Ada sebuah film soal heroisme yang menarik baru saja tayang di layar lebar, Hacksaw Ridge judul film tersebut. Menceritakan seorang yang sangat agamis namun tercebur dalam suasana perang sebab keinginannya mengabdi pada negara pada saat itu.

Di satu sisi film ini memanglah sangat menarik karena kita bisa melihat sisi persinggungan antara agama yang melembutkan manusia dengan perang yang menuntut manusia untuk berbuat jahat kepada manusia yang lain.

Pada akhirnya film ini menggambarkan bahwa seorang yang agamis pun harus terjun dalam perang, sehingga sisi kemanusiaan harus disingkirkan dan tak menjadi pilihan dalam berjuang.

Perang akhirnya selalu akan membolehkan mengambil nyawa orang lain dengan “resmi”, semua dalil agamapun walhasil berdamai soal ini. Namun tulisan ini tidak akan membahas soal film tersebut, tapi lebih pada persinggungan antara tiga hal di atas, yaitu identitas, agama dan teror.

Berangkat dari film Hacksaw Ridge ini dan fenomena mulai menjamurnya teror atas nama “agama” di beberapa belahan dunia ini. Seorang ekonom asal India yang mempunyai pengalaman buruk dengan persoalan ini bernama Amartya Sen pun menjelaskan persoalan ini dengan sangar baik dalam bukunya yang berjudul “Kekerasan dan Identitas”.

Namun saya akan fokus pada pembahasan Amartya Sen (setelahnya ditulis Sen) di persoalan dunia Islam dan teror kekerasan. Sen yang pernah mendapatkan nobel ekonomi pada tahun tahun 1998 atas karyanya berjudul “Ekonomi Kesejahteraan”. Konon nama Amartya (yang bermakna Keabadian) diberikan oleh Rabidranath Tagore, sekolah di sekolah milik Tagore tersebut yang semula awal mengajarkan multikulturalisme pada anak-anak didiknya.

Sen dalam bukunya “Kekerasan dan Identitas”, menuliskan satu bab khusus dalam membincangan isu soal Islam dan kekerasan dengan judul Afiliasi Keagamaan dan Sejarah Kaum Muslim. Dalam bab ini Sen menyoroti persoalan agama sebagai identitas tunggal dalam menyikapi kekerasan yang banyak terjadi ini.

Sen pada awalnya mengkritik teori Samuel Huntington soal benturan kebudayaan. Yang mana menurut Sen teori ini cenderung menunjuk perbedaan agama sebagai membedakan kebudayaan, teori ini menurut Sen mengalami kecacatan karena memandang manusia semata memiliki afiliasi tunggal dan melupakan kerjasama antar kebudayaan yang selama ini dibangun.

Kritik Sen yang kedua adalah melupakan heterogenitas afiliasi keagamaan yang dicirikan kepada sebuah negara dan lebih luas lagi kebudayaan.

Namun Sen juga menyadari bahwa afiliasi yang dilakukan oleh Samuel Huntington sebenarnya tak sepenuhnya salah namun mengkategorisasikan manusia hanya pada agama adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal, kalau dalam bahasa yang digunakan oleh Sen adalah kecacatan.

Namun kita tidak boleh lupa memberikan perhatian pada identitas masyarakat yang sangat majemuk dan pilihan prioritas mereka karena menurut Sen ini sangatlah sulit digantikan oleh kategorisasi keagamaan secara langsung, tegas Sen.

Keserampangan dalam analisis sosial adalah hasil dari penggunaan identitas agama sebagai prinsip klasifikasi utama bahkan satu-satunya. Ini bisa kita lihat pada kesalahan mereka pada ragam afiliasi dan loyalitas yang diyakini oleh seorang muslim, dan beragamnya identitas keberislamannya karena seorang muslim memungkinkan sekali memiliki beragam identitasnya.

Sen menunjukan perumusan yang serampangan ini yang kemudian dipadu kecurigaan yang akut pihak Barat akan menimbulkan solusi yang menurut Sen sangatlah dangkal.

Barat cenderung melupakan bahwa gagasan dan prioritas kaum muslim mengenai persoalan-persoalan politik, kebudayaan dan sosial sangat mungkin beraneka ragam. Sen menulisan sebuah kisah yang sangat menarik yang mengambil dari pengalaman seorang tokoh muslim yang terkenal yaitu Ibnu Batutah, di mana saat Ibnu Batutah berkunjung ke rumah Abu Muhamad Yandakan al-Musufi, notebene seorang muslim juga.

Namun ketika sesampainya Ibnu Batutah sampai ke rumah al-Musufi, ia mendapati seorang perempuan yang bercakap-cakap dengan seorang lelaki di atas sebuah dipan.

Ibnu Batutah sangat mengutuk ini, dan ia membicarakan persoalan ini dengan al-Musufi selaku tuan rumah. Al-Musufi pun dengan santainya menjawab perempuan itu adalah istrinya dan laki-laki tersebut adalah temannya. Ibnu Batutah pun masih belum bisa menerima, dan sangatlah kesal pada al-Musufi sehingga ketika al-Musufi mengundangnya kembali ke rumahnya, Ibnu Batutah tidak menghiraukannya.

Selain mengkritik bagaimana Barat memandang identitas tunggal seorang muslim, Sen juga memberikan kritikan yang cukup pedas kepada umat Islam yang bagi Sen mengamini bagaimana pandangan Barat tersebut.

Kita sering mendengar pernyataan bahwa “teroris itu bukanlah dari Islam”, menurut Sen pernyataan ini tidaklah benar sepenuhnya karena Sen memandang ini akan mereduksi kenyataan bahwa pelaku teror itu beragama Islam.

Sen menilai pandangan ini sebenarnya hanyalah mengkonfirmasi pernyataan Barat, dan ini dimulai paling tidak sejak deklarasi Amman, yang mana Raja Abdullah II dari Jordania menegaskan bahwa “tindak kekerasan atas nama Islam sepenuhnya bertentangan dengan prinsi-prinsip dan ideologi Islam”.

Dalam pernyataan ini sebenarnya kita tidak bisa mereduksi seorang pelaku kekerasan tersebut dari Islam, karena dia tetaplah seorang muslim walau sudah melakukan yang tidak pantas.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Sen untuk bisa melihat lebih jernih perbedaan antara memandang kaum muslim semata dan kerangka keislaman mereka, dengan memahami mereka dengan afiliasi yang berbeda. Ini semacam mau melihat seorang muslim lebih komprehensif, tak sekedar melihat ajarannya tapi juga melihat buku sastra apa yang dia baca, afiliasi politiknya dan lain sebagainya.

Alasan pertama, pengetahuan. Di mana kita menurut Sen sudah seharusnya mulai melihat apa yang terjadi sebenarnya dalam sebuah aksi teror yang didasarkan pada cita-cita Islam menurut klaim sekelompok aktivis, kesalahan kita jika melakukan hal yang sama karena kita gagal memahami apa beda antara identitas keIslaman dengan identitas sebagai teroris yang memperjuangkan apa yang dia percayai sebagai cita-cita Islam.

Kita yang bisa membedakan hal di atas maka akan terhindar dari perdebatan apakah ada nilai-nilai Islam yang mendukung terorisme.

Alasan yang kedua, pembedaan diatas sangatlah penting menurut Sen, sebab dalam pertaruangan melawan politisasi agama yang sedang merajalela saat ini diperlukan penalaran yang benar dalam melihat ini, sebab politik sektarian seperti ini akan sangat berpotensi gesekan di masyarakat bawah yang paling keras. Dengan melihat perbedaan persoalan di atas maka kita bisa melihat politik sektarian ini bisa lebih baik dan menanggapinya juga lebih baik lagi.

Alasan ketiga adalah dengan memahami pembedaan di atas kita bisa melihat lebih baik persoalan apa yang sering disebut oleh Barat dengan “dunia Islam”. Karena dengan hanya melihat agama dalam identifikasi sebuah negara maka akan mengurangi perhatian kepada mereka yang berada di luar sektor agama. Kemajuan khazanah keilmuan hanya akan berkutat pada agama saja jika kita tidak mampu keluar dari pengotakan ala pengamat luar.

Sedangkan alasan yang keempat adalah menghindari kesalahan serius dalam memerangi terorisme, menurut Sen ini sangatlah fatal jika kita masih rancu memahami identitas majemuk kalangan muslim. Akibat dari pembelahan yang tunggal ini maka masyarakat akan sangat rentan terpancing konfrontasi antar masyarakat.

Pemahaman yang bertumpu pada identitas keagamaan ini juga akan memperuncing perbedaan menumpulkan pandangan akan relasi yang bisa dibangun selama ini. Suara tokoh agama akan semakin nyaring, namun menurunkan volume suara yang lain dan relasi di antara mereka. Sen ini akan membuat orang-orang akan berebut untuk mendaku dirinya sebagai “juru bicara” umat.

Keengganan untuk membedakan keberagaman asosiasi dan afiliasi yang dimiliki seorang muslim dengan identitasnya sebagai orang Islam, membuat para pemimpin Barat mengobarkan perang politik melawan terorisme dengan solusi yang kurang tepat, yaitu merumuskan kembali apa makna Islam yang sebenarnya. Padahal perbincangan seperti ini hanya akan mereduksi ajaran Islam yang memiliki khazanah yang luar biasa.

Terakhir saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah puisi dari KH. Mustafa Bisri atau yang lebih akrab dipanggil Gus Mus, berjudul Aku Menyayangimu Karena Aku Manusia. Puisi ini juga dinyanyikan oleh Iwan Fals. Dalam puisi ini bukanlah keagamaan yang menjadi dasar kecintaan kita pada manusia namun kemanusiaan itu sendiri, inilah yang akan membuat kita terhindar dari perang dan teror antar sesama.

Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau sewenang wenang kepada manusia
Aku akan menentangmu
Karena aku manusia

Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau memerangi manusia
Aku akan mengutukmu
Karena aku manusia

Aku menyayangimu karena kau manusia
Tapi kalau kau menghancurkan kemanusiaan
Aku akan melawanmu
Karena aku manusia

Aku akan tetap menyayangimu
Karena kau tetap manusia
Karena aku manusia

Gang Kariwaya, 19 Mei 2017