Setelah penembakan jet Rusia di Syria, hubungan Rusia dan Turki menjadi ‘dingin’. Ekonomi Turki menderita hebat akibat reaksi Rusia yang menetapkan embargo ekonomi, karena jutaan pelancong Rusia memilih untuk menjauhi negara tersebut sebagai tujuan wisata. Penghentian perdagangan diantara keduanya juga membuat ekonomi Turki semakin terpojok.

Ketika jet Rusia tersebut ditembak – dengan atau tanpa persetujuan Turki – Erdogan yang takut akan balasan Rusia, mencoba menarik NATO dalam perseteruan ini. Namun selain pernyataan basa-basi dari AS, “Setiap negara berhak mempertahankan perbatasan dan wilayah udaranya”, tidak ada dukungan nyata NATO terhadap Turki. Untungnya, reaksi Moskow tidak berlebihan, namun Rusia menerapkan ‘hukuman’ secara metodik yang perlahan mempengaruhi ekonomi Turki dan popularitas Erdogan, paling tidak dengan sektor bisnis di negaranya.

Tanggapan dingin yang didapat Erdogan dari sekutunya tak luput dari perhatian Kremlin, yang mencoba memanfaatkannya dengan menurunkan tempo permusuhan dengan Ankara sembari membuka pintu untuk rekonsiliasi. Yang Turki butuhkan hanyalah permohonan maaf dari Erdogan yang memuaskan publik Rusia.

Awalnya Erdogan menolak mentah-mentah, namun setelah serangkaian pembicaraan antara pejabat Rusia dan Turki, kita menyaksikan perubahan drastis dan tiba-tiba, yang menimbulkan spekulasi bahwa Rusia memberi tawaran yang bernilai lebih dari sekedar perbaikan ekonomi. Sesuatu yang sangat bernilai bagi Erdogan, yaitu keberlangsungan dan keselamatan dirinya dalam jabatannya. Permohonan maaf yang disampaikan Erdogan pada Moskow sangat dimurkai oleh beberapa elemen Turki, yang bahkan sampai meminta dirinya untuk menarik permohonan maaf itu.

Segera setelah Erdogan mengumumkan permohonan maaf secara publik dan memutus dukungan (sementara) pada teroris di Syria, Putin memerintahkan agar pelarangan melancong di Turki segera dicabut, hal yang menyelamatkan muka Erdogan dari langkah yang memalukan ini.

Yang kemudian mengantar kita pada usaha kudeta yang gagal. Setelah hubungan Turki dan Rusia semakin membaik, usaha kudeta menjadi tinggal menunggu waktu. Banyak analis yang memperkirakan demikian jauh hari tentang kudeta tersebut, yang bukan akan dimotori oleh elemen Turki yang kecewa, namun pihak yang membawa kepentingan dari luar Turki.

Seminggu sebelum kudeta, rezim Turki memulai penangkapan pejabat tinggi militer yang ditahan atas tuduhan pengkhianatan. Mengapa hal ini tidak dilakukan Erdogan jauh hari sebelumnya? Kemungkinan besar intel Erdogan memang tidak mengetahui nama-nama pejabat yang hendak melakukan makar. Namun yang menjadi pertanyaan, siapa yang memberi Erdogan daftar tangkap tersebut?

Media-media Iran memberitakan bahwa bocoran tersebut diberikan oleh intelijen Rusia. Klaim yang sulit untuk dipandang sebelah mata.

Lalu bagaimana posisi Turki kini?

Turki masih merupakan sekutu NATO yang berharga. Ia merupakan penjaga gerbang selat Bosporus yang mengontrol Laut Hitam dan akses angkatan Laut Rusia ke Mediterania. AS sepenuhnya menyadari ini dan tentu tak akan menyerahkan posisi kartu as ini begitu saja. Di saat yang sama, Erdogan sama sekali kehilangan kepercayaan pada AS; yang ditengarai menjadi otak kudeta. Erdogan berada dalam mode ‘survival’ saat ini dan setelah menelaah situasinya, mungkin ia telah memutuskan bahwa kesempatan terbaiknya untuk tetap bertahan hanyalah dengan mendekat pada Moskow.

Bagi AS dan NATO, ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan:

  • Melangsungkan kudeta kedua. Kemungkinan suksesnya sangat kecil.
  • Mencoba menghilangkan nyawa Erdogan. Sangat beresiko karena berpotensi pada perang sipil, namun pilihan ini tak bisa diremehkan.
  • Membujuk Erdogan. Langkah mengulur waktu, sembari mengganggu proses rekonsiliasi Turki – Rusia, hingga waktunya tepat untuk kembali melengserkan Erdogan.

Sang Sultan mungkin telah menyadari bahwa bagaimanapun caranya, sekutu lamanya menginginkan dirinya untuk turun tahta. Saat ini bagi Erdogan, Rusia adalah penyelamat dari kejahatan sekutunya sendiri.

George Ades