Ajaran pokok agama Islam adalah “tidak ada paksaan di dalam agama” (lâ ikrâha fi al-dīn).

Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Qs. al-Baqarah: 256, Qs. Yunus: 99, Qs. al-Syuara’: 3 dan 4. Ini adalah nash muhkam dan tidak dimansukh juga dimakhsush.
Yang dimaksud dengan makhsush adalah sebuah ayat atau hadis yang pembahasannya dikhususkan, seperti pada ayat “…yang menghancurkan segala sesuatu.” (Qs. al-Ahqaf: 25) Pada kenyataannya tidak segalanya dihancurkan.

Atau firman Allah “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (Qs. al-Sajdah:13) Tapi pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka. Juga pada hadis “Setiap bid’ah itu sesat.” Menurut jumhur ulama ini adalah hadis ‘am makhsush, karena tidak setiap bid’ah itu sesat.

Nah, ayat lâ ikrâha fi al-dīn ini tidak dimakhsush. Oleh karena itu, tidak perlu ada “paksaan” dalam beragama setelah dalil-dalil dan bukti-buktinya telah menjadi jelas. Inilah yang diungkapkan oleh para mufassir seperti al-Thabari, al-Razi, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, dan yang lain-lain.

Bahkan, rujukan para Islam garis keras Ibnu Taimiyyah menjelaskan Jumhur ulama salaf menyatakan bahwa ayat ini tidak dimansukh, tidak dimakhsush. Ayat ini adalah ayat ‘am, maka kami—kata Ibnu Taimiyyah—tidak memaksakan orang dalam beragama; serta tidak ada dalil satu pun yang menjelaskkan bahwa Rasulullah SAW memaksa seseorang untuk beragama Islam.

Masih menurut Ibnu Taimiyah, bahwa Rasulullah SAW pernah menyandera orang-orang musyrik; ada yang dibebaskan dengan jaminan, ada yang dibebaskan begitu saja, tetapi tidak ada yang dipaksa memeluk agama Islam. Sedangkan al-Quran memberikan pilihan kepada kaum muslimin: membebaskan tawanan atau meminta tebusan (Zuhaili, 1981: 14, 15).

Artinya jelas, bahwa di dalam Islam tidak boleh memaksa orang lain memeluk agama Islam. Ini seharusnya telah meyakinkan para peneliti—terutama yang non-muslim—bahwa di dalam sejarah agama Islam tidak ada paksaan untuk memeluk Islam. Melainkan yang menjadi ciri-khas Islam yang umum dalam bermuamalah adalah toleransi (tasâmuh) dengan non-muslim.

Bahkan, menurut sejarah, berbagai kelompok atau masyarakat Nasrani yang hidup di dalam pemerintahan Islam yang berlangsung selama berabad-abad menyaksikan toleransi Islam ini kepada mereka (Ibrahim, 1970: 461, 462).

Islam memang agama universal yang dipercayai banyak manusia. Tetapi, al-Quran menjelaskan bahwa ada orang-orang yang tidak menjawab dakwah Islam. Artinya, memang banyak orang yang beriman, tetapi banyak juga orang yang tidak beriman. Maka rujuklah Qs. al-An’am 116:

 وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”

Juga Qs. Yusuf 103:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.”

Islam mengajak agama-agama terdahulu untuk memeluknya. Tetapi, ajakan ini tidak membuat pemeluk agama-agama lama merasa gerah dan dipaksa. Malahan, Islam membuat syariatnya sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang mendahuluinya.

Diantara syariat agama Islam adalah Islam menghalalkan orang muslim memakan makanan orang non-muslim, juga memperbolehkan kaum muslim menikahi wanita-wanita non-muslim (lihat Qs. al-Maidah: 5).

Islam juga mengharamkan permusuhan diantara orang muslim dan non-muslim, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadis di bawah ini:

من قتل مُعاهَدًا له ذمَّة الله وذمَّة رسوله لم يَرَحْ رائحة الجنة، وريحها من مسيرة سبعين عامًا

“Barangsiapa membunuh Mu’ahad (non-muslim yang terikat perjanjian damai dengan Islam), maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (Ibnu Majah bab Diyat, dan Ahmad 186/2, 237/4, 369/5, dan 474/5)

Islam telah melarang orang-orang Islam berdebat dengan orang-orang non-muslim kecuali dengan argumen yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang beruat dzalim (lihat Qs. al-Ankabut: 46), seperti mengajak mereka masuk kedalam satu kalimat yang sama, dimana antara orang-orang Islam dan selainnya sama di dalam akidah yang dibawah oleh para nabi yang terdahulu.

Inilah yang dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Qs. Ali Imran: 64:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita menyemembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apa pun; dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Islam malah memerintahkan pemeluknya untuk berbaik-baik dan adil kepada selainnya, jika selainnya itu tidak memerangi kaum muslimin, tidak melakukan fitnah kepada mereka, tidak juga mengusir mereka dari negeri mereka (lihat Qs. al-Mumtahanah: 8, 9).

Jika Islam mensyariatkan “jihad” dengan maksud untuk menyebarkan dakwah Islam dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, maka Islam mensyariatkan bahwa umat Islam memulainya dengan menunjukkan Islam kepada orang-orang yang memeranginya sebelum memulai peperangan.

Artinya, jihad yang berarti qitâl atau perang fisik itu hanya terjadi kepada orang-orang yang memerangi Islam. Sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan kepada kita bahwa jika beliau mengirim sariyyah (pasukan mata-mata) atau bala-tentara, beliau SAW menasehati mereka agar berlaku baik.

Beliau bersabda:

إذا لقيت عدوك من المشركين فادعهم إلى إحدى ثلاث خصال.. فأيّتها أجابوك إليها فأقبل منهم، وكفَّ عنهم: ادعُهم إلى الإسلام، فإن أجابوك فاقبل منهم وكفَّ عنهم

“Jika engkau bertemu musuh (orang yang memerangimu) dari kaum musyrikin, tawarilah mereka (dahulu) untuk memilih 1 diantara 3 hal: jika mereka menjawab tawaranmu, maka terimalah, dan lepaskan mereka. Ajaklah mereka kedalam Islam, jika mereka menjawab dan menerimanya, lepaskanlah mereka.” (HR. Abu Dawud kitab Jihad, bab Doa orang-orang Musyrikin; dan Bukhari kitab al-Maghâzi bab perang Khaibar)

Dan tahukah Anda kelanjutan dari 3 tawaran itu? Kelanjutannya adalah: tawaran untuk pindah dari tempat tinggal mereka (kaum musyrik) ke negeri kaum Muhajirin.

Jika mereka mau melakukannya, mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. Jika mereka menolak, maka mereka diperlakukan sama dengan kaum muslim Arab lainnya, yakni diberlakukan atas mereka hukum Allah yang berlaku atas kaum mukmin.

Kekurangannya adalah mereka tidak mempunyai hak apa pun dari hasil harta fai‘ dan harta ganīmah (rampasan perang), kecuali jika mereka ikut berjihad bersama kaum muslim. Pilihan ketiga adalah membayar jizyah (semacam pajak). Jika mereka mau membayar pajak, maka mereka bebas. Nah, penolakan pilihan terakhir inilah yang mengakibatkan terjadinya perang.

Artinya, ada beberapa kondisi: kondisi pertama, orang-orang non-muslim itu hendak memerangi orang-orang Islam. Kondisi kedua adalah orang Islam menghadapi mereka face to face dan siap berperang, itu pun masih ditawarkan 3 tawaran di atas. Jadi, perang tidak terjadi tanpa 4 kondisi ini.

Dan beginilah Islam, dia mendahulukan kemampuan mukhathabah (berdialog) dengan akal dan menolak syubhat. Ibnu Hazm menerangkan bahwa hujjah yang benar itu lebih baik daripada menghadapi musuh dengan pedang dan memiliki banyak musuh.

Ibnu Hazm berkata dalam al-Ihkmâm fī Ushûl al-Ahkâm seperti ini:

وقد تُهْزَم العساكر الكبار، والحُجَّة الصحيحة لا تُغْلَب أبدًا؛ فهي أدعى إلى الحق وأنصر للدين من السلاح الشاكي، والأعداد الجمعة

“Pasukan besar telah diserang, sedangkan hujjah yang benar tidak akan terkalahkan selamanya. Ini adalah cara yang terbaik kepada kebenaran dan menolong agama, daripada dengan memakai pedang dan menyiapkan pasukan.” (Ibnu Hazm, 1983: 25)

Oleh karena itu, maka cara-cara untuk menyiarkan dakwah Islam adalah meletakkan makna jihad pada tempat yang sebenarnya. Di dalam Islam, mensinergikan antara adab, wasiat, dan hukum-hukum kemanusiaan dan akhlak itu tidak ada bandingannya.

Rasulullah SAW berwasiat kepada para mujahidin:

اغزوا باسم الله، وفي سبيل الله، اغزوا ولا تغدِروا، ولا تغلُّوا، ولا تمثلوا، ولا تقتلوا وليدًا.

“Seranglah mereka dengan Asma Allah, dan di jalan Allah. Seranglah dan janganlah kamu menggelapkan harta rampasan perang, jangan menghianati perjanjian, jangan mencincang korban yang terbunuh, dan jangan membunuh anak-anak.”

انطلقوا باسم الله وبالله وعلى مِلَّة رسول الله، ولا تقتلوا شيخًا فانيًا، ولا طفلاً ولا صغيرًا، ولا امرأة، ولا تغلُّوا، وضموا غنائمَكم، وأصلحوا وأحسنوا، إن الله يحب المحسنين.

“Berangkatlah kalian atas nama Allah dan janganlah kalian membunuh orang yang sudah tua renta, anak kecil, dan perempuan. Dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam mengumpulkan ghanimah-ghanimah kalian. Dan berbuatlah baik, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (Sunan Abu Dawud, 37, 38/3)

Lalu, bedakanlah antara jihad dengan qital. Karena jihad tak selalu bermakna qital. Para ulama mengatakan bahwa al-qatl adalah menumpahkan darah dengan cara menebas dengan pedang atau apapun yang berakibat kematian (Lisan al-Arab, bab qatala).

Oleh karena itu, maka qitâl itu adalah perkelahian yang terjadi antara dua orang yang sedang berperang, atau antara orang-orang Islam dengan musuh-musuhnya. Juga pernah juga terjadi antara orang Islam melawan orang Islam lainnya.

Untuk masalah terakhir ini, Allah SWT berfirman:

 وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. al-Hujurat: 9)

Sedangkan kata “jihad” itu menunjukkan arti mengerahkan segala daya dan upaya yang melelahkan. Maka di sana ada kata: ijtihâd dan tajâhud. Keduanya berarti mengerahkan kekuatan dan upaya yang melelahkan.

Sedangkan “jihad” berarti memerangi musuh dengan segala kekuatan yang dimiliki; bisa dengan kata-kata, juga dengan perbuatan. Bisa dengan senjata, bisa juga dengan yang lainnya (Lisan al-Arab, bab qatala).

Itu artinya bahwa “jihad” itu tidak terbatas pada memerangi musuh dengan senjata yang menyebabkan pembunuhan. Jihad bisa juga dengan cara-cara yang memungkinkan untuk menang melawan musuh. Maka di sana ada jihad ekonomi, jihad sains dan ilmu pengetahuan, jihad diplomasi, juga tidak menutup kemungkinan jihad fisik.

Maka, al-Râghib al-Asfahâni menyatakan bahwa jihad itu ada tiga: jihad melawan musuh yang nyata; jihad melawan setan; dan jihad melawan hawa nafsu (Râghib, 1970: 142).

Mafhum ini bukannya mengada-ada, tetapi berdasarkan dari hadis-hadis Nabi SAW bahwa jihad itu tidak hanya berperang melawan musuh, tetapi bisa juga merambah ke bidang-bidang yang lain yang memiliki sangkut-paut dengan ibadah, kemasyarakatan, dan personal.

Rasulullah SAW bersabda kepada pemuda yang ingin ikut berperang bersama beliau. Rasulullah SAW bersabda, “Apakah ibu-bapakmu masih hidup?” Pemudah itu berkata, “Iya, masih.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam diri kedua orang-tuamu berjihadlah.” (Al-Bukhari, kitab Jihad, bab Jihad Atas Izin Orang-tua 18/4; Muslim, kitab al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab, bab Berbuat Baik kepada Kedua Orang-tua dan Sesungguhnya Mereka Lebih Berhak atas Jihad; Musnad Ahmad 165, 173/2).

Rasulullah SAW menyifati ibadah haji dengan jihad, bahwa haji adalah jihadnya orang-orang yang lemah (Sunan Ibnu Majah, kitab al-Manâsik, bab al-Hajj Jihâd al-Nisa’ no. 2902, bab Umrah no. 2989). Nabi SAW pernah bersabda: Mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya sendiri karena ingin mendekati Allah (Musnad Ahmad, 20, 22/6).

Jihad melawan diri sendiri adalah jihad melawan syahwat, hawa nafsu, menjauhi keburukan, berkelindan dengan ketaatan dengan membiasakan diri berakhlak baik, membiasakan berprasangka baik, melatih dirinya agar selalu dalam kebaikan sehingga iman dan ketaatan menjadi istiqamah di dalam dirinya. Dan ini semua adalah jihad yang tidak bermakna qitâl dan peperangan yang berujung pada pembunuhan satu sama lain.

Dari contoh yang diberikan oleh Nabi SAW ini, para mufassir menambahkan hal tentang jihad yang ditafsirkan dari ayat-ayat al-Quran seperti Qs. al-Hajj 78: “Dan berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”

Ini adalah ayat mengenai al-jihâd al-akbar (jihad besar), yaitu jihad untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya pada ayat sebelumnya, yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, bersujudlah, sembahlah Tuhan kalian, dan lakukanlah kebaikan agar kalian beruntung.” (Qs. al-Hajj: 77).

Menurut para ulama, ini bermakna menghidupkan agama Allah dengan segenap kemampuan kita (Al-Syaukani, tt.: 470/3).

Juga tafsir dari para mufassir untuk Qs. al-Ankabut: 69 yang kurang lebih artinya, “Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami akan Kami tunjukkan mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.”

Al-Sudiyy mengingatkan bahwa ayat ini turun sebelum kewajiban qitâl. Ibnu Atiyyah berkata bahwa ayat ini turun sebelum “jihad urfi”, yaitu jihad umum di dalam agama Allah untuk mencari ridha-Nya.

Menurut Hasan al-Bashri, ayat ini tentang orang-orang yang banyak beribadah. Menurut Abu Sulaiman al-Darani, jihad di dalam ayat ini bukan hanya memerangi orang-orang kafir, tetapi juga menolong agama dan melawan orang-orang bathil dan dzalim, dan tentang keagungan amar ma’ruf nahi munkar (diantaranya adalah jihadnya jiwa untuk taat kepada Allah), inilah yang dinamakan jihad akbar (Abi Abdullah al-Qurthubi, tt: 5080, 5081).

Juga tafsir untuk Qs. al-Furqan: 52:

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Quran dengan jihad yang besar.”

Dalam tafsirnya, al-Syaukani berkata bahwa dhamir “bihi” itu kembali kepada al-Quran, bermakna: berjihadlah melawan mereka dengan al-Quran, bacalah atas mereka apa yang ada di dalam al-Quran tentang hari kiamat, tentang dosa-dosa, tentang perintah-perintah, dan tentang larangan-larangan.

Tapi ada yang mengatakan bahwa dhamir “bihi” itu kembali kepada Islam. Sedangkan perintah untuk qital itu datang setelah hijrah (Fathul Qadir, 81/4; al-Jami’ Liahkam al-Quran, 4774).

Makanya, jihad tidaklah terbatas pada term memerangi musuh secara fisik saja, tetapi jihad meluas kepada seluruh perintah-perintah agama dan larangan-larangannya, seperti dia meluas kepada seluruh bidang kehidupan. Maka mencari ilmu itu sebuah jihad, memiliki kekuatan dalam segala bidang itu jihad, meningkatkan kemuliaan akhlak juga jihad, menegakkan kehidupan individu dan sosial dengan cara yang dicintai Allah itu juga jihad, menegakkan hak-hak orang-orang yang dirampas hak-haknya juga jihad. Melaksanakan tugas-tugas dalam kehidupan juga jihad.

Terlebih lagi di dalam negara yang aman (Dâr al-Islâm), tidak ada itu yang dinamakan jihad dengan merusak keamanan negara yang telah aman. Itu namanya bukan jihad, tetapi kejahatan!

Daftar Pustaka

  • Wahbah Zuhaili, al-Alaqat al-Dauliyyah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah: Beirut, 1981;
  • Dr. Husain Ibrahim, al-Da’wah Ila al-Islam, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah: Mesir, 1970;
  • Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Diyat;
  • Musnad Imam Ahmad;
  • Sunan Abu Dawud;
  • Shahih Bukhari;
  • Shahih Muslim;
  • Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Afaq al-Jadidah: Beirut, 1983;
  • Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Ahkam al-Quran, Mesir, 1970;
  • Muhammad Ali al-Syaukani, Fathul Qadir, Alim al-Kutub: Lebanon, tt.;
  • Abi Abdullah al-Qurthubi, al-Jami’ Liahkamil Quran, tt: 5080, 5081.