Setelah pemberitaan media beralih fokus ke topik-topik lain dan ledakan empati, emosi sudah sedikit memudar; saya ingin memberikan sedikit perspektif atas pengungsian “Rohingya” yang kemarin marak diberitakan.

Tentu tidak perlu diperdebatkan lagi apakah kita sebagai negara harus menampung para pengungsi; langkah penanganan pengungsi pun sudah disepakati berbagai pihak, termasuk pemerintah Myanmar, Bangladesh, negara-negara ASEAN penampung pengungsi dan UNHCR.

Saya tinggal di Yangon sudah hampir dua tahun. Tulisan ini saya sadur dari berbagai sumber dari lembaga internasional [1], opini dari tokoh yang kompeten [2], opini dari masyarakat [*] di sekitar tempat saya bekerja dan pengalaman pribadi.

Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state) yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan.

Penting untuk sedikit memahami apa yang terjadi sebelumnya di wilayah Rakhine, baik di utara (dekat dengan Bangladesh) dan selatan (dekat dengan Burma/Myanmar). Bengal sejak 1947 berada dalam wilayah Pakistan, namun masyarakat Bengal merasa didiskriminasi oleh Pakistan, salah satunya karena bahasa; karena meskipun mereka adalah mayoritas di wilayah tersebut, bahasa resmi yang digunakan pemerintah adalah bahasa Urdu dan bukan Bengali.

Banyak gerakan separatis masyarakat Bengal dan akhirnya pada tahun 1971 Bengal merdeka dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh. Dalam proses menuju kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari perang. Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh karena tidak diakui sebagai warga Myanmar.

Di selatan, bagian Burma, saat terjadi pembasmian gerakan separatis Muslim di Rakhine di tahun 1950; banyak juga penduduk yang berusaha lari dan bermigrasi ke Bengal (Pakistan). Nasib mereka sama, sesampainya di Bengal, mereka ditampung sementara dan akhirnya dikembalikan ke Myanmar. Tentu ada sebagian yang lolos sebagai imigran ilegal di kedua negara dan akhirnya bisa hidup turun temurun di negara baru mereka.

Dalam keadaan damaipun, pergerakan penduduk (legal atau ilegal) di wilayah perbatasan ini sudah sangat cair sejak dulu. Dalam keadaan genting (perang), tentu pergerakan penduduk ini lebih sering dan dalam jumlah besar. Ini harus kita pahami (sebagai spektator yang berimbang). Dimana ada masalah imigrasi di perbatasan, maka yang paling bertanggungjawab dan harus duduk bersama adalah kedua negara yang dibelah oleh perbatasan tersebut, dalam hal ini Bangladesh dan Myanmar.

Kedua negara ini harus menemukan kesepakatan penanganan pengungsi yang ada saat ini dan meletakkan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran imigrasi. Negara-negara lain yang terkena imbasnya, harus melibatkan kedua negara ini dalam mencari solusi.

Pada bulan Mei 2015 yang lalu, Indonesia kedatangan kapal-kapal pengungsi yang mengklaim datang dari Myanmar. Mereka menyebutkan identitas mereka sebagai “Muslim Rohingya”. Secepat bola salju, media dan pengguna media sosial mengerubuti topik ini dari berbagai sudut. Dari segi hak asasi manusia sampai ke konflik Buddha-Muslim yang ada di Myanmar.

Saya coba mengupas sedikit dalam bentuk tanya-jawab. Tentu tidak bisa mengupas secara tuntas dalam artikel pendek ini, tapi semoga bisa memicu rasa keingintahuan pembaca untuk menilik lebih dalam; tidak sekedar untuk menang debat atau men-judge, tapi lebih pada kepuasan diri atas pemahaman yang baik dan berimbang.

Dari mana munculnya istilah “Rohingya”? Apa artinya?

Banyak yang sering menggabungkan “Rohingya” (baca: Ro-hin-jya) dengan “Muslim”. Muslim Rohingya, begitu sering diberitakan – dimana Rohingya diidentikkan dengan orang beragama Islam. Ada juga beberapa media yang menyebutnya “Etnis Rohingya”, dimana Rohingya diidentikkan dengan sebuah suku. Lalu yang mana yang paling tepat? Kata Rohingya berasal dari Bahasa Bangladesh (Bengali), kata “Rohang” yang merupakan sebutan lain untuk “Arakan” (kerajaan Arakan).

Istilah ini pertama kali didokumentasikan oleh Dr. Francis Buchanan, seorang botanis, geografer, ahli bahasa dan peneliti budaya dan sejarah Bengal. Pada tahun 1795, dia mengunjungi kerajaan Amarapura setelah jatuhnya kerajaan Arakan. Di sana dia bertemu penduduk setempat dan saat ditanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari Rohang. Rohingya (orang yang berasal dari Rohang), adalah istilah yang muncul atas latar belakang geografis, bukan suku atau agama. Mereka adalah orang-orang Bengal yang tinggal di wilayah kerajaan Arakan. [1]

Yang menarik, istilah Rohingya ini hanya ada di Rakhine bagian Myanmar. Saat dilakukan penelitian pada orang dari Rakhine bagian Bangladesh, disana tidak dikenal istilah Rohingya.

Apa yang diinginkan Rohingya?

Kerajaan Inggris menguasai daerah Rakhine mulai tahun 1826, setelah perang Anglo-Burmese. Salah satu hal pertama yang dilakukan oleh pemerintah bentukan Inggris yaitu melakukan sensus penduduk untuk mendata jumlah penduduk, suku-suku dan agama yang ada di Burma.

Dari beberapa sensus yang dilakukan, tidak ada yang mengidentifikasi diri mereka sebagai suku/ etnis Rohingya. [1] [2]. Orang etnis India (berkulit hitam) di Burma pada masa itu dijuluki Hindus (bila mereka beragama Hindu) dan Mohamedans (kalau mereka Muslim). Mereka yang berasal dari Bengal, disebut Chittagonians atau Bengalis.

Istilah Rohingya mulai muncul setelah berakhirnya Perang Dunia II saat Burma menjadi negara merdeka pada 1948. Bengalis yang tinggal di wilayah Butheetaung dan Maungdaw di Rakhine Utara, mulai mempopulerkan istilah Rohingya. Istilah ini akhirnya naik cetak di sebuah artikel “The Sudeteen Muslims” pada 20 Agusutus 1951 di harian Guardian Daily (tapi terus terang saya sudah mencoba mencari-cari naskah aslinya di Internet, belum ketemu). Artikel ini ditulis oleh Mr. Abdul Gaffer, anggota Partai Mujaheed.

Sejak itu istilah Rohingya semakin populer dan digunakan sebagai identitas untuk memperjuangkan hak-hak rakyat muslim di parlemen atau pemerintahan. Kelompok ini ingin memperkuat identitas mereka dan ingin menjadikan wilayah Rakhine sebagai wilayah Islam (layaknya Daerah Istimewa Aceh, di Indonesia).

Namun sebenarnya, pada mulanya mereka ingin Rakhine Utara ini dianeksasi oleh Bangladesh yang adalah negara Islam. Sayangnya pemerintah Bangladesh tidak mau melakukan aneksasi dan opsi berikutnya bagi pejuang Rohingya adalah mendirikan sebuah Daerah Istimewa. Keinginan ini juga tidak dipenuhi oleh pemerintah Burma dan pada akhirnya kelompok pejuang ini berubah menjadi organisasi pemberontak bersenjata (The Mujaheeds).

Mereka menyerukan perlawanan terhadap pemerintah Burma. Gerakan pemberontakan ini berlangsung cukup lama dan akhirnya berhasil ditumpas pada tahun 1961 saat pemimpin pemberontakan menyerahkan diri kepada militer Burma. [1]

Pada tahun 1978 pemerintah Burma melakukan operasi imigran ilegal yang dikenal dengan King Dragon Operation. Tujuannya untuk “membasmi” anggota dan simpatisan gerakan Mujaheedin atau gerakan pemberontakan lainnya. Banyak rakyat muslim yang dipenjara dan dibunuh dalam operasi ini. Banyak juga yang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh untuk mencari perlindungan.

Sebagian dari mereka ditampung sebagai pengungsi, namun sebagian lagi bergabung dengan berbagai gerakan pemberontakan lainnya. Dengan larinya penduduk muslim ke perbatasan, ini menjadi ladang yang subur untuk melakukan rekrutmen. Ada yang bergabung dengan motivasi balas dendam, untuk mencari perlindungan dan juga untuk berjihad.

Sampai sekarang, gerakan-gerakan separatis ini masih ada.

Namun demikian, tentu penduduk Rohingya yang kita lihat sehari-hari di televisi atau kita baca di berita bukanlah prajurit-prajurit pemberontak. Mereka adalah korban konflik yang berkepanjangan, yang hanya mencari tempat berteduh dan hidup layak. Masalahnya, kedua negara di perbatasan tidak mau mengakui mereka sebagai warganya, karena sejarah yang panjang dan penuh konflik. Saat ini yang mereka inginkan hanya satu, kewarganegaraan berikut dengan hak-hak yang terkandung di dalamnya (kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan hak memilih). [1]

Stigmatisasi istilah “Rohingya” ini yang mempersulit mereka [2]. Pemerintah Myanmar saat ini tidak mengakui Rohingya sebagai suku/etnis asli Myanmar dan mereka dikategorikan sebagai “Bengali”. Andaikan saja konflik ini semudah mengubah nama mereka, sayangnya tidak semudah itu. Istilah “Bengali” ini menyakitkan bagi penduduk Rohingya, mereka tersinggung bila disebut sebagai Bengali.

Namun demikian, yang tidak banyak dipahami adalah, istilah “Rohingya” sama menyakitkannya bagi warga Myanmar, khususnya yang tinggal di daerah Rakhine. Istilah ini dikonotasikan dengan pemberontakan yang sudah menelan banyak korban dan merupakan penghinaan bagi suku setempat karena suku Rohingya menurut mereka tidak pernah ada dalam sejarah Myanmar.[*]

Saat ini sudah ada beberapa tokoh Bengali di parlemen Myanmar yang lantang menyerukan hak-hak bagi “migran Bengali” – nama yang mungkin tidak ideal bagi mereka, tapi setidaknya merupakan awal yang baik untuk bisa duduk bersama dan merumuskan jalan ke depan dalam memperjuangkan hak-hak kewarganegaraan [2].