Kenapa pemerintah Myanmar tidak memberikan kewarganegaraan?

Karena dalam Undang-undang kewarganegaraan yang berlaku tidak bisa diberikan begitu saja. Kedaulatan hukum ini yang membuat negara-negara lain harus menghormati keputusan pemerintah Myanmar. UU Kewarganegaraan yang berlaku menerapkan syarat-syarat yang sangat ketat bagi migran yang ingin mendapatkan kewarganegaraan, termasuk di dalamnya membuktikan bahwa generasi N+3 (pasangan kakek buyut) adalah dari keturunan suku asli Myanmar.

Saat UU ini diberlakukan pada 1982, cukup jelas bahwa pemerintah saat itu ingin sekali menerapkan persyaratan yang ketat bagi warganya, termasuk untuk “menyingkirkan” migran ilegal yang saat itu tinggal di Myanmar. UU yang sebelumnya diberlakukan pada 1947 jauh lebih ringan dalam memberikan kewarganegaraan. [1][2]

Selama UU Kewarganegaraan 1982 ini masih berlaku, maka penduduk Rohingya yang saat ini tinggal di kampung pengungsi dan tidak memiliki dokumen legal untuk membuktikan garis keturunan mereka, sedikit sekali harapan mereka akan diberikan kewarganegaraan.

Diskriminasi terhadap Muslim Myanmar?

Menurut saya tidak sepenuhnya. Meskipun Rohingya adalah penduduk beragama Islam, diskriminasi yang terjadi atas mereka bukan semata-mata karena agama. Untuk menuduh lebih jauh bahwa pemerintah Myanmar mendiskriminasikan Muslim juga berlebihan.

Setiap Idul Adha dan Idul Fitri, pemerintah menetapkan hari libur untuk kedua hari tersebut. Ini adalah pengakuan dan penghormatan atas hari besar agama Islam. Di Yangon juga tidak sulit untuk mencari masjid dan warung makan halal, semua berdiri dan ramai pada jam-jamnya.

Namun demikian, di wilayah Rakhine ada daerah tertentu dimana gesekan lebih sering terjadi. Tapi menurut saya, ini bukan karena penduduk Buddha membenci Islam atau sebaliknya; namun lebih karena secara historis mereka sudah dipatri sedemikian rupa.

Dari diskusi dengan teman di sini, sejujurnya baik penduduk Buddha dan Muslim, mereka sama takutnya jika harus ikut tawuran atau kegiatan lain yang berbau kekerasan.

Banyak media yang melakukan ekspose besar-besaran terhadap Bhikku Ashin Wirathu (U Wirathu), yang memang di Myanmar sendiri dikenal sebagai Bhikku yang kontroversial. Dia menyebarkan ketakutan atas Islam yang menurutnya berusaha mendominasi dunia. Dia dengan bangga mengidentikkan dirinya dan pengikutnya dengan English Defence League, yang merupakan organisasi ekstrim kanan di Inggris yang melawan penyebaran Islam dan hukum Shariah di sana.

Yang perlu dipahami di sini adalah, tidak semua umat Buddha Myanmar seperti U Wirathu. Sebagian besar dari mereka adalah moderat dan tidak menyukai kekerasan. U Wirathu memiliki kurang lebih 2.500 pengikut. Kalau ini ditakutkan sebagai gerakan, maka sungguh ini masih belum sebanding dengan, misalnya gerakan protes terhadap pemerintah militer Myanmar di tahun 2007 yang juga dimotori oleh Bhikku yang melibatkan 100.000 orang, yang kita kenal dengan Saffron Revolution yang berujung pada jatuhnya kuasa militer Myanmar.

Pandangan dan sikap U Wirathu ini mulai dikenal sejak tahun 2012 saat terjadi kericuhan antara penduduk Buddha dan Muslim, dipicu oleh pemerkosaan dan dibalas pengeroyokan yang berakhir pembunuhan. U Wirathu pada saat itu banyak memberikan pernyataan ke publik yang menyudutkan Muslim dan sayangnya karena terus menerus dipublikasikan, dia menjadi semakin terkenal. Sebagian besar penduduk Myanmar tidak setuju dengan sikapnya tapi karena dia adalah Bhikku dan mengingat sensitivitas isu Rohingya, maka tidak ada juga yang vokal menentangnya.

Masalah penduduk Rohingya masih jauh dari selesai, selama tidak ada itikad baik dari pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk menyelesaikannya. UU Kewarganegaraan di Myanmar harus diubah untuk mengakomodasi penduduk yang sudah lama tinggal di sini tanpa hak-hak dasar yang memadai. Negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga PBB harus terus melakukan upaya-upaya diplomatik untuk menekan kedua pemerintah negara ini untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan ini.

–Sumber
[1]
Executive Summary of the Special Commission’s Report issued on 22 April 2013
The Mujahid rebellion in Arakan: Professor R B Pearn Foreign Office 1952
Population of Arakan Townships classified by Race in the 1931 Census
Extract on Arakan from the 1872 Census
Text of Burma Citizenship Law dated 15 October 1982
Text of the Burma Immigration (Emergency Provisions) Act 1947

[2]
Burma’s Western Border 1947-1975 – Dr Aye Chan, Kanda Journal Vol.2, 2011
The origin of the name “Rohingya” – Khin Maung Saw Humboldt University – 1993
Burma: The Rohingya Muslims – Human Rights Watch 1996
Rohingya – The name, the movement, the quest for identity – January 2014
Burma’s treatment of the Rohingya and international law – BCUK 2013

Arief Prasetyo
http://the-prasetyos.net/blog/rohingya-siapa-mereka/