam dianggap sebagai hal-hal yang bersesuaian dengan hukum al-Quran dan Sunnah dalam frame keadilannya.

Dalam konteks ini, beberapa ulama percaya bahwa kebangsaan adalah manifestasi dari kontrak kewarganegaraan antara individu dan negara. Ini bukan akad (kontrak) agama, tetapi kontrak sipil. Negara-negara Barat adalah negara-negara sekuler, yang jelas secara umum tidak relijius.

Tetapi, jika hukum-hukum negara ini menjamin warganya—terutama—muslim menikmati kebebasan menjalankan keyakinan dan agama mereka, juga hak-hak mereka sebagai warga negara, hal ini dianggap bahwa hukum-hukum sekuler itu bersesuaian dengan tujuan utama hukum Islam.

Indonesia, dengan Pancasila, UUD 45, undang-undang, dan peraturan lainnya, jika tidak ada satu pasal pun yang bertentangan dengan keadilan, pemenuhan hak-hak beragama orang-orang Islam (karena kita sedang membicarakan hukum Islam), prinsip melawan kedzaliman, prinsip menyebarkan kebenaran dan menolak kebatilan, prinsip bermusyawarah untuk memperoleh kebaikan bersama, dan seterusnya, maka sudah jelas Indonesia sedang menerapkan hukum-hukum Islami, setidaknya hukum-hukumnya bersesuaian dengan kaidah-kaidah hukum Islam, yaitu menolak keburukan dan menarik kebaikan-kebaikan; melindungi agama, jiwa, keluarga, akal, dan harta.

Sungguh merupakan kelucuan yang menggelikan jika ada cita-cita membangun negara Islam di negara yang telah menerapkan prinsip-prinsip Islam. Cita-cita ini ingin merusak negara yang telah diperjuangkan dengan darah, jiwa, dan air mata ini, menggantikannya dengan sesuatu yang bertahun-tahun yang lalu telah merusak segala macam tatanan Islam.

Imam Husein alaihissalam, dengan jiwanya yang mulia berjuang dengan pembelaan segelintir orang melawan tirani perebutan kekuasaan atas nama Islam, baik oleh Muawiyah, diteruskan oleh Yazid bin Muawiyah di Suriah, juga oleh beberapa kalangan yang memanfaatkan judul Islam agar mereka dibaiat sebagai pemimpin.

Tanpa berkeinginan meremehkan yang lain, tetapi sepanjang sejarah, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang pernah dipilih secara aklamasi oleh masyarakat pada waktu itu, sementara sisanya adalah pseudonya saja. Pertanyaannya adalah: khilafah yang bagaimana yang ingin dibentuk di negara ini dengan merusak kepemimpinan yang hukumnya sudah Islami? Kekhalifahan Imam Ali-kah? Atau kekhalifahan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid yang kejam itu? Hendak dibawa kemana negara ini dengan sistem pemerintahan seperti itu?

Sungguh niatan mendirikan negara Islam di Indonesia adalah gagasan utopis yang sungguh destruktif, sementara Nabi SAW berwasiat seperti ini:

وإذا حاصرت أهل حصن فأرادوك أن تنزلهم على حكم الله فلا تنزلهم على حكم الله، ولكن أنزلهم على حكمك، فإنك لا تدري أتصيب حكم الله فيهم أم لا

‘’Jika engkau mengepung suatu benteng, lalu penghuni benteng tersebut meminta agar kamu memperlakukan mereka sesuai dengan hukum Allah maka janganlah kamu memperlakukan mereka dengan hukum Allah. Akan tetapi perlakukanlah mereka sesuai dengan hukummu, karena kamu tidak tahu apakah kamu tepat dalam memperlakukan mereka sesuai dengan hukum Allah atau tidak.” (Hadits riwayat Muslim dan lainnya dari hadits Buraidah bin Al Hushaib)

Menurut Ibnu Bayyah, bahkan jika pun negara menerapkan Syariah Islam tak berarti negara itu benar2 menerapkan syariah Islam tanpa menjaga kondisi (dhurūf), sebab-sebab (asbāb), dan penghalang2 (mawāni’); maksudnya tanpa me-maintain kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Artinya, berbicara syariat Islam, tidak bisa hanya mengandalkan penerapan hukumannya saja, tapi juga perangkat keadilan dan kesejahteraan rakyat menurut Islam juga. Dan dalam konsep ini, benar, bahkan negara yang menganut syariah Islam saja blm tentu menerapkan syariah itu sendiri.

Rujukan:

  • Abdurrazzak Shalah, al-Alam al-Islamy wa al-Gharb, al-Kitab al-Sanawi al-Khamis, Muassasatu Darussalam, 2002;
  • Al-Ma’muri, Abd Ali Kadzim, Isykaliyyatu al-Muwathanah wa al-Huwiyyah al-Wathaniyyah al-Iraqiyyah, Majalah Ibhats Iraqiyyah, 2008;
  • Aziz, Abdul, Dr., Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, Pustaka Alvabet, Jakarta, 2011;
  • Djazuli, Prof. H.A, Kaidah-Kaidah Fikih, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta. 2006;
  • Fauzi M. Najjar (Spring, 1996). The debate on Islam and secularism in Egypt, Arab Studies Quarterly (ASQ);
  • Ibnu Bayyah, Mas’alatu Islamiyyatu al-Daulah, 2017;
  • Zaidan Abdul Karim, Ahkam al-Dzimiyyin wa al-Musta’minin fi Dar al-Islam, Cairo: Muassasatu al-Risalah, 1982;