Ada beberapa konteks yang tak akan Anda temukan dalam propaganda Barat mengenai Burundi:
- Sebagian pengamat, seperti ulama Rwanda, Léopold Munyakazi, meyakini bahwa Hutu dan Tutsi sebaiknya dipahami sebagai kelas sosial, bukan suku. Ia juga menyatakan bahwa perang Rwanda merupakan perang antar kelas, dan maka itu tidak bisa disebut dengan genosida.Menurutnya, Hutu dan Tutsi menggunakan bahasa dan budaya yang sama, makan makanan yang sama, saling mengawini satu sama lain, dan mayoritas pemeluk Kristiani. Tutsi merupakan kelas pra-kolonial, sementara Hutu merupakan kelas petani, hingga akhirnya mereka bangkir pada 1959.Pada 1961 Rwanda berubah dari koloni Belgia menjadi monarki Tutsi, yang kemudian berganti menjadi negara independed yang dipimpin oleh politisi Hutu yang dipilih melalui pemilu.
- Pada 1990, Paul Kagame yang didukung AS memimpin tentara pengungsi yang menyerang Rwanda dari Uganda. Ia merebut kekuasaan, dan kembali menerapkan kediktatoran Tutsi dan menjadikan AS sebagai kekuatan dominan di Rwanda, menggantikan Perancis. AS, Eropa dan Israel lebih suka kepada Tutsi dan menggambarkan mereka sebagai minoritas yang tertindas, tanpa mempedulikan penderitaan suku Hutu dalam kekuasaan Tutsi, atau fakta bahwa kedua suku tersebut menjadi korban dalam pembantaian di Rwanda. Di Rwanda dan Burundi, AS dan sekutunya telah menunjuk Tutsi sebagai ‘korban’.
- Pada 21 Oktober 1993, kekerasan dan pembantaian terjadi di Burundi setelah petinggi militer Burundi bersuku Tutsi membunuh presiden Burundi dari Hutu yang pertama, Melchior Ndadaye. Ratusan ribu warga Burundi, terutama dari suku Hutu, menjadi korban, karena militer masih dikuasai Tutsi.Perang sipil kemudian pecah dan baru berakhir pada 2005. Presiden Nkurunziza sendiri berasal dari suku Hutu, namun pada masa pemerintahannya, Hutu dan Tutsi lebih menyatu dalam pemerintahan dan militer, dengan presentasi Tutsi lebih besar karena dinilai sebagai minoritas.
- Pada 6 April 1994, kekerasan yang terjadi selama 100 hari atau yang dikenal sebagai ‘Rwandan Genocide’ pecah setelah Juvenal Habyarimana dan Cyprien Ntaryamira dibunuh. Keduanya merupakan presiden Rwanda dan Burundi, dan berasal dari suku Hutu.Pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh saat melewati ibukota Rwanda, Kigali, saat kembali dari Dar es-Salaam, Tanzania. Peristiwa pembunuhan ini tak pernah diselidiki oleh Pengadilan Kriminal Internasional, yang lebih condong menghukum suku Hutu.Susan Thomson, peneliti sejarah dan politik Rwanda dan juga kini persona non grata di Rwanda, mengatakan dalam sebuah wawancara, “Pembantaian memang terjadi, di kedua belah pihak, juga disinformasi. Di level elit, hingga ke rantai makanan paling bawah, orang-orang merasa ketakutan. Tak pedulu tenis, agama, wilayah atau pihak yang dibela, penduduk Rwanda terjebak dalam kekerasan. Jadi mengatakan bahwa hanya suku Tutsi yang menjadi korban adalah hal yang absurd.”
Lalu, sembari mengulang poin kedua mengenai pembunuhan tiga presiden: Pada 3 Oktober 1993, pembantaian dan perang sipil pecah di Burundi setelah pembunuhan presiden dari suku Hutu yang pertama, Melchior Ndadaye. Pada 6 April 1994, peristiwa pembantaian seratus hari yang terkenal di Rwanda pecah setelah dua presiden dari suku Hutu kembali dibunuh, yaitu presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana dan presiden Burundi, Cyprien Ntaryamira.
Jika AS memang mencoba untuk menghentikan genosida di Burundi, bukankah seharusnya mereka mencegah pembunuhan presiden Burundi dari suku Hutu, Pierre Nkurunziza? Warga Rwanda dan Burundi yang memahami sejarah tentu paham bahwa pembunuhan Nkurunziza akan menjadi bencana.
Mereka juga paham bahwa pemberontak yang didukung AS ingin membunuhnya sejak dulu, tak peduli AS setuju atau tidak. Dalam beberapa bulan setelah pemilihan kembali Nkurunziza pada JUli 2015, pembunuhan komandan angkatan bersenjata dan pejabat pemerintah yang dekat dengan Nkurunziza mulai sering terjadi.
Seperti suku Houthi di Yaman, suku Hutu juga dianggap tak berharga sebagai korban bagi AS, meski mereka telah menjadi kelas yang ditindas di daerah yang kini memnjadi Rwanda dan Burundi selama berabad-abad. Ratusan ribu, atau bahkan jutaan dari mereka telah dibantai dalam kekerasan mengerikan selama 50 tahun terakhir di Rwanda, Burundi dan Republik Demokratik Kongo.
Ann Garrison
http://www.globalresearch.ca/unworthy-victims-houthis-in-yemen-hutus-in-burundi/5542515
Pages: 12