Menanggapi kasus Kendeng (yang kini telah memakan korban jiwa), pada tanggal 2 Agustus 2016, Presiden Jokowi memerintahkan penundaan semua izin tambang di Pegunungan Kendeng.

Lalu tanggal 5 Oktober 2016, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 yang mengabulkan gugatan petani Kendeng dan mencabut Izin Lingkungan Pembangunan dan Pertambangan Pabrik PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.

Ironinya, pahlawan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, pada  tanggal 23 Februari, mengeluarkan lagi izin pembangunan baru, dengan sedikit perubahan wilayah.

Tahukah Anda, dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung—berdasarkan data berkala dari Semarang Caver Association (SCA), Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), juga beberapa ahli, seperti Mantan Kepala Badan Geologi, dan para peneliti Geologi—menyatakan bahwa ada 49 goa yang tersebar di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih; 4 goa diantaranya adalah goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif.

Dalam data itu juga ditemukan 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial (abadi) yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Ini artinya, bahwa Pegunungan Kendeng adalah kawasan Karst yang berfungsi sebagai penyimpanan air yang sangat besar, yang bisa menyuplai kebutuhan air bagi kawasan sekitarnya.

Tak hanya itu saja, kawasan Karst adalah kawasan yang mudah rusak. Batuan dasarnya mudah larut dan membentuk goa-goa bawah tanah. Jangankan pabrik semen, permukiman penduduk yang terdapat di daerah ini saja akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan, seperti bencana alam guguran batuan dan runtuhnya goa bawah tanah.

Pertanyaannya, super hero mana sih yang tega melakukan perusakan lingkungan di tempat yang jelas-jelas dinyatakan secara resmi oleh Mahkamah Agung sebagai Karst? Kenapa tidak mengerti kegundahan rakyat yang diakui secara resmi oleh Negara ini?

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, disebutkan bahwa lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya.

Otto Soemarwoto dalam Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, menyatakan bahwa sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam faktor: yaitu jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur linkungan hidup tersebut; hubungan atau interaksi antara unsur dalam linkungan hidup itu; kondisi unsur lingkungan hidup; dan terakhir adalah faktor non-material suhu, cahaya, dan kebisingan.

Jika kita gabungkan dua pengertian di atas, maka yang dinamakan lingkungan adalah kesatuan ruangan, yang ditinggali oleh benda-benda, makhluk hidup, bahkan suasana dan sumber-sumber energi atau kehidupan yang ada di dalamnya.

Di dalam Islam, merusak lingkungan ini (bisa merusak seluruh pengertian lingkungan, atau sebagiannya) hukumnya adalah haram muthlaq.

Di dalam kajian Ushul fiqh, ini masuk dalam bab Mafhum al-Mukhalafah, yang masuk dalam bab Mafhum al-Syarth, yaitu jika kita dilarang melakukan sesuatu berarti kita diperintahkan untuk melakukan kebalikannya.

Misalnya, kita dilarang merusak alam berarti kita diperintah untuk melestarikan alam. Misalnya larangan Allah merusak alam seperti dalam Qs. al-A’raf 56 ini:

ولا تفسدوا فى الارض بعد إصلاحها ودعوه خوفا وطمعا إن رحمت الله قريب من المحسنين

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada Allah, dengan rasa takut dan harapan. Sesungguhnya rahmat dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Arti dari ayat ini sudah jelas adalah larangan melakukan perusakan lingkungan di bumi. Mafhum mukhalafahnya adalah: manusia harus melakukan pelestarian lingkungan bumi.

Fakhruddin al-Raziy dalam al-Tafsir al-Kabir, juga Imam al-Qurthubi dalam al-Tafsir al-Qurthubi menjalaskan bahwa ayat di ini adalah larangan membuat mudharat apa pun bentuknya.

Jika penebangan pohon menimbulkan kerusakan, maka ia masuk dalam larangan ayat ini; jika menanam ganja menimbulkan kerusakan, maka ia pun masuk dalam larangan ayat ini. Bahkan mencemari air pun—dalam tafsir ini—dinyatakan sebagai bagian dari pengrusakan. (al-Tafsir al-Kabir, Juz 14 hal, 139; Tafsir al-Qurtubi, VII, 226).

Setidaknya, di dalam contoh Qs. al-A’raf 56 di atas, ada dua hal yang harus dilakukan oleh manusia, yaitu menghindari pengrusakan, dan melakukan pelestarian lingkungan. Kenapa harus demikian? Mari kita bahas.

Saat Anda membaca artikel ini, air bersih yang manusia butuhkan untuk minum, memasak, mandi, dan lan-lain, hanya tersedia sekian persen saja, tak sampai 5%. Sisanya adalah air kotor dan air sangat kotor.

Di Indonesia, pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi paling buruk di ASEAN, yaitu 30 persen di kawasan perkotaan, dan 10 persen di tingkat pedesaan. Sementara air yang layak diminum hanya 20 persen dan hanya 15 persen masyarakat yang mengakses air dari pengelolaan air. Sisanya memenuhi kebutuhan air sendiri.

Di Jakarta, air bersih hanya tersisa 2,2 persen. Menurut laporan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), mutu aliran sungai di 45 titik pantau di 13 DAS Ciliwung pada 2010 adalah 0%, dalam kondisi baik, 9% tercemar ringan, 9% tercemar sedang sembilan persen, 82% sementara tercemar berat. Dari 82%, 60% adalah black water.

Anda tahu apakah black water itu? Black water adalah jenis terakhir dari air yang tak bisa di didaur-ulang lagi. Sementara 41% warga Jakarta masih tergantung pada air tanah.

Ironinya, Air kotor adalah pembunuh terbesar balita miskin. Dan hampir 4 juta orang meninggal setiap tahun karena penyakit yang berhubungan dengan air, 43 persennya adalah akibat diare. 98% kematian terkait air terjadi di negara berkembang. Lebih ironi lagi adalah fakta bahwa, sebenarnya, untuk menghindari diare, 35%-nya adalah dengan mencuci tangan dengan air bersih saja.

Artinya, apa yang dilakukan oleh warga Kendeng itu adalah upaya melestarikan lingkungan sekaligus mencegah perusakannya. Warga Kendeng seperti mengikuti jejak para pahlawan: rela berperang demi melindungi bangsa dan negaranya; lalu setelah merdeka, mereka membangun negara ini dengan baik.

Di dalam kondisi dunia yang sedang kekurangan air bersih dan diterpa banyak masalah lingkungan ini, pelestarian Pegunungan Kendeng, sekaligus, pembatalan aktivitas penambangan di atasnya adalah keniscayaan yang seharusnya dilakukan oleh Presiden Jokowi, untuk menghindari ironi kegendengan nasional ini.

Ironi, karena hal ini terjadi pada bangsa yang masih selalu ingin disebut sebagai bangsa yang bermartabat dan santun.