Pada minggu-minggu terakhir ini kita melihat bahwa ketegangan terus meningkat, dimana Israel dan Iran dilaporkan saling berhadapan di dekat Dataran Tinggi Golan.

Israel meluncurkan beberapa serangan udara ke “basis Iran” di seluruh Suriah, sementara Damaskus (kemungkinan IRGC [Korps Garda Revolusi Islam; bagian dari Angkatan Bersenjata Iran – penerjemah]) membalas dengan tembakan misil ke arah posisi Angkatan Bersenjata Israel.

Setelah serangan berbalasan tersebut, presiden Suriah Bashar Al-Assad sekali lagi pergi ke Rusia untuk bertemu dengan sekutunya presiden Rusia Vladimir Putin untuk mendiskusikan arah perang dan proses politis untuk mengakhirinya.

Selama pertemuan tersebut, Putin mengumumkan bahwa tentara asing akan ditarik dari Suriah, namun dia tidak menyebutkan siapa yang dia maksud, menyisakan pernyataan yang agak samar.

“Kami berangkat dari kenyataan bahwa berkaitan dengan kemenangan dan kesuksesan yang signifikan dari tentara Suriah dalam perang melawan terorisme, dengan dimulainya bagian yang lebih aktif, dengan dimulainya proses politis dalam fase yang lebih aktif, angkatan bersenjata asing akan ditarik dari wilayah Republik Arab Suriah.”

Presiden Rusia tidak menjelaskan bagaimana dia dapat memaksa kekuatan pendudukan AS dan Turki untuk menarik diri dari bagian utara dan timur Suriah.

Apa pun itu, pernyataan tersebut tidak diterima baik oleh Teheran, sebagaimana yang diutarakan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Bahram Ghassemi, sebagai respon terhadap pernyataan Vladimir Putin mengenai penarikan semua tentara asing dari Suriah.

“Kami akan tetap berada di Suriah selama masih ada ancaman teroris dan selama pemerintah Suriah menginginkan kami untuk ada di sana,” ujar Ghassemi. Pernyataan ini keluar setelah Damaskus mendesak Teheran untuk tetap berada di Suriah sampai semua kekuatan teroris dan pendudukan asing hilang.

Semua ini bisa dianggap tidak relevan kalau saja tidak dilatari oleh perselisihan dan ketegangan di balik pertikaian terbaru dan peranan Rusia di Suriah. Banyak pengamat tidak memahami bahwa meski pun tujuan Moskow di Suriah terkadang sejalan dengan kepentingan Teheran dan Damaskus, namun tidak selamanya begitu.

Berapa kali Anda melihat orang lain di internet bertanya-tanya mengapa Rusia tidak menyuplai pemerintah Suriah sistem senjata termutakhir? Atau kenapa Rusia tidak pernah merespon agresi Israel? Hal ini membuat banyak orang bingung apa sebenarnya peran Rusia di Suriah, beberapa bahkan menyebut Putin adalah pengkhianat setelah pertemuannya dengan Netanyahu di awal Mei, pertemuan yang memicu timbulnya rumor kalau “Putin mengirim pesan untuk Suriah.”

Sampai Juli 2015, Rusia mengirimkan senjata dan persediaan ke pemerintah Suriah. Sampai saat itu Rusia masih percaya kalau dalam keadaan terburuk, pemerintah Suriah akan mampu untuk mempertahankan area-area paling vitalnya, termasuk Latakia di provinsi Alawite, di mana Angkatan Udara Rusia beroperasi.

Dua peristiwa penting dalam kurun waktu satu tahun membuat Moskow yakin untuk turut serta dalam perang di Suriah. Pertama adalah kudeta di Ukraina dan kesudahannya, yang kedua adalah situasi militer di Suriah pada saat itu.

Pada musim semi 2015 situasi menjadi memburuk bagi Angkatan Darat Suriah dan sekutunya. Pada saat inilah diputuskan bahwa kekuatan pemerintah akan mundur dari hampir semua area pinggiran Suriah karena tekanan masif yang digalang oleh jihadis Washington. P

ada saat itu pulalah Jendral Qasem Soleimani dari IRGC Quds pergi ke Moskow dan bertemu dengan pejabat tingkat tinggi Rusia untuk mendiskusikan perlunya keterlibatan langsung Rusia.

Iran tidak mampu sendirian menahan kekuatan jihadis yang menerima bantuan dana dan dukungan militer masif dan berrencana untuk mengirim semua Angkatan Darat Iran ke Suriah. Meski pun Republik Islam Iran pernah dan masih mau meresikokan semuanya dengan keterlibatan terbuka secara militer di Suriah melalui pengiriman Angkatan Darat-nya, konsekuensi dari tindakan ini adalah perang regional besar-besaran karena Arabia dan Israel juga akan melibatkan diri secara langsung.

Tentunya Moskow juga telah membuat perhitungan yang sama dan paham bahwa satu-satunya cara untuk benar-benar mendeeskalasi situasi tersebut adalah dengan melibatkan diri melalui Angkatan Udara Rusia.

Moskow berada di Suriah untuk mengakhiri perang, bukan untuk memulai perang baru. Moskow akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencegah meningkatnya ketegangan. Rusia memiliki beberapa kepentingan dan sebagian dari kepentingan tersebut sejalan dengan kepentingan Damaskus dan Teheran: 1- untuk mengeliminasi teroris Kaukasia dan mencegah mereka kembali ke Rusia, 2- untuk menjamin keberadaan pangkalan angkatan laut dalam jangka panjang, 3- untuk menyelesaikan permasalahan Suriah secara politik dan 4- untuk mencegah Washington berhasil melaksanakan agenda pergantian rezim, yang lagi-lagi akan menciptakan negara gagal di wilayah tersebut.

Apa yang utamanya tidak disepakati oleh Iran dan Rusia adalah seberapa besar pentingnya pentingnya presiden Suriah Bashar Al-Assad. Bagi Teheran Assad tetap berkuasa adalah segalanya, dan alasan utama kenapa Iran mendukung pemerintah Suriah selama ini, menjamin tetap berkuasanya Assad berarti menjamin keberadaan Hizbullah.

Di sisi lain, bagi Rusia pemerintah Suriah yang stabil sudah cukup, dan Assad tetap berkuasa atau tidak tidak terlalu penting bagi Rusia daripada bagi Teheran. Sampai setahun lalu Rusia masih terbuka terhadap kemungkinan Assad turun dari jabatannya, menekankan bahwa bukan Assad yang mereka dukung namun Suriah, sedangkan Teheran sangat vokal akan dukungan penuhnya untuk Assad. Baru akhir-akhir ini saja Moskow paham apa yang dihadapinya di Suriah dan bahwa kompromi apa pun dengan Washington akan berakhir dengan kegagalan.

Pada tahun 2016, Moskow sangat terbuka untuk negosiasi dan bahkan beberapa kali bernegosiasi dengan Washington mengenai gencatan senjata di seluruh wilayah negeri yang pada akhirnya gagal dan memakan korban beberapa warga Iran dan Suriah saat jihadis Washington terus memanfaatkan kesempatan saat gencatan senjata untuk berkumpul kembali dan menambah persenjataan.

Setelah banyak ketidaksepakatan antara Iran dan Rusia tentang nilai dari gencatan senjata tak berguna ini, Moskow terpaksa menyadari bahwa mereka butuh nilai lebih untuk dapat memaksa Washington kembali ke meja perundingan. Maka Aleppo dibebaskan dan Washington disalip oleh Moskow, Teheran dan pengkhianat Ankara, dan tahun-tahun berikutnya ISIS dikalahkan, terutama setelah pasukan yang didukung Suriah dan Iran membebaskan kota perbatasan Albukamaal, sehingga membuka kembali jalan raya Teheran-Damaskus untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.

Sejak Rusia memasuki perang Suriah, tampak jelas kalau Moskow mengendalikan operasi militer di bagian utara dan pusat negara tersebut dan Teheran mengendalikan operasi di selatan, sebuah fakta yang mengganggu rezim Zionis di Israel.

Teheran dan Moskow beberapa kali tidak sepakat dalam operasi militer dan prioritas di banyak garis depan. Contohnya, IRGC sangat vokal tentang keinginan mereka untuk membebaskan Suriah selatan dan lalu bergerak ke Dataran Tinggi Golan yang dalam pendudukan, Moskow sejauh ini menentang mereka, namun meski pun adanya ketegangan dalam hal posisi Iran yang lebih di depan dibanding Moskow, hal ini masih tidak menghentikan kedua negara tersebut untuk terus bekerjasama karena Teheran mengakui bahwa hanya Moskow yang memiliki wibawa dan kekuatan internasional untuk memusatkan perhatian untuk memerangi ISIS daripada memperhatikan pemerintahan Suriah, sesuatu yang benar-benar sukses dilakukan Moskow.

Seperti yang saya bilang sebelumnya, Suriah juga menjadi tuan rumah dari konflik lain yang sama sekali tidak berhubungan, yaitu antara Israel dan Iran. Di sisi lain Rusia dan Israel memiliki hubungan yang cukup baik, di luar perbedaan mereka di Suriah.

Israel tidak akan tinggal diam mengenai intervensi Rusia bila Tel Aviv dan Moskow tidak saling mengerti. Israel memandang Rusia sebagai penjamin bagi kekuatan yang dipimpin Iran tetap di depan, karena Moskow memiliki kemampuan untuk mendikte operasi militer besar, sering kali memilih untuk beroperasi di bagian utara dan tengah negara. Israel sangat paham bahwa tanpa kehadiran Rusia di Suriah, Iran harus menonjolkan keberadaannya dengan tambahan pasukan sejumlah ribuan lagi, jadi Israel memilih untuk berdiam diri menghadapi pengiriman senjata ke Suriah misalnya.

Penting untuk diingat kalau Rusia bukanlah bagian dari konflik Israel-Suriah/Iran dan tidak akan mengambil bagian pada perang selanjutnya antara kekuatan-kekuatan tersebut. Malahan, pada agresi Israel terbaru di Suriah, Moskow mendesak Tel Aviv, Damaskus dan Teheran untuk menahan diri. Karena desakan Moskowlah Damaskus dan Teheran dalam banyak kesempatan tidak merespon serangan Israel.

Tetap saja, tujuan Moskow saat ini sangat sejalan dengan tujuan poros Resistensi (Suriah, Iran dan Hizbullah) dan Rusia butuh aliansi ini mencapai tujuannya di Suriah. Bagaimana pun poros resistensi-lah yang telah bekerja keras di darat, memuluskan jalan bagi solusi politis bahkan sekedar untuk menjadi bahan pertimbangan.

Jadi meskipun Rusia tidak menginginkan adanya peningkatan ketegangan dari Damaskus dan Teheran yang menghadapi kekuatan Israel di selatan, bukan berarti bahwa Rusia akan menghentikan Teheran dan Damaskus untuk membalas kalau Israel kelewat batas.

Pada malam 10 Mei, tentara Suriah – meski pun sudah diperingati oleh Moskow tetap memilih untuk merespon serangan Israel lainnya yang mengindikasikan antara Moskow memberi lampu hijau pada Damaskus atau Damaskus memilih untuk tidak mengikuti nasihat Rusia dan membalas serangan, sehingga makin menaikkan ketegangan.

Kedua skenario tersebut masuk akal, tapi yang terakhir menurut saya lebih mungkin, yang mengonfirmasi sifat dari aliansi ini; sebuah aliansi yang didasari atas kepentingan bersama dengan beberapa ketidaksepakatan dari waktu ke waktu, tidak seperti “aliansi” Washington yang didasari atas hegemoni dan ancaman Washington.

Untuk saat ini, Damaskus dan Teheran akan menghormati dinamika hubungan Israel-Rusia sama seperti Moskow akan menghormati hubungan mendalam Iran-Suriah dan kepentingan mereka. Di luar dari dukungan besar yang diberikan oleh Rusia untuk Damaskus, Damaskus dan Teheran tetap akan mengejar kepentingan mereka sendiri pada perang ini, yang melibatkan solusi militer yang ditargetkan pada pembebasan seluruh negara kebalikan dari proses politis Rusia yang bertujuan untuk mendamaikan seluruh pihak yang bertikai.

Bukan berarti Teheran dan Damaskur tidak berterima kasih atas apa yang sudah Moskow lakukan di Suriah, tapi perbedaan tersebut hanyalah menunjukkan sifat dari aliansi ini, yang dicirikan dengan saling menghormati kepentingan semua pihak.

Pendekatan Teheran dan Damaskus harus sudah terwujud dalam waktu dua minggu saat kekuatan pemerintah Suriah memindahkan fokus mereka dari ibu kota ke provinsi Daraa dan Quneitra di daerah selatan. Karena poros Resistensi akan bergerak mendekati wilayah yang dikuasai Israel, ketegangan akan terus meningkat.

Meski pun Rusia bukan bagian dari poros Resistensi melawan Israel, dan sebagian dari tujuan perangnya bertentangan dengan tujuan Iran dan Suriah, peranan Moskow di Suriah tidak akan pernah cukup ditekankan, dan tanpa Moskow tidak hanya Suriah akan hancur tapi perang regional yang luas bisa saja timbul.

Karena fase perang “saudara” Suriah menjelang berakhir, pertanyaan yang masih tersisa adalah: apa yang akan terjadi bila poros Zionis, meski pun dengan usaha mediasi Rusia, lebih memilih untuk memulai perang?

Apakah Rusia akan berdiam diri dan melihat semua usahanya menjadi sia-sia atau terpaksa untuk bertindak?

Lebih penting lagi: apakah aliansi Rusia-Iran-Suriah dapat bertahan menghadapi peningkatan ketegangan?

Aram Mirzaei
http://thesaker.is/will-the-russian-iranian-syrian-alliance-hold-as-the-syrian-war-draws-close-to-an-end/