Tim operasi khusus Amerika memainkan peranan yang lebih nyata dalam aksi militer melawan target teroris di Afrika, lebih dari yang diakui Pentagon kepada publik. Mereka merencanakan dan berpartisipasi dalam serangan militer tentara Afrika di banyak negara termasuk Somalia, Kenya, Tunisia dan Niger, di bawah kendali ‘program rahasia’.
Dalam beberapa kali pernyataan kepada publik, juru bicara militer menyatakan bahwa peranan Amerika di Afrika terbatas hanya “memberi nasihat dan membantu”. Tapi selama paling tidak lima tahun, Baret Hijau, SEAL dan komando lain yang beroperasi dengan kewenangan abu-abu, membuat rencana dan mengendalikan misi-misi tertentu, yang menjadikan mereka mengendalikan tentara Afrika.
Di bawah pemerintahan Obama dan Trump, militer AS bergantung pada rekanan di negara-negara lain untuk melaksanakan misi-misi penting melawan target teroris, untuk mencegah jatuhnya korban dari pihak mereka sendiri setelah selama tahunan terlibat langsung di Irak dan Afganistan.
Menurut para pendukung operasi tersebut, dengan Amerika merencanakan dan memegang kendali operasi misi memberikan mereka kemampuan yang lebih besar untuk menyerang ancaman lebih cepat, bahkan meskipun hal ini menutupi niat misi sebenarnya dari kritikus di dalam dan luar negeri.
“Bukan ‘Kami membantu Anda,’ tetapi ‘Anda melakukan apa yang kami suruh,’” kata salah seorang perwira aktif Baret Hijau dengan pengalaman terbaru di Afrika Barat saat dia menjelaskan tentang program yang dijalankan di bawah wewenang legal yang dikenal sebagai Seksi 125e. Seperti juga beberapa sumber lain yang diwawancarai untuk kisah ini, dia mendiskusikan program rahasia ini secara anonim.
“Operator khusus kami tidak hanya memberi nasihat dan membantu dan mendampingi tentara rekanan mereka, tapi juga mengendalikan program-program tersebut,” aku purnawirawan Brigjen. Donald Bolduc, yang sampai Juni 2017 mengomandoi sebagian besar operasi khusus AS di Afrika, dalam wawancara dengan POLITICO.
Otoritas anggaran di balik operasi rahasia tidak dirahasiakan, dan pemimpin militer banyak yang menyebutkannya secara tidak langsung dalam dengar pendapat kongres – tanpa menjabarkan isi perjanjian tidak biasa dengan militer Afrika.
Pada tahun 2014, Laks. William McRave, yang waktu itu menjabat sebagai komandan operasi khusus tingkat atas, bersaksi bahwa Seksi 127e – yang pada waktu itu dikenal sebagai Seksi 1208 – “mungkin merupakan wewenang tunggal terpenting yang kita miliki dalam perang melawan terorisme.” Dan pada awal tahun ini penerusnya, Jend. Tony Thomas, berkata kepada Kongres bahwa wewenang tersebut memiliki “akses dan kemampuan unik untuk mendapatkan hasil,” tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kemampuan tersebut.
Peranan yang dimainkan oleh pasukan komando Amerika di bawah otoritas ini membantu menjelaskan peristiwa-peristiwa kompleks yang mengarah ke kematian empat prajurit operasi khusus Oktober lalu saat disergap di desa Tongo Tongo di Niger oleh militan lokal yang berafiliasi dengan Islamic State. Tim yang disergap tidak beroperasi di bawah otoritas tersebut, tapi dialihkan dari misi normalnya untuk mendukung tim kedua yang beroperasi di bawah otoritas.
Berdasarkan penyelidikan insiden yang dilakukan oleh pejabat bintang empat Komando Afrika, tim kedua selama operasi terbang ke seluruh bagian negara untuk membantu rekanan tentara Niger menggrebek persembunyian militan ketika tim pertama dialihkan untuk membantu mereka – sayangnya cuaca memaksa helikopter untuk kembali, meninggalkan tim sendirian di lokasi.
Otoritas tersebut mendanai program-program rahasia yang mana pemerintahan Afrika pada dasarnya meminjamkan unit dari militer mereka ke tim komando Amerika untuk digunakan sebagai pengganti untuk memburu militan yang diidentifikasi sebagai potensi ancaman terhadap rakyat atau kedutaan besar Amerika. Komando Amerika bukan membantu tentara Afrika mencapai tujuan mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh tim operasi khusus AS lainnya di Afrika.
Program tersebut berpusat pada pengintaian dan “aksi langsung” oleh gabungan komando Amerika dan Afrika terhadap target-target militan, ujar Bolduc dan sumber-sumber lain – jenis misi yang mana sebelumnya Pentagon menyangkal adanya partisipasi AS di benua lain.
Seorang juru bicara Komando Afrika menolak untuk mengatakan negara Afrika mana yang menampung tim di bawah payung hukum tersebut, namun beberapa mantan perwira operasi khusus mengidentifikasi delapan negara yang sekarang atau baru-baru ini berperan sebagai lokasi program pengganti tersebut.
Mereka mencantumkan zona perang yang diketahui umum seperti Somalia dan Libya dan juga lokasi komando yang dipimpin Amerika yang tidak diduga seperti Kenya, Tunisia, Kamerun, Mali dan Mauritania – dan Niger, negara di mana misi Oktober yang berakhir dengan tragedi melibatkan unit Baret Hijau.
Saat musim gugur lalu, Pentagon berusaha keras untuk menjelaskan apa yang dilakukan oleh para prajurit tersebut yang meninggal di negara Afrika yang belum pernah didengar oleh kebanyakan rakyat Amerika. Pentagon awalnya menyembukan beberapa fakta kunci – termasuk tim kedua pasukan operasi khusus turut serta dalam misi tersebut.
Lebih dari delapan bulan kemudian, penyelidikan Komando Afrika mengungkapkan lebih banyak rincian mengenai peranan unit kedua, yang dikenal sebagai Tim Arlit sesuai dengan nama kota penempatan tim tersebut di Niger. Namun Pentagon masih menolak untuk mengakui sifat keseluruhan dari misi yang dijalani tim tersebut atau bahwa tim tersebut berada di bawah payung hukum AS. (Bolduc, seorang mantan pejabat Gedung Putih, dan seorang mantan perwira operasi khusus yang berpengalaman di Afrika barat laut semuanya mengonfirmasi hal tersebut dalam wawancara.) Komando Afrika dan Komando Operasi Khusus keduanya menolak untuk berkomentar tentang program apa pun yang berjalan di bawah otoritas tersebut, menyebutkan bahwa informasi tentang hal tersebut bersifat rahasia.
Satu aspek dari program tersebut yang dianggap sensitif oleh Pentagon adalah program tersebut membuat operator khusus AS yang merencanakan misi di sana berada dalam keadaan bahaya. Dua minggu setelah penyergapan Tongo Tongo, direktur Staf Gabungan Pentagon, Letjen. Kenneth McKenzie, pada konferensi pers ditanyakan apakah ada operator khusus Amerika yang turut serta dalam “aksi langsung” bersama tentara Afrika – istilah militer untuk penyerbuan terhadap target terduga teroris. McKenzie mengatakan bahwa penasihat Amerika di benua tersebut “tidak terlibat langsung dalam operasi tempur,” sebuah pernyataan yang hendak diklarifikasi dengan semangat oleh para reporter di ruangan tersebut.
“Tidak, kami tidak terlibat dalam misi aksi langsung dengan pasukan rekanan,” jawab McKenzie secara blak-blakan.
Pernyataan tersebut tidak benar. Pada kenyataannya, seperti yang dikatakan oleh Komando Afrika dalam penyelidikannya, misi di mana Tim Arlit dan rekanan Nigernya terbang ketika cuaca memaksa mereka untuk mundur bersifat “penyerbuan multi-tim” – pada dasarnya merupakan sinonim untuk “aksi langsung.”
Penjabaran McKenzie “jelas-jelas bohong,” ujar mantan pejabat Gedung Putih, yang memiliki pengetahuan detil tentang program operasi khusus di Afrika, dalam sebuah wawancara. “Kami memberi masukan kepada tentara-tentara di sana mengenai misi aksi langsung, dan mengatakan sebaliknya adalah menyembunyikan kebenaran,” tambahnya.
Juru bicara Staf Gabungan Kol. Patrick Ryder merespon kalau yang dimaksud McKenzie saat dia bilang “aksi langsung,” maksudnya adalah “operasi tempur langsung AS.” Ryder berkata bahwa pasukan Amerika “beroperasi di Niger dengan melatih, memberi nasihat, dan membantu tentara Niger dalam peranan non-tempur” tapi tidak menyangkal bahwa misi di negara itu termasuk penyerbuan aksi langsung.
“Ada bagian yang lebih menyerupai aksi langsung” dari misi yang diemban oleh tim yang beroperasi di bawah otoritas, kata Bolduc, mantan komandan pasukan operasi khusus di Afrika. “Itulah yang khususnya harus dilakukan oleh tim tersebut.”
Kemungkinan untuk terjun dalam penyerbuan dalam program rahasia merupakan hal yang didambakan oleh para komando yang diterjunkan di Afrika. “Ya, 127 echo merupakan misi yang lebih baik,” ujar salah seorang perwira aktif Baret Hijau, menggunakan jargon militer untuk program yang beroperasi di bawah Seksi 127e.
Di Afrika barat laut, tim bekerja di bawah otoritas berusaha untuk melacak militan yang terkait dengan Al Qaeda atau Islamic State yang bepergian di gurun lewat jalur penyelundupan antara Mali, Libya, dan Niger, ujar Bolduc, mantan penjabat Gedung Putih dan mantan perwira operasi khusus kedua dengan pengalaman di area tersbut, yang juga berbicara secara anonim saat membahas program rahasia tersebut.
Selama mantan perwira operasi khusus kedua tersebut bertugas di Afrika, tim dengan misi seperti di atas terlibat dalam beberapa kali kontak senjata, ujarnya – tapi satu kali ada serangan bom bunuh diri di pangkalan di mana tim tersebut tinggal bersama pasukan rekanan Niger.
“Ada proses yang sangat rumit kalau kami mau keluar gerbang. Tidak seperti koboi. Kami berusaha keras untuk tidak terlibat dalam pertempuran langsung kecuali sesuatu yang benar-benar buruk menimpa pasukan rekanan kami,” ujarnya. Seperti tim operasi khusus lainnya yang bertugas dalam misi penasihat standar, tim yang bekerja di bawah otoritas tersebut dilarang untuk terlibat dalam fase paling berbahaya dari penyerbuan – ketika pasukan Afrika benar-benar memasuki lokasi target.
Setelah membuat perencanaan misi berdasarkan intelejen AS dan mendapatkan persetujuan dari markas yang lebih tinggi, pasukan Amerika berkendara atau terbang dengan rekanan lokal mereka menuju lokasi target, di mana mereka harus bertahan di “posisi perlindungan dan persembunyian terakhir.” Istilah militer untuk tempat terakhir di mana mereka bisa tidak terlihat dan terlindung dari tembakan senjata menggunakan pelindung alami. Tapi mantan perwira operasi khusus tersebut menekankan kalau di gurun dan padang belukar Afrika barat laut, “sering kali tidak ada tempat untuk berlindung atau bersembunyi.”
Di sana, tim tersebut “mengomandoi dan mengendalikan” penyerbuan “dari jarak jauh” sambil mengamati dari drone dan pesawat yang menyadap telepon pihak lawan. Setelah penyerbuan, pihak Amerika maju untuk memeriksa lokasi penyerbuan demi data intelejen – atau, kalau ada sesuatu yang salah selama penyerbuan dan pasukan Afrika butuh bantuan, mereka bisa bergerak maju dan bergabung dalam kontak senjata.
Hal itu jarang terjadi.
“Semua orang beroperasi di bawah panduan yang sama dalam hal resiko dan perlindungan diri dan aturan pertempuran(rules of engagement),” baik dalam misi program pengganti atau misi penasihat yang lebih umum, ujar Bolduc. “Saya punya anak buah di Kenya, Chad, Kamerun, Niger, Tunisia yang melakukan tugas yang sama dengan yang berada di Somalia, membuat mereka terpapar dalam bahaya yang sama, dan tidak hanya di bawah 127 echo. Beberapa anggota kami terluka dalam semua jenis misi yang kami lakukan.”
Anggota DPR AS Richard Hudson (Carolina Utara), yang mewakili area sekitar Fort Bragg yang menjadi markas bagi banyak anggota Baret Hijau yang bertugas di Afrika, baru-baru ini mengumumkan peraturan pengecualian pajak zona tempur bagi semua pasukan yang diterjunkan dalam misi di bawah otoritas. Hudson mengatakan kalau dia mendukung aktivitas militer AS di Afrika dan tidak percaya kalau kerahasiaan aktivitas tersebut merupakan hal yang tidak pantas.
“Kalau Anda diterjunkan di bawah otoritas pemberantasan terorisme ini, 127e, kemungkinan Anda akan bertempur,” ujarnya dalam sebuah wawancara, menjelaskan kalau pemilihnya telah menjabarkan kepadanya misi-misi tersebut termasuk misi yang paling berbahaya yang mereka jalani di Afrika, meski pun terdapat aturan untuk meminimalkan resiko.
Namun Bolduc mengatakan kalau dalam sebuah penyerbuan, di mana operator khusus menyerang musuh secara mendadak dan didukung oleh drone dan pesawat mata-mata, pasukan Amerika dan rekanan mereka memiliki keunggulan yang tidak mereka dapatkan dalam misi yang lebih rutin.
“Sifat bahayanya berbeda,” ujarnya. “Dalam beberapa aspek misi-misi ini tidak terlalu berbahaya dibanding apa yang tim lain lakukan di Tongo Tongo,” patroli yang lebih standar di mana pihak militan berhasil menyergap Baret Hijau tanpa peringatan, “karena Anda punya aset lebih banyak yang bertugas dalam misi ini dan lebih mengendalikan lingkungan.”
Meski pun para komandan berusaha untuk menjauhkan pasukan Amerika dari pertempuran sebisa mungkin, dalam suatu misi bisa jadi tidak jelas siapa membantu siapa di Afrika, ujar Alice Friend, seorang pejabat Pentagon selama masa pemerintahan Obama yang mengawasi kebijakan kontraterorisme di Afrika barat laut.
“Ada garis abu-abu antara yang mana operasi Afrika dengan bantuan AS, yang mana operasi AS dengan bantuan Afrika, dan apa profil resiko yang bisa kita terima,” ujarnya. “Pada titik mana suatu operasi benar-benar operasi AS? Semuanya ambigu.”
Dana tahunan untuk program-program ini meningkat empat kali lipat sejak dimulai di Afganistan, menjadi $100 juta – sebagian terbantu dari kesaksian positif dari para jenderal dan laksamana di depan Kongres. Kongres memberikan otorisasi ulang payung hukum sementara setiap tahun sampai tahun lalu, saat pembuat peraturan menjadikan otoritas tersebut permanen.
“Kongres berpendapat kalau otoritas tersebut cukup berguna sehingga menjadikannya payung hukum permanen,” ujar Linda Robinson, seorang pakar operasi khusus dari Rand Corp., yang menunjukkan bahwa bahkan dengan peningkatan sebanyak empat kali lipat dana tahunan tersebut tetap saja kecil jumlahnya dibandingkan dengan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dalam memerangi terorisme dalam perang skala penuh di Irak dan Afganistan.
Poin tersebut sangat ditekankan saat komandan tingkat tinggi menjabarkan tentang program tersebut kepada pada pembuat peraturan. Jend. Joseph Votel, yang mengomandoi pasukan AS di Timur Tengah – di mana program tersebut juga aktif – dan sebelumnya mengawasi program tersebut dari Komando Operasi Khusus, menjelaskan program tersebut “berbiaya rendah, keterlibatan sedikit, [dan] rahasia.” Dia menekankan kalau mereka telah memimpin “ratusan operasi taktikal sukses … dengan biaya sepersekian dari biaya program lain.”
“Sebagian besar dari program-program ini berjalan dengan biaya $7 [juta] sampai $10 juta per tahun atau kurang. Tidak terlalu mahal,” ujar mantan pejabat Gedung Putih itu.
Jumlah negara Afrika yang menampung program tersebut naik-turun tiap tahun. Pada tahun 2013, dalam sebuah perkembangan yang diberitakan oleh Fox News, satu tim Baret Hijau menyudahi misi mereka di Libya setelah pihak militan menyerang markas unit rekanan dan mencuri banyak senjata yang disuplai oleh operator khusus AS sebagai bagian dari program.
Program tersebut tidak pernah dibuka lagi, sehingga di Libya, militer AS bergantung pada serangan udara dan penyerbuan oleh komando Amerika dengan kategori yang lebih rahasia dari Delta Force dan SEAL Team 6 – tanpa rekanan lokal. Misi yang begitu sensitif dan beresiko yang membuat Amerika berada dalam bahaya langsung sehingga butuh program tersebut sebagai alternatif, seperti yang disarankan oleh Jend. Thomas Waldhauser, yang memimpin Komando Afrika, pada saat dia bersaksi kalau program tersebut memberikan “keuntungan tinggi dengan resiko rendah bagi tentara AS.”
Beberapa program lain berakhir ketika negara tuan rumah menjadi keberatan dengan pengaturan yang ada. “Rekanan yang menjadi tuan rumah bagi program-program tersebut risau dengan kemungkinan rakyat mereka akan berpikir kalau AS memanfaatkan mereka sebagai boneka di negara mereka sendiri,” ujar Bolduc. Contohnya adalah Mauritania, yang menarik diri dari program yang sudah berjalan lama.
“Negara tuan rumah harus memahami apa yang mereka sepakati, dan Mauritania tidak pernah merasa nyaman dengan apa yang mereka sepakati,” ujar Bolduc. “Kesepakatan yang ada tidak sesuai dengan kacamata Mauritania sendiri, menyerahkan salah satu unit mereka di bawah kendali otoritas.”
Friend, mantan pejabat Pentagon yang mengawasi kebijakan kontra-terorisme di Afrika barat laut, menyebutkan bahwa ketidaksepakatan semacam itu tidak dapat dihindari. “Pemikirannya adalah mereka dan kita sama-sama memiliki kepentingan dalam misi kontraterorisme yang sama, tapi negara-negara rekanan menghadapi ancaman yang sama bisa saja mendefinisikan prioritas keamanan nasional mereka secara berbeda dengan kita,” ujarnya.
Namun beberapa pemerintahan Afrika lainnya menerima program tersebut. Niger sudah menampung satu unit pengganti, dan pemerintahan Niger mengizinkan tim Baret Hijau lainnya untuk masuk lagi, dan hanya meminta untuk selalu “diberi tahu” perihal operasi unit-unit tersebut, ujar narasumber mantan anggota operasi khusus.
“[Jalannya program] berbeda-beda di tiap negara,” ujar Michael Hoza, mantan duta besar untuk Kamerun, di mana “sekelompok SEAL” membantu komando lokal memburu organisator misi bom bunuh diri Boko Haram. Presiden Kamerun punya hak untuk menyetujui setiap misi yang ditawarkan oleh SEAL, kata Hoza kepada POLITICO, “karena dia tidak mau ada orang Amerika menjadi korban di negaranya.”
Somalia adalah negara lain yang bersedia menjadi tuan rumah, menyambut kemampuan unit [AS] melaksanakan penyerbuan mendadak kepada pemberontak al-Shabab yang terkait Al-Qaeda dari helikopter AS. “Semua aktivitas militer AS di Somalia dilakukan dengan dukungan penuh dari pemerintahan Somalia selama masa tugas saya,” ujar Steven Schwartz, duta besar di Mogadishu sampai musim gugur lalu, dalam sebuah wawancara.
Pada masa itu, menurut Bolduc, SEAL menjalani dua misi yang berbeda di bawah otoritas di Somalia. Waldhauser, jenderal yang mengepalai Komando Afrika, bersaksi di depan Kongres pada tahun 2016 kalau salah satu unit tersebut “berperan penting dalam operasi terbaru yang menyingkirkan pemimpin senior al-Shabab.”
Selain dari keuntungan taktikal, menjadi tuan rumah program pengganti dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk mendapatkan bantuan Amerika secara umum. Pemerintahan Afrika bisa menyetujui untuk menampun program tersebut “karena membuat unit mereka menjadi lebih efektif dan memungkinkan mereka untuk memanfaatkan sumber daya dan data intelejen AS,” ujar Andrew Lebovich, pengamat dari Konsil Eropa tentang Hubungan Luar Negeri yang memelajari keamanan di Afrika barat laut. “Namun hal itu juga menjadi jalan mulus untuk membangun hubungan keamanan dengan AS dan pada beberapa kasus mendapatkan lebih banyak dukungan dari AS.”
Pasukan operasi khusus menjalankan 21 program di seluruh dunia di bawah otoritas, menurut kesaksian Thomas, pejabat tinggi operasi khusus militer, awal tahun ini. Beberapa minggu lalu, asisten deputi menteri pertahanan yang membawahi misi-misi komando, Owen West, mengatakan kepada Kongres kalau dia mengharapkan kalau “program tersebut tetap dibutuhkan, kalau bisa bertambah.”
Tapi beberapa orang yang mengetahui banyak tentang program-program tersebut mengatakan kalau sulit untuk mengetahui seberapa efektif program-program tersebut sebenarnya – dan beberapa program perlu dievaluasi lebih lanjut dan dihentikan.
Kelompok-kelompok militan di Afrika “sedikit meluas, banyak berubah, menjadi lebih berani dalam menjalani operasi mereka” dalam beberapa tahun terakhir saat aktivitas operasi khusus AS melawan mereka menjadi lebih tajam, ujar Friend. Balasannya, “tampaknya kami hanya menambah pasukan operasi khusus untuk menghadapi mereka, tapi tanpa tinjaun strategis yang lebih luas.”
Bolduc, yang secara umum berpandangan kalau program-program itu “sangat efektif,” bagaimana pun mengakui kalau selama dia menjadi pengawas komando di Afrika, beberapa program yang dia warisi tampaknya sudah tidak berguna lagi, dan beberapa yang lain “mengembangkan kecakapan yang tidak dapat dipertahankan.” Dia mengutip komando Somalia yang menjadi tergantung atas dukungan helikopter AS, yang tidak dapat mereka andalkan lagi begitu unit mereka dipulangkan setelah Somalia terkendali.
“Program-program ini tidak dimaksudkan untuk berjalan selamanya, dan kami harus memperlakukannya dengan cara kapabilitas yang ada dapat diserahterimakan kepada rekanan kami begitu kami mencapai tujuan asli,” ujar Bolduc.
Robinson, pakar operasi khusus dari Rand Corp., mengatakan bahwa meski pun “ada kesepakatan umum kalau otoritas ini menutup celah” yang dapat dengan cepat membuat tentara Afrika dapat menghabisi target sesuai perintah AS, “ada waktunya di mana Anda menilai kalau rekanan tidak berkomitmen atau efektif dan [akhirnya] menyingkirkan mereka. Beberapa sudah disingkirkan dan mungkin akan lebih banyak lagi.”
“Begitu Anda memulai hal-hal seperti ini, sulit untuk berhenti. Beberapa berhasil, dan beberapa tidak,” ujar pejabat Gedung Putih tersebut. “Saya kira Kongres atau SOCOM [Special Operations Command – Komando Operasi Khusus] tidak akan membuat mereka mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Tidak ada orang yang menginjak leher orang lain supaya program-program tersebut benar-benar efektif.”