Amerika Serikat merasa berhak untuk menentukan bangsa mana yang berhak untuk hidup.

Washington memalingkan wajah dari suku Hutu, yang merupakan mayoritas di Burundi dan Rwanda, dan memusuhi Houthi, yang memiliki populasi signifikan di Yaman.

Dalam kasus Hutu, AS memutuskan nyawa suku Tutsi lebih berharga, sebagaimana suku Houthi yang menjadi target pembunuhan rezim Saudi.

Jika kekerasan pecah antara Hutu dan Tutsi di Burundi, AS akan menjadi pihak yang paling bertanggung-jawab.

Akhir Agustus lalu, AS membantu Saudi untuk mengebom rumah sakit dan sekolah di Yaman, membunuh 25 warga sipil dimana 10 diantaranya anak-anak.

Meski demikian, jangan bayangkan bahwa niat keterlibatan AS lebih manusiawi di Burundi. Meski AS tidak menjual pesawat tempur, bom dengan pembidik laser MK-84 atau bom pembidik satelit GBU-31 kepada rezim Paul Kagame, dukungan AS terhadap presiden seumur hidup Rwanda itu untuk menggulingkan pemerintahan Pierre Nkurunziza di Burundi hampir seupa dengan niatan sheikh Saudi untuk menghapus eksistensi Houthi di Yaman.

Memang tak ada penjualan senjata bernilai jutaan dolar yang menjadi motivasi AS mendukung kudeta di Burundi. Namun akses ke sumber mineral strategis yang diperlukan dalam membuat senjata-senjata itu menjadi taruhannya.

Burundi dikenal memiliki cadangan melimpah atas nikel, perunggu, uranium, tungsten, tin, gambut, platinum, kapur, vanadium, tantalium, niobium, kaolin dan kobal.

http-amayagwa-com-burundi-mining

Meski belum menjadi pengekspor global, namun pemerintah Burundi memiliki kontrak dengan perusahaan Rusia untuk menambang nikel, dan kebetulan, Bloomberg sudah memperkirakan kenaikan harga nikel dalam waktu dekat.

Nikel biasa digunakan untuk membuat stainless steel, dan alloy nikel digunakan pada produk elektronik, rekayasa khusus, pesawat ulang-alik, kapal selam dan pipa dan proses desalinasi air laut menjadi air tawar.

Kabarnya, Rusia menghargai nikel Burundi jauh lebih tinggi dari perusahaan Barat, dan menawarkan kesepakatan yang lebih fair.

Di samping itu, Burundi juga berbagi perbatasan dengan Republik Demokrat Kongo yang kaya namun penuh skandal, dan Tanzania, sebuah negara Afrika timur dengan pelabuhan Samudera Hindia yang juga lebih condong ke blok Timur.

Jika AS dan Rwanda sukses menjatuhkan pemerintahan Nkurunziza, maka retorika mengenai kewajiban ‘dunia’ untuk turun tangan akan segera bergulir, tanpa mengindahkan kedaulatan dan keinginan rakyat Burundi sendiri.

Preteks yang sama juga telah digunakan untuk membenarkan intervensi di Yugoslavia, Libya, Syria dan Iraq, dimana kerusakan genetik akibat senjata milik AS merupakan usaha genosida paling terang-terangan dalam sejarah manusia.

‘Mencegah Rwanda berikutnya’ akan menjadi arguman yang paling mudah digunakan di Burundi karena penduduk Rwanda dan Burundi pada dasarnya adalah sama. Keduanya berbagi perbatasan, dengan mayoritas suku Hutu dan suku Tutsi sebagai minoritas. Bahkan dalam bahasa, hanya sedikit perbedaan diantara keduanya.

Akhir-akhir ini, peringatan mulai dikeluarkan oleh PBB dan Voice of America – UN: Violence, Hatred Against Burundi Tutsis Could Presage Genocide – sebagai salah satu argumen yang rajin dipublikasikan di media Barat sejak presiden Pierre Nkurunziza kembali terpilih Juli tahun lalu.

Secara historis, polarisasi Hutu dan Tutsi di Burundi sudah berlangsung lama, dengan banyak kejadian pembantaian demi kekuasaan. Dengan narasi yang dibawa AS, seolah seperti menembakkan senjata di gedung yang penuh orang.

Jika kekerasan pecah di Burundi antara Hutu dan Tutsi, AS akan menjadi pihak yang bertanggung-jawab, sebagaimana yang terjadi di perang Rwanda antara 1990-1994, yang berakhir dengan pembantaian mengerikan.