Butuh beberapa waktu untuk berpikir dan menulis ulasan tentang rilis film “Wonder Woman” yang didasari komik superhero. Lapisan pesan film yang begitu mengganggu, dipenuhi pesan politik dan militerisme.

Seperti biasa, selalu ada pihak yang meremehkan ulasan seperti ini dan menyerukan bahwa itu hanya produk sinema semata. Pernyataan ini, entah dari budaya pop atau bahkan bukan dari bagian budaya maupun popularitas, perlahan telah membentuk asumsi dan nilai, membuat kita menjadi anti-kritik.

Argumen saya cukup sederhana, bahwa peran Gal Gadot sebagai superhero pembawa kedamaian, Wonder Woman, adaptasi komik DC, sebenarnya hanyalah alat propaganda yang didesain menyamarkan agresi intervensi militer barat sebagai aksi kemanusiaan.

Singkatnya, film ini adalah propaganda langsung dari komplek industri militer. Tampak dan berbunyi identik sebagai kerjasama antara Pentagon dan Pasukan Pertahanan Israel.

Sikap diam atas film ini berubah sejak membaca investigasi terbaru Tom Secker dan Matthew Alford mengenai bagaimana berbagai sendi Hollywood dipengaruhi militer dan lembaga pertahanan. Laporan investigasi ini didasari 4.000 halaman dokumen yang diperoleh atas nama kebebasan informasi.

Dalam buku mereka berjudul “National Security Cinema”, keduanya berargumen bahwa Pentagon, CIA, Agensi Keamanan Nasional, telah pengaruhi sedikitnya 800 film rumah produksi sinema dan 1.000 judul serial televisi.

Tentu info yang terungkap hanyalah puncak gunung es. Keduanya menyatakan mustahil mengetahui persis seberapa jauh dan tersebarnya pengaruh dan sensor militer atas dunia hiburan, karena begitu banyak dokumen yang masih ditahan.

Buku mereka juga menyingkap detil bagaimana pemerintah Amerika Serikat terlibat dalam penulisan naskah beberapa mahakarya film seperti James Bond, Transformers, dan berbagai film adaptasi komik Marvel dan DC.

Kebutuhan Mainan Militer

Hal ini tampak sepele, namun merupakan kolusi besar antara produsen film dengan militer. Jika terdapat karakter, aksi, dan dialog yang tak disetujui Departemen Pertahanan, maka produsen film harus mengubahnya untuk akomodasi pesan militer.

Sebaliknya jika produser film menolak, maka Pentagon akan membawa pulang dan tak ijinkan peralatannya untuk set film. Kerja sama penuh ini dilakukan melalui kontrak asistensi produksi, hingga militer dapat pengaruhi skrip demi penggunaan perangkat militer untuk set film.

Kenyataannya penulis skrip, produser, dan direktur, sadar bahwa mereka berada pada mega dana film yang maha besar, untuk sukses mereka butuh jempol dari militer. Tak terelakkan Pentagon pengaruhi pilihan subjektifitas, memenuhi pesan politik dan militer dalam film dan garis cerita.

Satu film, “Counter Measures”, gagal setelah militer menolak skrip yang memasukkan skandal kontra Iran. Hal serupa, versi resmi film “Fields of Fire” dan “Top Gun 2” tidak diproduksi karena gagal mendapat dukungan militer akibat kontroversi politik dalam naskah skrip.

Kedua penulis menambahkan, dokumen tersebut merekam operasi alami militer di Hollywood, dan bagaimana pengaruhnya sejak awal produksi, dimana naskah dan jalan cerita mudah dibentuk sejak awal, untuk kebutuhan militer.

Oknum yang Buruk, bukan Institusinya

Produsen film ditekan untuk mengubah skrip yang pengaruhi institusi dan sistem yang berdampak masalah dalam agensi keamanan. Produser seperti Jerry Buckhemeir mengakui naskah skrip “Enemy of the State” diubah dalam tekanan NSA, sehingga mengubah alur bahwa kesalahan individu bukanlah kesalahan lembaga.

Idenya adalah selalu memotretkan kesalahan pada individu agen jahat, sehingga mengelakkan penilaian buruk pada sistem dan institusi, menghindari tanggungjawab bahwa standar operasi CIA dan Departemen Pertahanan yang bermasalah.

Dengan demikian film yang kritis pada kebijakan Amerika Serikat dan politik militerisme barat, akan dibatasi dalam sinema dana besar. Konsekuensinya produsen film besar akan yakin sukses jika dapat dukungan CIA, NSA, dan DoD.

Tentu saja fakta berpengaruh adalah sumber keuangan Hollywood adalah kelompok yang dekat dengan industri militer dan elit keuangan global, yang kaya dari produksi senjata perang. Para penyedia dana ini akan mendukung film yang menyebarkan kebijakan neo liberalisme global dan neo konservatif di dalam negeri.

Kedua penulis juga menegaskan, Amerika Serikat yang menggunakan kekuatan militer yang keras di luar negeri, tentu serius membentuk budaya popular mengenai pola pikir pro perang.

Gal Gadot dan IDF

Kembali pada peran Gal Gadot dalam Wonder Woman yang pernah menjadi anggota IDF Israel, merupakan propaganda yang menguntungkan kebijakan perang dunia barat, dengan alur perdamaian melalui perang barat. Selain itu, Timur Tengah yang sedang bergejolak dan terus perang, menolak Gal Gadot yang merupakan ratu cantik Israel.

Sentimen ini ini dapat dipahami di kawasan tersebut, seperti penolakan Lebanon, karena Israel menduduki sebagian negara tersebut sampai tahun 2000, dan masih terus menduduki Palestina.

Selain itu, terdapat ironi tak terbantah dari peran Gadot sebagai dewi amazon yang menolak militerisme pria, yang tidak mampu melihat penderitaan bocah perang, sementara Gadot sendiri menyetujui bombardir Gaza pada 2014 yang menewaskan 500 anak Palestina.

Namun yang paling utama adalah bahwa film Wonder Woman merupakan kerjasama apik antara Pentagon dan IDF Israel, tak ada sinema superhero yang menjabarkan kerjasama seerat ini selain dalam film Wonder Woman.

Hillary Clinton Sebagai Wonder Woman?

Film tersebut beralur kisah pada akhir perang dunia pertama, perseteruan dua koloni besar Inggris dan Jerman. Pembuat film mengaburkan kenyataan bahwa tak ada yang baik dari perang, membawa konsep perang untuk akhiri perang, namun pada kenyataannya momen itu merupakan pintu perang dunia kedua dengan tumbuhnya Nazi.

Dengan Jerman sebagai penjahat dan Inggris di pihak lemah, sampai Gadot muncul untuk memperbaiki kondisi. Semua anti Jerman dianggap koalisi kemanusiaan, dengan sosok Chris Pine, Scot si pribumi Amerika dan Arab, sebagai simbolisasi moderat negara seperti Mesir, Saudi, dan Jordania.

Dengan penjahat super, jenderal Jerman, Erich Lundendorff, yang yakini dapat menangi perang dengan senjata gas untuk buat Inggris bertekuk lutut. Untuk mendemonstrasikan horor, gas pemusnah massal ia demonstrasikan ke rakyat Belgia.

Alur yang erat dengan konflik kekinian Suriah yang disetir media barat. Kemudian mempromosikan intervensi kemanusiaan ke Suriah, dimana telah sukses di Libya dan Irak. Apakah Lundendorff dimaksudkan sebagai perlambang Bashar al-Assad, yang digambarkan bengis menyapu rakyatnya sendiri dengan gas sarin? Tentu saja tudingan yang dipertanyakan banyak ahli.

Paling mengganggu adalah identifikasi paralel karakter Wonder Woman sebagai tokoh politik, Hillary Clinton. Asumsinya saat pembuatan film, produsen mengira film dirilis pada bulan pertama Hillary duduki gedung putih, yang ternyata keliru. Menjustifikasi Wonder Woman sebagai Hillary Clinton adalah sangat absurd, dengan rekam jejak kebijakan luar negeri Clinton yang berdarah-darah.

Perang Adalah Kedamaian, Ketidakpedulian Adalah Kekuatan

Sumber dari kejahatan manusia dalam Wonder Woman adalah satu-satunya dewa Yunani yang tersisa, Ares, yang bersembunyi di dunia manusia. Wonder Woman percaya untuk akhiri perang dan penderitaan manusia, ia harus menemukan Ares dan membunuhnya, sebelum Ares membunuh dirinya.

Tentunya tak seorang dunia manusia yang percaya Wonder Woman, dan mereka menghentikan idenya. Dalam beberapa waktu Wonder Woman melakukan kesalahan dengan mengira Ludendorff sebagai Ares (Saddam, Gadafi, Assad), pada saat akhir baru ia menyadarinya.

Musuh kemanusiaan bukan Ludendorff, namun Sir Patrick Morgan, yang dalam keseluruhan film menegosiasikan perdamaian dengan Jerman. Kejahatan utama yang ditemukan Wonder Woman adalah serigala berbulu domba, yang mengucapkan persaudaraan, belas kasih, namundi belakang membuat pihak lain berkemampuan untuk membunuh orang tak bersalah.

Militerisme, kekuatan senjata, dan kepercayaan absolut tentang satu tujuan, seperti yang dipelajari Wonder Woman sedari kecil dari Krav Maga (Gadot diajari IDF Israel), adalah cara menyelamatkan umat manusia dari kejahatan.

Tidak ada waktu untuk menunda, mundur, menanyai atau negosiasi. Wonder Woman murka dengan hambatan orang sekitarnya, dia ingin segera di garis depan, menghantam menerjang. Perang adalah damai, kebebasan adalah perbudakan, tidak peduli adalah kekuatan.

Semua ini sangat baik untuk bisnis, film Wonder Women merupakan model Orwellian sesungguhnya. Sebagai alat propaganda, film ini diharapkan pengaruhi level akal bawah sadar, untuk tidak mempertanyakan dan meredupkan rasa kritis atas kejadian aktual.

Mengarahkan dukungan pada aksi pro perang. Sonny Bunch menggaris bawahi tentang kebutuhan intervensi yang kuat demi yang lemah dan tertindas, dan anggap sebagai penjahat para pencari perdamaian. Harus dipahami bagaimana film dibuat agar peperangan lebih dapat diterima.

Sebuah Lapisan Politik Identitas

Tentu, kisah ini – seperti semua propaganda yang efektif – harusnya bekerja dalam alam bawah sadar, dimana ia tak mungkin dipertanyakan dengan alasan-alasan dan pemikiran kritis. Meski demikian, beberapa kritikus – yang merupakan pendukung intervensi liberal yang antusias – sepertinya telah menegaskan pesan film ini.

Mungkin yang tidak pengejutkan, seorang pengulas dengan terang menjelaskan bagaimana film ini bermain dengan sentiman pro-perang dan politik identitas yang diusung banyak liberalis dari Washington Free Beacon yang berhaluan konservatif.

Sonny Bunch memuji bagaimana film itu “mampu menegaskan pentingnya untuk intervensi demi si lemah dan tertindas, dan memperlakukan mereka seperti musuh yang hanya akan membawa kerusakan lebih jauh”.

Namun dia juga memahami bagaimana film ini dibuat sedemikian rupa untuk menjejalkan ide peperangannya agar bisa ditelan oleh kaum liberal. Wonder Woman, tulisnya, membuktikan bahwa “kamu bisa menjejalkan lapisan politik identitas pada kebijakan neokonservatif apapun, dan kaum progresif akan memujanya. […] Intervensi gaya liberal telah lahir kembali!”

Liur Dari Liberal

Tentu saja dipastikan komunitas film liberal ngiler dari film Wonder Woman, meski peran buruk Gadot, dialog yang jelek, dan aksi kamera yang lucu, tetap saja film tersebut mendapat rating 92 persen dari kritikus dari situs web Rotten Tomatoes.

Diantara catatan kritikus itu, adalah:

Dana Stevens dari Slate: Ini adalah film mengenai melawan kejahatan yang berhenti menanyakan apakah itu kejahatan dan apakah perlu untuk pahami latar belakangnya agar dapat mengalahkannya.

Mick LaSalle, dari San Francisco Chronicle: Yang hidup itu adalah perasaan suatu harapan yang dibawakan film, bahwa suatu saat kelak rasional wanita dapat mengalahkan brutalitas pria.

Richard Brody, dari the New Yorker: Wonder Woman adalah pintu aliran kebijaksanaan literatur yang membagikan kemenangan keras wawasan dan paradok renengan panjang dari masa lalu dengan intimasi tulus.

A. O. Scott, dari the New York Times: Tugas sucinya adalah membawa perdamaian pada dunia. Untuk melakukannya membutuhkan begitu banyak pembunuhan, tapi itu memang selalu paradok dari super hero.

Paradok Kekuatan

Wonder Woman paradok dengan kekuatan militer Amerika dan pengertian patriot Israel. Untuk menyelamatkan bocah molek terkadang harus segera untuk intervensi dan membunuh secara kejam, bahkan jika anak dari pihak lain harus dikorbankan.

Dia ingin bergerak bebas, menikmati kemanapun keinginan membawanya. Dia tak bisa digoyahkan dalam perjalanan untuk keadilan, dia ada untuk “membantu” meski dia sendiri yang menentukan. Ia membutuhkan penghormatan, dan bersedia memaksa yang lain untuk mengikutinya melalui penggunaan kekuatannya yang superior.

Wonder Woman akan hadapi banyak hambatan karena yang lain cemburu akan kekuatan dan kebebasannya. Mereka yang lain itulah yang penjahat dan harus dikalahkan.

Bukanlah kejutan peran wanita Wonder Woman serupa dengan peran pria Pentagon dan militer yang mengkampanyekan perang barat.

“Ayo, putar segera Wonder Woman 2, saatnya untuk intervensi.”

Jonathan Cook
http://mondoweiss.net/2017/07/military-industrial-complex/