Simple. Mereka merupakan negeri dengan cadangan minyak terbesar di dunia. Dan saat rakyat Venezuela memutuskan untuk berbaris bersama Chavez untuk merebut kembali harga dirinya, elang gundul pemburu minyak tentu tak akan membiarkannya begitu saja.
Lalu terjadilah kudeta pada Chavez pada 2002, yang gagal secara spektakuler.
Problemnya, Washington sudah belajar banyak sejak kudeta era Bush ini, dan menyadari bahwa kudeta semacam ini, malah berpotensi menggiring massa untuk berpihak pada sang pemimpin. Chavez menjadi icon baru anti-imperialisme, semakin kuat dengan pahaman yang mulai menular ke seantero Amerika Latin.
Lalu dimulailah rancangan kudeta gaya baru dengan kamuflase public demand dan ‘oposisi’. Disanding dengan media propaganda yang mumpuni dan politisi kolaborator yang menyimpan dendam karena tersingkir dan kehilangan sumber pemasukan – sebutan ‘rezim’ ala Pentagon, kini seolah menemukan jatidirinya kembali.
Gaya kudeta baru ini berhasil diuji-cobakan pada Arab Spring. Tunisia, Mesir, Libya dan Syria, adalah contoh keberhasilan kehancuran yang dibawa metode ini untuk menundukkan para pemimpin yang tidak lagi diinginkan Washington.
Meski tak berapi-api dan punya latar belakang mentereng seperti Chavez, melakukan kudeta bersenjata pada Maduro hanya akan memberinya legitimasi dan kepopuleran gratis ke rakyat Venezuela, sebagai pengganti ‘sah’ Chavez di mata rakyat.
Washington menginginkan solusi yang swift – mematikan namun berperan sekaligus sebagai peringatan – bagi pemimpin-pemimpin Amerika Latin lainnya yang bermimpi untuk membawa negerinya mencapai kemandirian ala Venezuela.
Dan ketika model Arab Spring sukses untuk mendestabilisasi Timur Tengah, apa yang menahannya untuk memberikan hasil serupa di Amerika Latin?
Saat Chavez berusaha memberikan arti akan kepemimpinannya; mengatur harga bahan pangan, menyediakan layanan kesehatan gratis, akses pendidikan, perumahan – hingga reparasi rumah-rumah yang rusak, Neocon menyadari bahwa satu-satunya jalan untuk menjatuhkan harga diri yang diusung Chavism, adalah ekonomi.
Jauh hari, Chavez sudah berulangkali mengingatkan untuk mempersiapkan lumbung negara, karena hampir 70% dari sumber bahan pangan Venezuela adalah impor.
Mengapa impor? Karena kala itu, jauh lebih murah untuk membeli bahan pangan, ketimbang memproduksinya sendiri. Saat harga minyak mencapai $90 per barel, hal ini sangat memungkinkan. Namun juga terbukti, melenakan.
Segera setelah kematian Chavez, Arab Saudi menjadi pionir tren penurunan harga minyak mencapai titik terendah dengan membanjiri pasar, dan bisa ditebak, Venezuela menjadi negeri yang paling terpengaruh atasnya. Kecenderungan impor dan sektor pertanian yang lambat menjadi faktor utama, dimana banyak pihak dipercaya melakukan sabotase atas keinginan Chavez yang terakhir itu.
Penentuan harga kebutuhan pokok yang dicanangkan oleh pemerintahan Maduro juga membuat beberapa perusahaan-perusahaan melakukan perang ekonomi terhadap pemerintah dengan berbondong-bondong meninggalkan Venezuela. Ironinya, tak ada satupun perusahaan ini yang sebenarnya menghasilkan bahan pangan, hanya importir saja.
Kesamaan pandangan perusahaan yang kehilangan momentum untuk mengail laba dari krisis dengan agenda Pentagon, disulut dengan sempurna oleh media dengan mantra ajaib, yang membuat kita bingung untuk memihak siapa dalam krisis ini: Sosialisme = kelaparan.
Mantra ini didengungkan terus-menerus di media, mempersiapkan basis untuk aksi ‘oposan’ yang semakin ‘desperate‘ dan menjadi justifikasi kekerasan.
Desember lalu, kubu ‘oposisi’ memang memenangi pemilihan parlemen di Venezuela. Namun perlu dicatat, bahwa ini sama sekali bukan berarti oposisi mendapat dukungan rakyat. Kekalahan ini dipengaruhi keputusan Dewan Pemilu untuk mendiskualifikasi partai kuat dengan nafas Chavism, hanya karena kontroversi seputar nama – dan juga, kebosanan rakyat Venezuela dengan Maduro yang sangat indecisive dalam menangani krisis.
Bahasa jawanya, Maduro dianggap terlalu lemah, lelet dan budeg. Dan pada taraf tertentu, hal ini benar adanya.
Namun, ini bukan juga berarti bahwa gerakan ‘oposisi’ merupakan gerakan rakyat Venezuela. Saat ini, distribusi jalur makanan subsidi dikuasai oleh kaum menengah ke atas – basis utama oposisi, dimana praktek penimbunan dengan harga jual kembali sangat tinggi sudah menjadi hal yang biasa.
Pertarungan ‘kelas’ menjadi dominan dalam upaya neocon untuk menjadikan Venezuela sebagai ajang perang sipil baru, namun para kaum kelas bawah Venezuela, yang merasakan manfaat langsung Chavism, memilih untuk mulai bercocok tanam di halaman rumah masing-masing.
Bagi mereka, Chavism pernah memberi mereka harga diri, dan mereka tak siap untuk melepaskan keyakinannya padanya. Mereka tahu betul, bahwa Maduro bukanlah biang masalah di Venezuela.
Mereka tahu betul, bahwa biang krisis ini adalah korporasi dan politisi yang bertarung menjatuhkan ‘rezim’ yang mampu membawa Venezuela sebagai negeri dengan pemerataan ekonomi paling gemilang di Amerika Latin – berlomba untuk menjadi jongos Washington saat Chavism bubar.
Mereka tahu betul, dan ingat, bahwa apa yang dikatakan oleh Chavez dan diperjuangkan oleh Castro dan Che, adalah hal nyata dengan potensi penderitaan yang menyertainya.
Dan mereka siap untuk menghadapinya.
Know your enemy.