Sejak jaman dahulu, setiap ketentaraan memerlukan dukungan logistik untuk bisa terus menggempur lawan. Di masa Romawi kuno, jaringan jalanan yang besar sengaja dibangun tidak hanya untuk perdagangan, namun juga supaya mempermudah langkah gerak legiun Romawi dan juga logistik yang mereka perlukan.

Di akhir 1700-an, Jenderal Perancis Napoleon Bonaparte menulis bahwa, “setiap tentara berbaris dengan perutnya,” yang merujuk pada pentingnya jaringan logistik untuk tetap memberi makan pasukan dan menjaga kemampuan tempur mereka. Bagi pihak Perancis masa itu, ketidakmampuan mereka untuk menjaga suplai logistik bagi pasukannya yang bertempur di Rusia, digabung dengan keputusan Rusia untuk membakar tanah dan bangunannya agar tak bisa digunakan pasukan penjajah, akhirnya menjadi penentu kekalahan Perancis.

Jalur Logistik Daesh

Konflik bersenjata yang kini melanda Timur Tengah, terutama di Iraq dan Syria dimana Daesh melancarkan kejahatannya, disinyalir dibangun dari jaringan logistik yang berasal dari hasil minyak curian dan uang hasil tebusan.

Tak bisa dipungkiri, kemampuan bertempur Daesh kini sudah menyerupai kekuatan sebuah negara. Gerombolan ini menguasai wilayah luas yang terbentang dari Syria dan Iraq, dan tak hanya mampu mempertahankannya secara militer namun juga memiliki sumber daya untuk mendudukinya, termasuk logistik untuk mengatur populasi dalam wilayah kekuasaannya.

Bagi analis militer, terutama yang pernah bertugas di angkatan bersenjata negara Sekutu, sekaligus para jurnalis yang pernah melihat deretan konvoi truk logistik saat invasi Amerika atas Iraq pada 1990 dan 2003, tentu bertanya-tanya, dimana Daesh menyembunyikan truk logistiknya.

Jika logistik yang digunakan Daesh untuk berperang hanya berasal dari dalam negeri Iraq dan Syria, tentu saja tentara Syria dan Iraq akan memiliki kemampuan setara atau bahkan lebih unggul dari Daesh; namun kenyataannya tidak demikian.

Dan jika jalur logistik Daesh hanya berasal dari wilayah Syria dan Iraq, maka pastinya tentara Syria dan Iraq akan menggunakan satu keunggulan yang mereka miliki – serangan udara – untuk memutus jalur logistik tersebut ke garis depan. Namun hal ini tak terjadi dan tentunya ada alasan kuat di baliknya.

Sisa teroris dan senjata dari intervensi NATO di Libya pada 2011 ternyata langsung dikirim ke Turki, langsung menuju ke Syria – atas koordinasi pejabat AS dan agen intelijen di Benghazi, yang terkenal sebagai sarang teroris. Jalur suplai logistik Daesh dijalankan di area tepat dimana kekuatan udara Syria dan Iraq tak bisa berbuat apa-apa.

Logistik ini dikirim ke arah utara melalui anggota NATO – Turki dan barat daya melalui sekutu AS, Yordania dan Arab Saudi. Di balik perbatasan tersebut tersebar jalur logistik yang terbentang meliputi Eropa Timur dan Afrika Utara.

The London Telegraph pernah melaporkan dalam artikel mereka di tahun 2013, “CIA Menyelundupkan Senjata di Benghazi saat Konsulat AS Diserang“, bahwa:

[CNN] mengatakan bahwa sebuah tim CIA tengah melakoni misi untuk mengirimkan misil dari gudang senjata Libya ke pemberontak di Syria.

Meski media Barat terus merujuk faksi yang beroperasi di bawah bendera Al-Qaeda sebagai pemberontak, dengan suplai senjata seharga miliaran dolar yang dikirim langsung ke mereka, harusnya bukanlah Daesh yang mendominasi di lapangan. Namun kenyataannya Daesh yang memegang kendali.

Sebuah sumber akhir-akhir ini mengungkap bawa Departemen Pertahanan AS tak hanya telah mengantisipasi gerakan ‘Salafis’ yang akan melanda Syria dan Iraq sejak 2012, namun juga menyambutnya dengan tangan terbuka dan berkontribusi untuk mewujudkan bencana tersebut.

Seberapa Besar Jalur Logistik Daesh?

Sementara Barat berpura-pura tidak tahu bagaimana Daesh bisa mendapatkan logistik dalam kapasitas peperangan yang cukup impresif, beberapa jurnalis telah menyelidiki ke lapangan dan merekam serta melaporkan konvoi truk logistik Daesh yang seolah tiada akhirnya.

Apakah truk-truk itu melaju dari pabrik senjata yang dikuasai Daesh di wilayah Syria dan Iraq? Tidak.

Konvoy truk tersebut memulai perjalanan jauh dari dalam Turki, menyeberangi perbatasan Turki – Syria tanpa gangguan, dan menuju tujuan dengan perlindungan kasat mata dari militer Turki. Usaha Syria untuk menyerang konvoi tersebut seringkali dihadang oleh kekuatan Angkatan Udara Turki.

Kantor Berita internasional Jerman Deutsche Welle (DW) telah meluncurkan laporan video pertama yang menunjukkan bahwa Daesh dibiayai bukan hanya dari minyak curian atau uang tebusan tawanan, namun juga dari peralatan perang senilai miliaran dolar yang dibawa ratusan truk ke Syria melalui perbatasan Turki tiap hari.

Laporan yang berjudul, “Jalur Suplai IS melalui Turki“, memastikan apa yang selama ini telah dilaporkan oleh analis geopololitik sejak 2011 – bahwasanya Daesh lahir dari dukungan multi-negara, termasuk Turki sendiri.

Ketika kita melihat peta daerah yang dikuasai Daesh dan membaca aksi penyerangan yang dilakukan gerombolan ini di sepanjang kawasan, patut diperkirakan bahwa ratusan truk logistik bakal diperlukan agar Daesh bisa mempertahankan kapasitas tempurnya. Ditengarai konvoi logistik serupa juga memasuki Iraq dari Yordania dan Arab Saudi.

Mempertimbangkan kenyataan logistik dan peranan pentingnya dalam kampanye militer sepanjang sejarah manusia, tak ada penjelasan lain yang lebih masuk akal ketika Daesh secara mengejutkan mampu mengobarkan perang di Syria dan Iraq, selain bahwa pihak-pihak dari luar negeri tersebut merupakan sponsor utamanya.

Jika sebuah tentara akan terus melaju dengan perutnya, dan perut Daesh penuh kenyang oleh suplai NATO dan negara teluk, gerombolan ini akan terus eksis semakin lama dan semakin kejam. Kunci mematahkan punggung Daesh adalah dengan memutus rantai logistiknya.

Untuk mencapai hal tersebut, Syria, Iraq dan Iran harus lebih ketat mengamankan perbatasan dan memaksa Daesh bertempur dari wilayah Turki, Yordania atau Arab Saudi – skenario yang sulit mengingat negara seperti Turki telah membuat buffer zone dalam wilayah Syria yang jika diganggu, akan memicu konfrontasi langsung antara Syria denganTurki.

Dengan Iran yang kini bergabung dengan menerjunkan ribuan tentaranya untuk membantu operasi milter Syria, usaha Turki untuk meperluas buffer zone dalam teritori Syria diperkirakan akan semakin sulit.

Yang tertinggal kini hanyalah NATO yang secara langsung sedang menjebak daerah konflik tersebut dalam perang berkepanjangan, sekaligus memuluskan usaha untuk menjaga kelanggengan Daesh dan memanfaatkan kerusakan yang ditimbulkannya di Syria.

Tony Cartalucci – http://journal-neo.org/2015/06/09/logistics-101-where-does-isis-get-its-guns/