Beberapa tahun belakangan, sanksi sepihak yang diterapkan oleh Washington kepada banyak negara telah menjadi tren geopolitik. Amerika Serikat, sepertinya, mulai terbiasa dengan ketidakmampuan internasional untuk memberi respon memadai, yang membuat Washington semakin memilih untuk memaksakan kepentingan kebijakan luar negerinya melalui alat tekan ini, meski mengorbankan negara lain.

Sebagai penguat kenyataan ini, kita bisa mengingat peran dari sanksi ekonomi AS kepada Jepang pada 1932 di bawah Herbert Hoover, yang akhirnya menciptakan pre-kondisi perang di Timur Jauh. Kita juga bisa mengingat sanksi AS terhadap Kuba pada 1958, yang digunakan Washington untuk menyabotase pemerintah Kuba, sebagai ‘contoh’ bagi semua negara amerika latin yang ingin mandiri.

Amerika Serikat juga pernah mencoba ‘menghukum’ China melalui sanksi akibat peristiwa kontroversial di Tiananmen Square pada 1989. Sanksi-sanksi tersebut, menurut para pemikir strategis Washington, dianggap akan menghambat perkembangan ekonomi China.

Bahkan sanksi yang diterbitkan Dewan Keamanan PBB terhadap Iran pada 2011 tak cukup bagi Gedung Putih, hingga AS harus memaksa larangan tambahan agar Iran tak bisa mengakses jaringan finansial SWIFT, melarang investasi termasuk penyediaan peralatan yang bisa membantu Iran mengembangkan infrastruktur gas dan minyaknya. AS tak hanya menggunakan sanksi-sanksi itu untuk melemahkan bangsa Iran, namun juga memaksakan agenda kepentingannya di Timur Tengah.

Rusia, sebagai ‘musuh utama politik’ bagi Washington,  telah berulangkali diancam dengan sanksi, sebagaimana Gedung Putih mulai memperkenalkan kembali amandemen Jackson-Vanik, the Magnitsky Act dan pembatasan dagang anti-Rusia yang baru. Ini baru sebagian saja.

Dalam usahanya untuk mempertahankan posisi sebagai ‘polisi internasional’ Washington tak hanya berusaha untuk menakuti individual internasional dengan kekuatan senjata dan jaringan mata-mata. Dengan memiliki ekonomi terbesar di dunia, AS menggunakan berbagai macam cara untuk memaksa negara-negara agar menyetujui sanksi-sanksinya yang sepihak.

Meski demikian, korban tipu-daya Gedung Putih bukan hanya negara dengan ekonomi dan angkatan perang yang lemah. Uni Eropa (UE), yang sudah menunjukkan memiliki kemampuan untuk melakukan kebijakan mandiri dari pengaruh AS, kelihatan susah-payah untuk mewujudkannya karena kadung eratnya jeratan Washington.

Itu juga sebabnya UE dengan cepat akan turut berkubang dalam permainan sanksi ala Amerika, meski sebagian dari permainan ini malah akan merugikan diri mereka sendiri. Ada alasan kuat mengapa AS menekan sekutunya dengan sangat keras, karena sanksi merupakan senjata pecundang bagi mereka yang tak bisa meraih dukungan dari yang lain.

Hal ini dikonfirmasi oleh Richard Morningstar, kepala Global Energy Center di Atlantic Council, yang menulis:

Kita harus mengakui bahwa sanksi sepihak secara umum tidak berhasil. Sangat perlu untuk mendapatkan dukungan dari sekutu. Sanksi energi tahun 2014 terhadap Rusia berjalan sukses, karena AS berhasil meyakinkan Uni Eropa untuk mendukung. Langkah selanjutnya saat ini adalah memperluas sanksi tersebut, namun hanya Amerika Serikat yang akan menerapkannya.

Memang, sanksi terbaru AS terhadap Rusia memancing kemarahan dari negara Uni Eropa yang menyadari bahwa Washington sedang memaksakan diri agar bisa menguasai pasar energi Eropa. Tak mengherankan jika Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, mencatat bahwa Brussels akan mengambil langkah protektif jika AS, melalui preteks sanksi anti-Rusia, akan memaksakan kebijakan ‘America First’ dengan mengorbankan penduduk Eropa.

Kebijakan sanksi sepihak adalah instrumen tekanan ekonomi langsung, itu sebabnya AS selama ini telah mencoba untuk meningkatkan larangan dan pembatasan terhadap pemain ekonomi internasional dengan tujuan mengambil alih bagian besar dari pasar.

Sebagai contoh, pejabat AS baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan sanksi terhadap Venezuela karena negeri itu akan menyelenggarakan pemilihan Majelis Konstitusional Venezuela.

Di saat yang sama, Teheran baru-baru ini juga menuduh Washington telah melanggar kesepakatan nuklir dengan Iran yang ditandatangani Juli 2015 di Wina, dan telah melaporkannya ke Dewan Keamanan PBB.

Penasehat senior presiden Turmp juga sedang mencoba untuk merumuskan sanksi ekonomi terhadap China di ‘balik layar’ dengan tabir situasi menyangkut Korea Utara, seperti dilansir Politico dengan mengutip dua pejabat administrasi AS.

Jumlah mereka yang tidak puas dengan kebijakan jahat Amerika Serikat ke seluruh dunia semakin meningkat hari demi hari. Selain Eropa, ada Rusia, China dan beberapa negara Timur Tengah. Ketidakpuasan ini mulai ditunjukkan dalam pidato-pidato yang disuarakan para politisi dan media.

Akan menjadi hal yang tak mengherankan, jika jumlah mereka yang menginginkan penerapan sanksi terhadap Amerika Serikat sendiri juga akan meningkat. Kita membicarakan mengenai sanksi politik dan ekonomi atas pembunuhan dan kematian ribuan penduduk sipil di Syria, Iraq, Afghanistan, Yaman dan banyak negara lainnya yang tak pernah diproses hukum, meski merupakan akibat langsung intervensi militer terang-terangan Amerika Serikat.

Komunitas internasional mulai muak dengan gairah ‘polisi internasional’ yang digunakan untuk memperbudak dunia dan memaksakan aturannya terhadap tiap negara, yang tentu saja, bertentangan dengan hukum internasional.

Washington tak hanya menghadapi resiko penerapan sanksi dari dunia internasional, namun juga akan segera menghadapi pengadilan internasional, akibat dari ulahnya membantai ribuan manusia di penjuru bumi.

Martin Berger
https://journal-neo.org/2017/08/03/is-it-about-time-to-introduce-international-sanctions-against-us/