Dalam sebuah wawancara dengan Der Spiegel di bulan November 2011, hanya berselang 8 bulan saja sejak konflik Syria pertama meletus,  Syeikh Badroudin Hassoun  memberikan gambaran betapa beresikonya menelan sebuah informasi yang disebarkan secara masif, terbuai di dalamnya dan secara tidak sadar menjadi bagian dari sebuah kesalahan masal hanya karena kurangnya kecerdasan literasi.

Beliau menceritakan bahwa melalui sebuah demonstrasi ‘damai’ di Daraa pada bulan Maret 2011 terhadap pemerintahan lokal yang memenjarakan seorang siswa, opresi yang dilakukan pemerintah lokal atas demonstran tersebut dijawab dengan pencopotan gubernur setempat oleh Presiden Syria, Bashar al-Assad.

Situasi untuk sementara berangsur dapat terkendali, namun bagaimanapun situasi telah terkondisi secara negatif dan lewat ceramah berapi-api masyaikh Arab Saudi dan Qatar melalui channel al-Jazeera dan al-Arabiya membantu kemarahan menjadi semakin cepat berkobar dengan mengatakan bahwa para ulama berdiri bersama para demonstran anti-rezim Assad.

Setelah fatwa-fatwa tersebut berkobar, barulah di Homs,  Syeikh Hassoun menggambarkan bahwa “Unpleasant elements — Iraqis, Afghans, Saudis and Yemenis — have also come from there, all with a radical, fundamentalist agenda. The provocateurs even attacked police chiefs and military officers in their homes”.

‘Fatwa Ulama’ dan ‘Berita Media Massa’, mengiringi apa yang kemudian kita kenal sebagai perang saudara paling berdarah yang pernah dikenal dalam sejarah, berbagai element atas nama Islam kemudian berlomba menyebarkan informasi manufacturing tentang kondisi yang terjadi di Syria.

Foto-foto tentang penjagalan, penembakan berdarah serta milisi sipil haus darah yang semuanya menggambarkan pembunuhan besar-besaran oleh rezim Assad kepada rakyat Syria. 95% berita itu kemudian diketahui sebagai berita fiktif.  Lebih dari itu, klaim teologi atas kejahatan apa yang mereka sebut kejahatan ‘Rezim Syiah Nusyairia’ membahana di seantero bumi.

Keterbatasan informasi di lapangan, minimnya data-data pendukung dan perasaan terzalimi secara masif membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah: Opini publik atas kezaliman kelompok Syiah, manufacturing  foto-foto mengenai pembunuhan masal atas umat Islam di Syria dan informasi palsu yang merata seolah satu komando diseluruh dunia membuat akhirnya 50.000 milisi bersenjata masuk ke Syria melalui perbatasan Turki dan Yordania dan melakukan apa yang kita kenal sekarang melalui serangkaian tindak kekerasan atas nama ISIS, Free Syrian Army dan Al Qaeda.

‘Demi agama’ adalah bunyi fatwanya, namun yang tidak dikatakan para ulama dan media adalah fakta bahwa ada gas bumi di balik perut Syria yang menjamin ketersediaan gas bagi Israel pasca jatuhnya rezim Mesir pada Arab Spring. Kepentingan minyak murah bagi Turki dan Amerika, kepentingan pemutusan logistik antar faksi dalam konflik zionis vs muqawwama  dan kepentingan terbentuknya Israel Raya di antara 2 sungai Yordan, berapapun biaya yang harus dikeluarkan untuknya.

Titik krusialnya adalah pada Fatwa Ulama dan Berita Media Massa

Tentu saja artikel yang kita baca dari media sosial ataupun Kompasiana adalah sumber informasi yang sangat menarik. Namun demikian dari segi penyajian ia bisa saja ‘bermasalah’ karena misalnya mempergunakan nama palsu, atau problem pada otoritas, sehingga siapapun yang kritis membacanya akan bisa dengan gampang memperdebatkannya dengan mengatakan, “Siapa bisa menjamin bahwa opini itu bukan salah satu manipulasi lain ?” (Saya ingat, di tengah badai kebencian yang mungkin membahayakan dirinya dan keluarganya, penulis buku Dina Y. Sulaiman pernah saya nasehati untuk memakai nama palsu saja. Sebuah usulan yang segera ditolaknya tegas dengan alasan ”Saya harus tulis atas nama saya supaya tulisan itu bisa saya pertanggung jawabkan.”)

Yang membuat berita media massa resmi menjadi  tetap menarik adalah adanya narasi yang runtut, data yang lumayan baru,  opini yang cukup argumentatif dan tentu saja keformilannya itu memiliki sebuah skala otoritatif tersendiri yang jelas berbeda jika dibandingkan seorang individu – apalagi kalau individu anonim – yang berkata. Soal kebenarannya, marilah kita perdebatkan bersama saja nanti.

Ulama juga menempati posisi demikian tinggi kawan-kawan, bahkan mungkin lebih. Ketika seseorang telah dianggap memiliki standar otoritatif yang sedemikian tinggi sehingga dipercaya layak untuk menafsirkan kehendak Tuhan, maka tentu saja publik akan segera membangun asumsi bahwa apa yang dikatakannya itu adalah cerminan dari apa yang diperintahkan Tuhan dan bukan sekedar opini pribadi apalagi kepentingan politisi.

Maka ketika ‘berita media massa’ dan ‘ulama’ telah mengatakan sebuah hal, di antara masyarakat yang terbiasa melihat kebenaran melalu saluran informasi resmi yang segala sesuatunya dilihat dengan bingkai atas kemauan Tuhan. Lalu berujung kepada stagnasi nalar serius? Kalau Tuhan telah memerintahkan, lalu mungkinkah menantang Tuhan?

Yang tidak banyak disadari orang,  industri pemberitaan  itu sendiri sebenarnya  bukanlah segepok informasi suci dari langit yang minus kecenderungan dan tiadanya kepentingan. Selama masih dikelola manusia, maka kepentingan iklan, oplag, jejaring politik pemilik, bahkan kecenderungan ideologis turut berperan penting dalam pemberitaan.

Ganti semua itu dengan pengaruh, aliran dana atas fatwa, dan kecenderungan persepsi, maka Anda akan dapatkan kemungkinan yang sama terjadi pada berita, akan terjadi juga pada ulama. Bahkan, bila korupsi kita asumsikan bukan hanya terkait dengan lalu lintas pasar uang dan barang yang tiba-tiba bergeser ke meja redaktur.

Bila kita berasumsi bahwa framing yang bengkok, penyembunyian fakta, pemakaian data secara sembarangan, atau timing pemberitaan juga merupakan bagian dari manipulasi, tentu saja dilihat dalam kecenderungan untuk melakukan manipulasi ini maka semua kantor berita bisa menjadi manipulator dalam konteks mereka masing-masing.

Validitas berita dan fatwa  itu sama halnya seperti birokrasi, ia berpijak pada seperangkat asumsi bahwa pihak yang terlibat dalam segala proses hingga sebuah berita matang untuk anda baca adalah baik dan jujur dan berita tersebut akan tersaji secara jujur juga bagi anda. Dengan kenyataan bahwa di Indonesia ini kita selalu berkutat dengan ketidakjujuran, maka mencurigai validitas sebuah berita adalah sebagian dari kewajiban orang-orang beriman.

Misalnya, ketika beberapa tahun  yang lalu seorang yang anonim mengatakan bahwa Bambang Harimurti menelepon direktur Bank Mandiri untuk meminta ini dan itu, tentu saja ini merupakan informasi baru yang menarik sekali, sekalipun kita harus juga melanjutkannya dengan pertanyaan. Hal apa dari informasi tersebut yang berisi cukup bukti memadai untuk saya yakini sebagai kebenaran, kecuali pendapat tunggal penulisnya yang anonim pula?

Tentu saja banyak informasi yang kemudian disampaikannya adalah fiktif, bohong yang kelewatan, dan jelas palsu, namun demikian diluar kenyataan bahwa opini itu hanya akan segera laku keras diantara para kader parpol yang secara politik sudah membiru wajahnya karena terlalu banyak kena gencet berita Tempo, opini ini memang memberi beberapa gambaran valid yang harus diakui siapapun pemilik media mengenai bagaimana kecenderungan memainkan peranan penting dalam pemberitaan.

Sama benarnya, ketika misalnya sang informan itu  menulis bahwa wartawan bodrek yang menggangsir dari narasumber hanyalah pelaku korupsi receh ketimbang kecenderungan koruptif para petinggi media. Baik dampak tindakan maupun ukuran gigantisme keuangan yang terlibat dalam konteks korupsi petinggi media, uang transportasi wartawan bodrek itu sepertinya hanya seukuran tusuk gigi dibandingkan keseluruhan ukuran pohon pinus.

Tetralogi Kekuasaan

Quran adalah indeks yang luar biasa kaya untuk kita mengeksplorasi betapa begitu banyak orang yang menutupi motivasinya yang tidak suci dengan beragam klaim kebenaran. Firaun penguasa yang eksploitatif, Bal’am bin Bauro ulama yang memberi basis legitimasi untuk membujuk rakyat agar terbuai dan selalu rela di kebiri Kitab Suci (QS 7: 175 – 177), Qarun sebagai personalisasi ‘pemilik modal’ yang punya banyak kepentingan, dan Haman sebagai ‘ilmuan’ yang bekerja di garda terdepan untuk menyampaikan berbagai ilmu yang keseluruhan dibaktikan untuk penindasan.

Noam Chomsky pernah menulis artikel keren sekali mengenai setidaknya 10 cara mengenai bagaimana media memanipulasi otak kita demi apa yang disebutnya ‘kepentingan Nasional’.  Namun demikian, biarpun tanpa manipulasi, saya juga menjamin, setulus apapun informasi itu disampaikan, tetap akan sampai kepada anda menurut subjektivitas redakturnya juga.

Kalau tulus saja masih subjektif, apalagi jika ia sudah terdistraksi berbagai kepentingan semacam: ‘pemilik media’ dan ‘jejaring ulama’ yang hendak mencalonkan diri menjadi presiden, kepentingan ‘pemasang iklan’ dan ‘kolega fatwa’ yang besar dan harus dijaga perasaannya, kepentingan pemda dan pejabat yang mungkin membeli oplag dalam jumlah besar ataupun instruksi ustadz pengajian.

Kepentingan-kepentingan yang mungkin bukan hanya membuat informasi menjadi lebih subjektif lagi melainkan juga jadi lebih manipulatif, melibatkan jejaring pihak yang berkuasa; ‘pemilik modal’, ‘ilmuan’ dan ‘ulama’ yang semuanya bekerja sama menutupi segala bentuk motivasi tidak suci dan menggantinya dengan segala klaim kebenaran, demi agama, perjuangan untuk bangsa namun dibalik segala citra itu bersembunyi hasrat paling mendasar dari naluri manusia: kecenderungan menyombongkan diri, keserakahan dan kedengkian.

Beberapa tahun terakhir, Burma juga mengalami hal yang hampir mirip dengan apa yang terjadi di Syria. Ketertutupan informasi, ketertindasan, xenophobia dan mengulangi pola yang sama. Seorang bajingan berbaju Biksu berkonflik dengan segolongan orang yang tidak diakui sebagai bagian dari negara manapun di sebuah negara yang kaya dengan gas bumi.

Klaim yang mengemuka diantara ‘ekstremis Budha’ tersebut adalah heroiknya nasionalisme yang diberi bungkus kesetiaan umat beragama Budha atas sekelompok orang yang seringkali bersikap kriminal di Burma dan karenanya layak digilas tanpa harus diadili.

Aksin Wirathu selaku pemimpin tertinggi kegilaan itu sendiri mengatakan bahwa dibalik segala kekerasan tersebut, mereka sebenarnya: “We Buddhist Burmese are too soft,”  namun yang tidak sering diungkapkannya namun mengemuka dalam sebuah Wawancara dengan BBC pada 4 April 2013 adalah: “They – the Muslims – are good at business, they control transport, construction. Now they are taking over our political parties. If this goes on, we will end up like Afghanistan or Indonesia.”

Ya, Budha vs Islam hanyalah kedok untuk memudahkannya memobilisasi masa. Karena dibalik itu semua, ia hanyalah perwakilan dari sekelompok orang yang merasa periuk nasinya sedang terancam. Mengkritik mereka ini sama sekali bukan mengkritik Tuhan ataupun surga.

Telanjangilah motivasi dibalik setiap kata-kata indah atas nama nasionalisme, demokrasi ataupun pembelaan atas agama, temukan motivasinya dan ketika segala motivasi itu dapat disingkap; “Kritik terhadap surga pada prinsipnya adalah kritik terhadap alam nyata; kritik terhadap agama adalah kritik terhadap hukum yang dengan segala kepalsuan dinisbahkan pada Tuhan, dan kritik teologi sebenarnya tidak lebih dari kritik atas filsafat politik”.

Atas tragedi Syria analisis itu dapat kita lakukan, atas tragedi Burma analisis semacam itu juga dapat kita lakukan, kenapa hal yang serupa tidak bisa kita lakukan atas Indonesia?

Apalagi hanya pada pemilihan ‘Gubernur Jakarta’.