Aksi-aksi bom bunuh diri seolah dianggap ‘lazim’ dilakukan oleh para teroris berlabel Islam di berbagai negara, mulai dari Timur Tengah, Eropa, hingga Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, dunia disuguhi rekaman film dan foto berisi parade kebencian yang akut hingga ke level yang paling mengerikan, seperti menggorok leher, mutilasi mayat, dan bom bunuh diri yang disambut sorak-sorai di media sosial oleh para pendukungnya.

Inikah wajah Islam sejati? Pastinya, setiap muslim yang berhati nurani akan menjawab TIDAK. Lalu, mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana mengatasinya?

Karen Amstrong, seorang pemikir kelas dunia yang telah menulis banyak buku tentang sejarah dan dialog agama-agama, menulis dalam bukunya “Compassion” bahwa betapa esensi Islam dan berbagai agama samawi lainnya, adalah cinta dan welas asih (compassion). Esensi ini semakin hari semakin terkubur, namun selalu ada semangat dari segelintir orang untuk menggali dan mengartikulasikannya kembali.

Compassion, menurut Amstrong, adalah sesuatu yang sejatinya ada dalam diri manusia. Sikap welas asih berbeda dengan feeling (perasaan) yang biasanya fluktuatif. Kita bisa menyayangi seseorang detik ini, namun di saat yang lain, kita bisa berbalik membencinya dengan berbagai alasan, bahkan alasan yang irrasional sekalipun.

Namun sikap welas asih adalah sesuatu yang selalu ada, dalam kondisi apapun, kepada siapapun, bahkan termasuk kepada musuh sekalipun. Menurut Amstrong welas asih adalah bagaikan sikap seorang ibu terhadap bayi yang dilahirkannya, akan selalu ada, meski si anak melakukan hal-hal yang melukai hati sang ibu.

Compassion bisa tumbuh ketika manusia berhasil menekan egonya dan lebih mementingkan sesama. Itulah sebabnya, manusia yang punya sikap welas asih, tidak akan bisa hidup tenang. Dia akan selalu risau memikirkan nasib sesama manusia yang tertindas, dimanapun mereka berada.

Dalam sikap welas asih, tidak ada lagi ‘mereka’ atau ‘saya’, yang ada adalah ‘kita’. Terorisme di Afghanistan, Pakistan, atau Suriah tidak lagi urusan ‘mereka’, karena setiap saat akan bisa hadir di tempat ‘saya’. Karenanya, ini semua adalah urusan ‘kita’ dan kita semua harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan problem besar ini.

Di balik segala bentuk kekerasan yang muncul sepanjang sejarah atas nama Islam, justru Islam sesungguhnya adalah agama yang segenap ajarannya bertujuan untuk menumbuhkan sikap compassion dalam diri individu. Amstrong mencontohkan ajaran sholat.

Ketika Nabi Muhammad mengajak umatnya untuk bersujud, meletakkan kening di tanah, di sisi Ka’bah, pada saat itu sebenarnya beliau mengajak umatnya untuk melepas ego dan menyadari bahwa manusia adalah hamba Allah dan semua manusia sama-sama hamba sahaya, sama-sama makhluk lemah di hadapan Allah.

Lalu, ajaran zakat. Ketika zakat diwajibkan dengan besaran tertentu, maka zakat menjadi semacam paksaan kepada manusia untuk melepas ego dan rasa cinta pada harta. Zakat berbeda dengan infaq yang bisa fluktuatif, bergantung feeling manusia.

Amstrong juga merefleksikan kisah Hijrah di masa Rasulullah sebagai sebuah ajaran untuk keluar dari ke-aku-an menuju ke-kita-an. Pada masa itu, tradisi kesukuan sangat kental di jazirah Arab. Mereka rela saling membunuh demi membela kehormatan suku dan garis darah. Lalu Rasulullah mengajak umatnya untuk berhijrah, membaur bersama suku-suku yang lain, dan membangun sebuah masyarakat yang egaliter.

Lalu, siapakah muslim yang tak pernah membaca kisah Perjanjian Hudaibiyah yang dijalin antara Rasulullah dengan kaum musyrik Makkah? Namun, Amstrong telah menjelaskan esensinya dengan sangat indah (dan Amstrong menyatakan bahwa inilah kisah favoritnya).

Rasulullah mengajak umatnya di Madinah untuk berhaji ke Makkah, tanpa membawa senjata. Bagaimana mungkin perjalanan menuju markas musuh dilakukan tanpa membawa senjata untuk membela diri? Tapi itulah yang dilakukan oleh Rasulullah yang memang selalu membawa pesan cinta dalam setiap langkahnya.

Lalu, ketika orang-orang Makkah menghalangi masuknya rombongan haji ke Makkah, dilakukanlah negosiasi dan ditandatanganilah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini sangat luar biasa dari sisi compassion dan menunjukkan betapa Nabi Muhammad adalah sosok yang sangat welas asih dan telah melepaskan egonya secara total. Beliau sendiri yang mencoret kata ‘Rasulullah’ dalam naskah perjanjian itu, karena negosiator dari Makkah menolak adanya kata itu.

Yang ada dalam diri Rasulullah hanyalah cinta. Sama sekali tak ada rasa ego dan ketersinggungan saat gelar yang valid dan disematkan langsung oleh Allah SWT itu harus dicoretnya sendiri (dalam naskah perjanjian itu). Gara-gara perjanjian yang sepintas tak adil itu, Nabi Muhammad dikecam oleh sahabat-sahabatnya sendiri. Namun beliau bersabar. Terbukti dua tahun kemudian, welas asih dan cinta Rasulullah-lah yang terbukti ‘menang’, dengan masuknya kaum muslimin secara bebas ke Makkah.

Welas asih, pada akhirnya akan membawa kemenangan. Dan inilah yang diajarkan para Nabi sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan Al Quran pun mengajarkan sikap welas asih jauh lebih banyak daripada sikap keras. Ayat Al Quran yang mengandung nama jamaliah Allah dalam Al Quran (rahman, rahim, ghafur, lathif, dll) disebut 5x lebih banyak daripada ayat yang mengandung sifat jalaliah-Nya (seperti Maha Pembalas, akbar, qawiy, dll). Ibn Arabi mengatakan bahwa bahkan neraka pun diciptakan Allah di dalam prinsip Jamaliah-Nya. Rahmati wasi’at kulla sya’i, rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, demikian firman-Nya.

Allah sedemikian sayangnya kepada hamba-Nya, sehingga tidak ingin hamba-Nya berbuat dosa dan kezaliman, karena akibat buruknya akan menimpa diri si hamba sendiri dan seluruh umat. Bisa kita lihat contohnya hari ini, kezaliman yang dilakukan teroris di satu wilayah, tidak hanya menimpakan musibah bagi korban yang tewas, tapi efeknya sangat masif, melewati batas-batas wilayah negara.

Demi menjauhkan para hamba terkasih-Nya dari kejahatan, Allah menciptakan neraka. Namun, mereka yang benar-benar jahat dan tidak memiliki rasa cinta dan welas asih, akan memandang neraka sebagai bentuk kekejaman Allah.

Kembali ke persoalan, bagaimana menumbuhkan sikap welas asih di level individu, masyarakat, dan tujuan akhirnya, di level global? Amstrong memberikan ‘golden rule’yang disarikannya dari ajaran berbagai agama: jangan lakukan sesuatu yang kau tak ingin orang melakukannya pada dirimu.

Kau tak ingin menjadi korban fitnah, jangan memfitnah. Kau tak ingin diserang, jangan menyerang. Kau tak ingin dijajah,jangan menjajah. Kau tak ingin dizalimi, jangan menzalimi. Kau tak ingin dibunuh, jangan membunuh.

Ketika kita mendambakan dunia yang damai dan penuh welas asih, kita tak bisa lagi selalu berpikir tentang ‘kita’ dan menafikan bahwa ‘mereka’ pun adalah manusia yang sama dengan kita dan punya hak-hak yang sama dengan kita.